PART 1:
Kota J, sebuah yang di dalamnya terlalu banyak orang tua menggantungkan harap bagi anak-anaknya yang merantau untuk mendapat pendidikan yang lebih baik. Kota yang sering disebut sebagai kota pelajar ini, sudah banyak mencetak mahasiswa-mahasiswi berprestasi yang berhasil membanggakan dirinya dan keluarganya. Namun, di kota yang sama pula, taraf kenakalan remaja juga menjadi salah satu kekhawatiran orang tua yang menitipkan anaknya kepada kota ini.
Aku Rania, mahasiswa baru di kampus paling ternama di kota ini. Sebagai anak perempuan dan anak bungsu, bukan hal yang mudah bagiku meyakinkan kedua orang tuaku untuk mengizinkan aku merantau. Orang tuaku tinggal di daerah Barat pulau Jawa, di sebuah daerah kabupaten yang tidak terlalu terkenal banyak orang. Jarak yang jauh antara rumah dan tempatku menempuh pendidikan menjadi ketakutan orang tuaku, terlebih dengan isu-isu miring tentang kota pelajar yang menjadi surganya kenakalan remaja.
Aku merasa kekhawatiran itu terlalu berlebihan. Aku pikir, aku sudah cukup dewasa untuk mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak. Pun sejak kecil, aku ditanami nilai-nilai moral yang sangat kuat dan dididik dengan aturan yang cukup ketat. Sejak SMP, aku sudah dimasukkan ke boarding school. Tinggal di asrama sekolah membuatku patuh pada aturan dan nilai-nilai yang ada di sana. Aku rasa bekalku selama bertahun-tahun itu sudah cukup untuk membuatku bisa bertahan dari tantangan di kota pelajar ini. Toh kuncinya hanya mencari teman yang benar saja kan?
Lagipula, aku merantau di kota ini tidak sendirian. Ada kakakku, Laras, yang lebih awal merantau ke sini. Kak Laras adalah kakak kandungku, kami terpaut 3 tahun. Saat ini ia berusia 21 tahun dan aku 19 tahun. Selama di kota ini, kakakku tinggal di sebuah rumah milik orang tua kami dulu sebelum memiliki anak. Ya, dulu orang tua kami sempat tinggal di kota ini, lalu pindah ke rumah kami sekarang karena Ayah pindah tugas.
Seharusnya orang tuaku tak sebegitu khawatirnya, bukan? Toh aku juga merantau bersama kakakku sendiri, kami tidak mungkin aneh-aneh di kota ini.
***
Rania
"Kak Laras!" seruku setengah berteriak memanggil kakakkku sambil mengetuk pintu depan rumah.
Aku melihat rumah yang ditinggali kakakku ini masih dalam keadaan bagus, hanya saja sekarang ini sedang ada sedikit renovasi di bagian kamar yang nantinya akan aku tempati karena atapnya masih bocor dan kamar mandinya mampet. Jadi untuk sementara, aku akan tidur bersama kakakku selagi renovasi berjalan.
"Kak Laras!" seruku lagi dengan lebih kencang sambil mengetuk pintu dengan lebih keras sebab kakakku tak kunjung menjawab dan telepon pun tak kunjung diangkat.
Tak lama, kakakku keluar membukakan pintu dan menyambutku.
"Astaga Raniaa. Maaf tadi aku lagi nyuci gak denger kamu manggil" ucapnya sambil memelukku kencang.
Laras
Aku pun membalas pelukan kakakku yang sudah lama kurindukan ini.
"Sini masuk-masuk, barangnya biar Pak Sardi aja yang bawain"
Lalu kakakku memanggil Pak Sardi, seorang tukang bangunan yang merenovasi rumah ini untuk membantu membawakan koper-koperku yang sangat besar dan berat itu.
Selama di perjalanan masuk dari ruang tamu menuju kamar tidur, kakakku mengajakku berkeliling melihat beberapa sudut rumah terlebih dahulu. Ia mengoceh tentang banyak hal, mulai dari kamar mana yang sedang direnovasi, kamar mandi mana yang bisa digunakan dan mana yang macet, dan sampai ke kamarnya yang akan aku tempati sementara kamarku sedang di renovasi.
Kakakku duduk di atas kasurnya, aku masih di depan pintu kamarnya menghadap kasur sambil membantu Pak Sardi memindahkan barang-barang dari luar ke dalam kamar. Lalu, aku baru menyadari satu hal. Di dada kakakku, terdapat dua tonjolan yang mencuat samar-samar di balik daster tipisnya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sisters
Teen FictionKakak beradik, Laras (21) dan Rania (19) mengeksplor fantasi-fantasi mereka memamerkan tubuh indahnya di berbagai tempat umum. Mereka bertualang, dari tempat ke tempat, dari orang ke orang, memenuhi gairah muda mereka dengan tetap berusaha menyembun...