Aquarius adalah mermaid kembar yang memiliki sifat saling bertolak belakang. Jika Aqua adalah ombak besar ditengah lautan, maka Rius adalah air tenang dalam kolam.
Keduanya tidak pernah menyangka, bahwa ibu mereka sendiri telah terikat perjanjian de...
Rius duduk di dalam bak air, ekor duyungnya yang berkilauan tampak pucat di bawah cahaya remang-remang ruangan. Pikirannya berputar, mencoba mencerna kata-kata King Albartaz. Aqua ada di sini. Saudara kembarnya, yang selama ini ia rindukan, telah datang untuk mencarinya. Namun, kabar itu justru membuat hatinya semakin sesak. Jika Aqua tertangkap, itu berarti Aqua dalam bahaya.
Dengan gemetar, Rius mencoba mengangkat tubuhnya, namun ekor duyungnya yang berat membuatnya kembali jatuh ke dalam air. Rius menggigit bibir, frustasi. Tanpa kalungnya, ia bahkan tidak bisa berjalan. Ia terjebak. King Albartaz telah mengambil satu-satunya harapannya untuk kembali ke daratan, dan kini ia bahkan tidak bisa menyelamatkan Aqua.
Tiba-tiba, suara gemerisik kecil menarik perhatian Rius. Ia mengangkat kepalanya, menatap ke arah sumber suara. Dari balik tirai tebal di sudut ruangan, seekor kucing hitam muncul, matanya berkilauan dalam kegelapan.
Rius hampir berteriak, jantungnya berdebar kencang. Sebagai duyung, ia memiliki ketakutan alami terhadap kucing. Namun, sebelum Rius sempat bereaksi, kucing itu berubah. Dalam sekejap, tubuhnya membesar dan berubah wujud menjadi seorang pria muda dengan rambut hitam dan sorot mata tajam.
Pria itu dengan cepat menutup mulut Rius dengan tangannya, mencegahnya bersuara.
"Tenang, Rius. Aku di sini untuk membantumu, aku mengenal saudaramu—-Aqua," bisiknya dengan suara rendah namun meyakinkan.
Mata Rius masih dipenuhi ketakutan, tetapi perlahan-lahan tubuhnya mulai rileks. Zion melepaskan tangannya, memastikan Rius tidak akan berteriak.
"Maaf jika aku mengejutkanmu," kata Zion sambil menarik sesuatu dari balik jubahnya. "Aku membawa ini untukmu."
Rius mengerjap ketika melihat liontin emas berbentuk ekor duyung yang Zion pegang. Itu bukan kalungnya, melainkan kalung milik Aqua!
"Aqua… di mana dia? Apa dia baik-baik saja?" suara Rius bergetar penuh kekhawatiran.
Zion mengangguk singkat. "Dia tertangkap bersama Pangeran Arkeolus dan dikurung di ruang bawah tanah istana. Tapi mereka masih selamat."
Rius merasa dadanya mencelos. Aqua… di dalam sel penjara istana?
Zion mencondongkan tubuhnya, menatap Rius dengan serius. "Kami membutuhkan bantuanmu, Rius. Kami merencanakan pelarian untuk membawamu kabur, tapi untuk itu, kau harus bergerak."
Rius menatap liontin di tangan Zion. "Tapi… Rius tidak bisa berjalan tanpa kalung Rius sendiri."
Zion tersenyum tipis. "Aku tahu. Tapi liontin ini adalah milik Aqua. Dan kau bisa menggunakannya sementara."
Mata Rius melebar. "Apa… apa itu akan berhasil?"
"Ya," Zion mengangguk. "Selama ini, Aqua menggunakan kalungnya untuk bisa berjalan di daratan, sama seperti yang kau lakukan dengan kalungmu. Liontin ini akan memberimu kesempatan untuk bergerak."
Harapan mulai muncul di mata Rius. "Jadi… aku bisa menyelamatkan Aqua?"
Zion mengangguk sekali lagi. "Benar. Tapi kau harus bergerak cepat. Kita tidak punya banyak waktu sebelum King Albartaz menyadari rencana kita."
Rius menatap liontin itu sejenak sebelum meraihnya dengan tangan gemetar. Jika ini bisa membantunya menyelamatkan Aqua, maka Rius tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.
Dengan tekad yang semakin kuat, Rius mengangguk. "Baik. Katakan pada Rius... apa yang harus Rius lakukan."
🌊🌊🌊
Di sudut ruangan yang gelap dan lembap, Aqua bersandar pada dinding batu yang dingin. Nafasnya tersengal-sengal, tubuhnya gemetar, dan wajahnya semakin pucat. Ekor duyungnya yang berkilauan kini terkulai lemah di lantai batu yang kasar, jauh dari tempatnya seharusnya berada—di dalam air.
Pangeran Arkeolus berdiri tidak jauh darinya, kedua tangannya terkepal di sisi tubuhnya. Matanya yang tajam menatap Aqua dengan perasaan campur aduk—cemas, marah, dan tak berdaya. Aqua butuh air. Jika dibiarkan lebih lama, ia bisa kehabisan napas. Dan sekarang, tanpa kalungnya, Aqua bahkan tidak bisa berubah kembali ke bentuk manusianya.
"Kenapa kau bisa punya pikiran seperti itu?" suara Arkeolus akhirnya pecah di antara kesunyian. Tatapannya tajam saat menatap Aqua yang semakin lemah. "Melepaskan kalungmu demi saudaramu. Bagaimana kalau dia gagal menjalankan rencanamu? Bukankah semuanya hanya sia-sia? Kau hanya menyiksa dirimu sendiri."
Aqua menoleh ke arahnya, meskipun matanya sudah mulai kehilangan kilau. Namun, meski tubuhnya melemah, keyakinan di wajahnya tidak luntur sedikit pun.
"Aku percaya Rius," balasnya lirih namun tegas.
Arkeolus terdiam, dadanya terasa sesak. Tentu saja Aqua akan berkata seperti itu. Ia tahu betapa dalamnya cinta Aqua terhadap saudara kembarnya. Tapi tetap saja—bagaimana mungkin gadis ini lebih peduli pada keselamatan orang lain daripada dirinya sendiri?
Melihat bibir Aqua yang semakin pucat, Arkeolus tidak bisa lagi menahan kekhawatirannya. Ia tidak peduli apakah ini tindakan yang benar atau salah. Yang ia tahu, ia tidak akan membiarkan Aqua mati di depannya.
Dalam satu langkah cepat, Arkeolus berlutut di hadapan Aqua, tangannya dengan lembut meraih wajah gadis itu. "Jangan melawan," gumamnya pelan, tepat sebelum ia mendekatkan wajahnya.
Aqua awalnya membelalakkan mata ketika Arkeolus menempelkan bibirnya ke bibirnya. Namun, begitu udara segar mengalir ke paru-parunya, naluri duyungnya mengambil alih. Ia tanpa sadar menghirup rakus napas dari mulut Arkeolus, seolah itu adalah satu-satunya sumber kehidupannya sekarang.
Arkeolus bisa merasakan tubuh Aqua sedikit rileks, tetapi tangannya masih gemetar saat mencengkeram lengan bajunya.
Tangan Aqua mencengkeram lengan Arkeolus, seolah takut ia akan kehabisan udara jika pria itu menjauh terlalu cepat. Rasanya aneh, tapi juga menyelamatkan.
Ketika akhirnya Pangeran Arkeolus menarik diri, mata mereka bertemu dalam keheningan. Aqua masih terengah-engah, tetapi rona merah mulai menghiasi wajahnya. Arkeolus menatapnya dengan intens, seolah memastikan bahwa gadis itu benar-benar merasa lebih baik.
"Kau bodoh," gumam Arkeolus, suaranya lebih lembut dari sebelumnya. "Aku tidak peduli dengan rencanamu atau saudaramu. Aku hanya peduli padamu, Aqua."
Aqua masih terdiam, hatinya berdetak tak karuan.
Arkeolus mengusap lembut pipi Aqua dengan ibu jarinya sebelum akhirnya berbisik, "Kalau kau butuh napas lagi… aku akan memberikannya, kapan pun kau mau."
Dan untuk pertama kalinya sejak mereka terjebak di sini, Aqua tersenyum—senyum kecil yang cukup untuk membuat hati Arkeolus semakin bertekad. Ia tidak akan membiarkan Aqua dalam bahaya lebih lama lagi.
To be continued.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Yang mau baca duluan, di karyakarsasudah sampai bab 25! Harga per bab 3.000 rupiah.