-----
"Aku akan terus menghargai setiap waktu ini, setidaknya sampai aku yakin bahwa kau benar-benar tak lagi ditakdirkan untukku."
- Sharon -
.
.
.
.
.
.
.
."Sharon! Kau dengar yang kukatakan daritadi tidak sih?!" Aku sontak membuyarkan lamunan mendengar Yuri memarahiku.
"Hehe, maaf. Aku melamun tadi." Jelasku tersenyum canggung. Beruntung Yuri tak memakiku lebih lanjut dan hanya menghela napas panjang. Tanpa aba-aba dia meraih kedua tanganku dengan raut muka cemas.
"Aku sudah katakan berkali-kali kan, lebih baik kau menyerah saja padanya. Kau ini sudah disakiti olehnya, apa kau tak masalah dengan itu?" Aku menggelengkan kepala sebagai jawaban.
"Kau ini terlalu mudah sekali diinjak-injak." Finalnya untuk kesekian kalinya menghembuskan napas panjang. "Lalu kau akan bagaimana selanjutnya?"
"Entahlah, biarkan saja seperti ini?"
"Kau tak salah? Dia itu bahkan sudah berpacaran dengan Giselle, si primadona sekolah yang sekelas dengannya itu, loh! Lalu untuk apa lagi kau menyukai Nathan?"
Aku menunduk memandangi sepasang sepatuku yang berwarna hitam-putih. Aku menggoyang-goyangkan kecil kedua kakiku kearah yang saling berlawanan. Pada bagian sepatu kananku disisi putihnya, terdapat bercak noda yang susah sekali di cuci sekalipun aku menggunakan banyak pemutih sepatu.
Sepatu kananku itu bagaikan diriku saat ini, memiliki noda yang tak bisa kuhilangkan sekalipun aku ingin melupakannya. Sementara bagian lainnya kugambarkan sebagai Nathan, sisi putihnya tampak bersih tanpa sedikitpun noda. Dan kami yang kini tengah berjalan berlawanan meski tetap terikat pada sebuah kata takdir.
"Yuri."
"Hm?"
Aku menoleh padanya sekilas kemudian beralih menatap langit biru cerah yang meneduhkan hati. Seolah menyapaku tanpa beban melalui kicauan burung-burung yang terbang diatas sana melintasi kami.
"Sampai aku benar-benar yakin bahwa dia tak lagi ditakdirkan untukku. Selama itu, mungkin aku tetap akan menyukainya secara diam-diam seperti sekarang."
Aku tak yakin apakah aku dapat menepatinya atau tidak. Yang jelas, aku hanya akan menunggu hingga giliranku tiba.
-----
Aku tahu seharusnya aku tak berkata begitu tadi siang jika takdir benar-benar tengah mempermainkanku hari ini.
Aku terkejut mendengar kabar saat tak sengaja menguping pembicaraan telepon Nathan dengan teman-temannya yang sedang bermain game ponsel. Mereka seakan menyindir pemuda itu karena telah putus dari sang primadona. Pantas saja sepulang sekolah tadi, wajahnya tampak tak bersahabat bahkan tak ingin berbicara pada siapapun, termasuk aku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Naungan
FanfictionKamu itu sudah seperti tempat bernaung dikala hujan badai melandai, tempat berteduh dikala teriknya matahari, dan tempat bersandar dikala aku membutuhkannya. Namun apakah kau juga menganggapku sama? Menganggapku sebagai sandaran ternyamanmu dikala k...