04. Pertemuan Awal

9 3 12
                                    

Assalamu'alaikum Petir! Selamat Hari Raya Idul Fitri 1445-H, ya! Mohon maaf lahir dan batin 😊🙏

Mohon maaf juga kalau Tasa jarang up😮‍💨
votenya dulu atuh ⭐⭐⭐

Let's go >>>

Kericuhan yang baru saja terjadi tiba-tiba hening. Teriakan itu dengan cepat mengambil alih perhatian mereka, dokter, dan beberapa perawat—3 perawat. Mereka menghadang pintu, menatap garang ke arah kerumunan siswa, mengunci pintu, dan menutup rapat jendela hingga membentangkan gorden. Ruangan ini sunyi seketika. Gelap.

"Jangan keluar dan tetap diam, turuti perintahku!" tidak ada yang berani bersuara, mereka hanya saling tatap.
Bingung, berusaha mencari tahu tentang sesuatu yang sudah terjadi atau bahkan sedang terjadi. Adrian melirik, melihat jam arloji yang melingkar di tangannya sudah menunjukkan pukul empat sore, waktu belajarnya terpangkas.

"Saya ada perlu, Dok. Saya harus—"

"Tunggu dulu, jangan ada yang keluar. Dengarkan saya kali ini, maka kalian akan selamat." suara gemuruh terdengar begitu kesar, jendela UKS bergetar sesaat. Mereka saling tatap, bertanya-tanya ada apa. Beberapa anak perempuan saling berpelukan, berusaha menenangkan satu sama lain meskipun suasana semakin mencekam.

Keadaan semakin buruk ketika beberapa siswa mulai bertingkah aneh, seperti kesurupan. Mereka meraung, loncat-loncat, merangkak, bahkan sampai ada yang menerkam temannya sendiri, lalu memuntahkan cairan hijau.

"Bagaimana ini? kalau sampai semua kesurupan nanti yang mengobati siapa?" pertanyaan itu bagai pematik api yang membakar tumpukan kayu. Seisi ruangan kembali ribut, tidak kondusif bahkan untuk sekadar membuka mulut—Fariz memilih tidak jadi bicara—karena saking banyaknya yang berteriak. Dokter lagi-lagi meminta untuk tetap tenang. Dia bertanya siapa siswa yang sekiranya memiliki ilmu agama lebih, atau bisa membantu menyembuhkan mereka yang katanya dirasuki jin. Akan tetapi, saat itu juga semuanya diam, mereka saling tatap dengan sorot mata kecewa; mana ada anak ustadz bersekolah di sini?

Fariz perlahan maju, mendekati siswa yang sedang bertingkah aneh—kesurupan—dengan tatapan bingung. Dokter bertanya apakah Fariz benar-benar bisa menyembuhkan atau tidak, karena khawatir jika dia bukan ahlinya otomatis nyawa taruhannya.

"Mudah-mudahan. Sebelum itu, tolong semuanya bantu juga, berdoa semoga mereka segera disadarkan. Mereka akan sadar ketika doa dipanjatkan dengan keyakinan penuh. Dengan begitu, kita meyakini bahwa Tuhanlah satu-satunya penolong, bukan saya, para guru, ulama, atau siapa pun. Mereka hanya perantara, seperti dokter." setelah kembali saling tatap, saling meyakini satu sama lain, kini saatnya mereka fokus dengan satu hal saja. Berdoa.

Fariz meminta untuk berdoa dengan keadaan baik, sopan, dan penuh keyakinan. Selama proses doa berlangsung, yang kesurupan mulai menunjukkan respon negatif, meraung, menjerit-jerit, bahkan ada yang menghampiri Fariz dan hampir mencekiknya.

"Terus berdoa! yakin dengan doa yang kalian panjatkan. Pasti terkabul." mereka terus berusaha untuk tidak membuka mata dan tetap berdoa selagi Fariz melantunkan ayat-ayat suci. Hawa memang terasa sangat berbeda, berubah 180°, sangat panas, sesak.

Ruangan UKS dengan ukuran 6×6 m itu terisi ¾ didominasi siswa. Disaat seperti ini tidak ada yang peduli apakah mereka sedang duduk bersama yang pintar, atau duduk bersama yang ranking terendah. Adrian perlahan membuka matanya, ingin melihat keadaan Fariz yang dikelilingi oleh orang kesurupan. Itu mengerikan ketika salah satunya mulai memegang erat leher Fariz. Geram sekali Adrian ingin membantu, apalagi Bintang yang main kasar, pasti sudah bonyok orang itu jika tidak kesurupan.

Disaat situasi sedang 'sengit', Khandra tiba-tiba saja meraih ceruk lehernya, mencabut sesuatu yang serupa dengan jarum akupuntur. Rintihannya membuat semua orang menoleh dan beberapa berhenti berdoa. Tingkah Khandra sudah mirip orang kesurupan, tetapi dia masih sadar dan mendekati Fariz, sempat melakukan kontak mata sebelum akhirnya Khandra melakukan hal di luar dugaan.

"KHANDRA!"

Laki-laki itu mencengkram lengan orang yang mencekik Fariz, melepasnya paksa lalu dengan kasar menghempaskannya hingga membentur loker obat-obatan. Dia mendekati siswa itu lalu mencabut benda yang serupa dengan miliknya dan menancap persis di tempat yang sama pula. Khandra melakukan itu kepada semua siswa yang dirasa kesurupan, walau tatapannya cukup kosong, seakan-akan di bawah kendali alam sadarnya.

"Khandra, sadar!"

"Hei, bukankah dia memang sadar? dia tidak kerasukan jin apapun."

"Sepertinya dia mengetahui ini sebelumnya."

"Mungkin. Anak pejabat, masuk jalur duit. Hal-hal gelap begini pasti sudah di-briefing sebelumnya."

Irsyad mengepal erat selimut UKS yang Cakra gunakan, semakin lama selimut itu semakin menjauh, tidak menutupi kaki Cakra. Benar-benar merusak suasana hati. Bisa-bisanya mereka bergosip dalam keadaan darurat seperti ini. Apa yang ada di dalam pikiran mereka sebenarnya selain mengurusi kehidupan orang? terlebih lagi, hei, ini fitnah! apakah tidak ada sedikitpun benih cahaya yang tertanam di hati mereka hingga kapanpun dan di manapun kerjanya selalu menebarkan hal-hal buruk. Menjijikan.

"Jika mulut kalian hanya bisa mengeluarkan perkataan buruk, alangkah baiknya diam saja dan sucikan dengan berdoa." skakmat. Sepertinya mereka tidak sadar jika suara yang ditimbulkan terdengar oleh yang lain. Cakra ikut menatap gadis-gadis itu dengan tatapan nyolot. Bodo amat jika nanti mereka akan merasa ilfeel. Dia sudah ilfeel duluan pada mereka.

Sekitar satu jam semua siswa di dalam UKS melakukan 'pertarungan' sengit, akhirnya semua sudah kembali seperti semula. Siswa yang katanya tadi 'kerasukan' akan dirawat sementara di puskesmas dekat sekolah karena beberapa luka serius, seperti bekas jarum akupuntur yang menancap pada tempat yang tidak seharusnya. Biaya perawatan ditanggung oleh pihak UKS, karena sekolah tentu tidak mau ambil pusing dengan kasus kecil seperti ini. Mereka punya kasus sendiri yang lebih membutuhkan banyak uang.

"Jangan khawatir, teman kalian ini tanggung jawab saya. Semoga besok lusa mereka sudah bisa bersekolah."

Siswa mulai pergi satu-persatu, menyisakan enam anak laki-laki yang masih ingin memenuhi keinginan mereka. Mengapa semua ini terjadi?

"Kalian ini keras kepala, dasar remaja plin-plan." mereka berenam tetap tidak menggubris sindiran dokter, mereka justru terus mendesak meminta jawaban. Dokter menghela napas berat, lelah menghadapi siswa modelan mereka yang sulit diatur, selalu bertingkah seenaknya.

"Pulanglah. Besok lusa, saya ceritakan separuhnya."

"Kok separuhnya, Dok? sudah begitu kita harus menunggu,"

"Hei, anak muda! sopan sedikit. Kalau tidak mau, ya, tidak usah. Saya sibuk. Permisi—"

"Eh, maaf, Dok. Maaf, teman saya ini memang agak tidak sopan. Baik, kami akan menunggu sampai besok lusa." dokter itu tersenyum, menepuk bahu Adrian "Teladan. Pantas saja skormu besar, kau layak mendapatkannya." Khandra yang merasa tersindir langsung memanyunkan bibirnya.

"Sampai jumpa di kedai kopi, Buah Batu."

Selamat beraktivitas dalam mimpi, Petirku seng😏💖lopyu

gut bai

Why About Our School Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang