Beberapa murid menghela nafas berkali-kali ketika mendapati tugas yang selalu menumpuk. Apa-apaan ini? Bagaikan kasih ibu yang tak terhingga sepanjang masa.. ibaratkan prolog tanpa epilog—tanpa akhir.
Mereka lelah, kalian juga pernah mengalaminya? Tugas selalu menumpuk tapi jarang dikerjakan. Lagipula memangnya nilai-nilai ini akan berguna dimasa depan? Mungkin sebagian iya dan sebagian lagi tidak.
Heran.. tugas dari sekolah saja sudah membuat pusing, lalu kenapa banyak orang yang memilih menambah beban pikiran dengan cara pacaran? Itu mungkin bisa menjadi rumah kedua dan menjadikan hari lebih berwarna, mungkin mereka lupa hitam juga warna.
Cerita dimulai dari sini.
"Li! Liat grup mapel terakhir, MTK jamkos Li! Let's go bolos!"
"Gerbang masih di tutup."
"Ngomong sama siapa, dijawab sama siapa." Sinis Gadis itu sembari melipat kedua tangannya di depan dada.
"Oh perkenalkan, Killian Riantaraga gadis paripurna, berwibawa penuh karisma yang suka bercengkrama apa lagi kalo mukulin Aegean lama-lama. Temen kelas lu dan Kalio yang sangat teladan bagai panutan setiap kelas," ucap Killian sembari menyugar rambutnya. Tebar pesona istilah mudahnya. "Lu sendiri siapa?"
"Manusia." Aegean menyibakkan rambutnya kebelakang telinga. Ia sedang malas untuk beradu argumen tak penting dengan Killian. "Udah deh! Bolos ayok!!"
Killian hendak membalas namun di hentikan oleh Kalio, dia menatap Kalio heran, "Nanti kamu digeplak pakai tupperware keramatnya Gean." Mendengar itu Killian sontak diam dan menghapus niatnya untuk memperpanjang masalah. Keningnya pernah benjol karena benda keramat milik Aegean.
Killian menghela nafas, "Hadeh.. kenapa SMPN 45 Nusa Abadi yang notabene nya sekolah impian setiap negara nerima murid kek lu, Gean."
"Sekolah mancanegara gini kalo aneh kalau ga pakai uang." Killian dan Aegean terdiam, celetukkan Kalio ada benarnya. Sekolah ini menerima murid berprestasi dari berbagai negara, jika tidak pintar berati ada uang. Sesimpel itu.
"Katanya nanti bakal ada kunjungan dari anggota polisi. Tapi kayaknya ga jadi sih." Kalio ingat sesuatu, tadi pagi ada beberapa polisi yang berpatroli di luar. Tapi sekarang hilang entah kemana.
"Wah, polisi? Yaudah deh bolos aja, yu? Sebagai orang yang baik.. gue bakal ngalah sama Aegean, kali ini doang tapi. Ga sudi aslinya, tapi di sudi-sudiin aja lah.. berhubung perut gue lapar." Killian memasukan buku keranselnya. Dari pagi tidak belajar, guru hanya memberi tugas lalu pergi.
Aegean berdecak sebal, "Bilang aja takut sama polisi!"
Killian hanya terkekeh, "Iya takut, takut di tangkep."
Kalio hendak menolak, "Tidak terimak-
"KALIOSRATDRA ALLINGGA, BAYAR UANG KAS!"
"UANG KAS-UANG KAS!!"
Terdengar dua teriakan dari gender yang berbeda, yang pertama perempuan dan yang kedua laki-laki.
"KABUR!" Mendengar namanya di sebut-sebut, Kalio buru-buru memasukan buku pelajarannya lalu bergegas pergi disusul oleh Killian.
"Mau kemana kalian?!"
"ALAREM MERAH!" Heboh, satu kelas buru-buru pergi dari tempat kejadian. Ada yang pergi menerobos pintu utama keluar kelas, sembunyi dibawah meja, pura-pura kekamar mandi, bahkan ngedobrak pintu darurat. Beberapa orang yang kurang beruntung dicubit atau bahkan dapat tanda persahabatan dari penggaris kayu.
Aegean, Kalio dan Killian melompat keluar dari jendela. Melupakan sejenak bahwa mereka ada di lantai tiga. Sumpah-serapah ringan memenuhi ruangan kelas. Apa lagi ketika disertai kalimat penuh cinta dari sang bendahara.
Aman. Tiga gadis itu sudah berada diluar gerbang yang baru saja dibuka.
"Ngeri.. berasa kejar-mengejar sama rentenir. Lumayan lah, simulasi sejak dini," Killian menoleh kearah jendela. Didengarnya suara indah nan merdu milik bendahara tercintah yang sedang menunjukan kasih sayangnya dengan penggaris kayu.
Aegean menatap Kalio, "Lio yang ditagih, satu kelas yang panik."
Yang ditatap hanya tertawa. "Tadi keren sih, bawa-bawa penggaris kayu segala. Cara gila buat nagih uang kas berserta nyawa-nyawanya." Kalio terkekeh.
"Penggarisnya loh itu, mau kenalan sama lu," ucap Killian berusaha bergurau.
"LIO, GEAN, KIKI! SINI KALIAN!"
"KABUR!" Mereka bertiga berlari sekuat tenaga untuk pergi dari omelan penuh cinta sang bendahara.
"KILLIAN RIANTARAGA! AEGEAN SAGARAS! KALIOSRATDRA ALLINGGA! GUE ADUIN KE GURU!"
***
Killian berusaha menetralkan nafasnya. Melihat jam tangan merah miliknya. "Sepuluh menit? Asli! Atlet lari aja kayaknya kalah sama kita ga sih?!"
Sesaat, ketiga orang itu berusaha menetralkan nafas.
Kalio merogoh sakunya, "Lho? Hape saya mana?" Kalio memegang pundak Killian. "Ki, kamu nelen hape saya?"
Killian menoleh cepat, "Gue itu memang lapar, tapi bukan berati gue nelen hape lo, sayang. Hape is can't didahar. Gue juga masih punya makanan yang nganggur."
Kalio ingat, tadi dia terburu-buru memasukan buku paket kedalam tasnya. Ponsel kesayangannya ada di kolong bangku.
Kalio menepuk dahinya, "Damn.. anak pungut peremium saya ketinggalan.. puter balik, lewat jalan pintas aja." Dia mulai berlari.
"Lho? Lio kok baru ngomong kalo ada jalan pintas.." Aegean mengejar Kalio, disusul oleh Killian.
Mereka bermain kejar-kejaran lagi, sekarang dalam akses yang lebih terbatas. Didalam gang.
DUG! Killian menubruk tubuh Kalio yang tiba-tiba berhenti, disusul oleh Aegean. Mereka baru keluar dari dalam gang.
"Lio! Napa sih?" Kalio hanya terdiam, Aegean mengikuti arah pandangan Kalio. Mereka tertegun sesaat ketika melihat banyaknya orang yang berkerumun.
Aparat penegak hukum mengelilingi kubangan air berwarna merah berbau anyir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Octava [Wisata Masa Lalu]
أدب المراهقينIni mereka, sebuah penjara yang bersembunyi dibalik kata Keluarga. Mereka adalah sekumpulan jawaban yang bersembunyi dari tanda tanya. Kumpulan orang yang tersenyum walau hatinya memaki, menolong namun pikirannya acuh, mengatakan pujian walau dirin...