Kacamata

912 110 6
                                    

"Selamat pagi." Taufan menyapa semua saudaranya yang tengah duduk menikmati sarapan mereka. Dia berjalan melewati meja makan untuk membuat kopi bagi dirinya sendiri. Ibunya mungkin akan memarahinya karena kebiasaannya meminum kopi tetapi Taufan tak bisa menahannya. Setelah begadang semalaman penuh, dia masih memiliki kelas di pagi hari dan dia membutuhkan kafein untuk membuatnya tetap terjaga sepanjang kelas. Ternyata menjadi mahasiswa jurusan seni tidak semudah yang selama ini Taufan pikirkan. Malah sebaliknya, dia kekurangan tidur semenjak kuliah dan semua disalahkan pada tugas-tugas mengerikan yang diberikan oleh dosennya.

Dikala tengah mengaduk kopi yang dia buat, saat itulah dia menyadari jika suasana ruang makan terlalu sunyi padahal sebelum keluar dari kamarnya, Taufan bisa mendengar segala macam keributan yang dibuat oleh saudara-saudaranya. Ketika dia mengangkat pandangannya dari gelas kopi di atas meja pada saudara-saudaranya, keenam saudaranya tengah menatapnya dengan beragam ekspresi.

Halilintar dan Gempa nampak tercengang, Blaze melotot dengan mulut terbuka lebar, Ice memiringkan kepala dengan raut kebingungan, Duri menggaruk-garuk kepalanya sementara Solar terus menatapnya dari atas ke bawah.

"Siapa?" Ice membuka mulutnya untuk berbicara, memecah keheningan yang telah tercipta sebelumnya.

Taufan hanya tersenyum bingung, "Hah?"

"Kak Upan sejak kapan makai kacamata?! Kok aku nggak tau?! Kak Hali ama Kak Gempa tau yang soal ini?!" Blaze berseru. Dia menoleh pada kedua saudara mereka yang masih terlihat terkejut sekaligus kebingungan.

Halilintar nampak menggelengkan kepala, "Tidak. Aku tidak tau sama sekali."

"Aku juga. Ini pertama kalinya aku melihat Kak Taufan memakai kacamata."

Tunggu. Jangan bilang kehebohan ini tercipta hanya karena Taufan memakai kacamata? Ah, baru memikirkannya saja sudah membuat kepala Taufan berdenyut-denyut.

Taufan melepaskan kacamata yang dikenakannya dan memijit pangkal hidungnya. Dia tak lagi memperhatikan saudara-saudaranya yang masih dengan intens menatapnya. Saat dia kembali memakai kacamatanya, Taufan bisa mendengar suara tercekik entah siapa yang mengeluarkannya. Lebih baik dia mengabaikan tingkah mereka karena dia memiliki tugas yang harus diselesaikan dengan segera sebelum berangkat ke kampus.

Oh, dimana kopinya? Taufan sepertinya butuh lebih banyak kopi untuk hari ini.

"Kak Upan! Jangan lari dulu!" Taufan dapat mendengar suara teriakan Blaze saat dia melarikan diri dengan segelas kopi. Taufan meminta maaf pada saudaranya di dalam hati sembari berjanji akan membelikan ayam goreng untuk adiknya itu saat pulang kuliah nanti. Sebaiknya dia fokus pada tugasnya yang sudah mencapai tahap penyelesaian.

...

Taufan terus menguap sepanjang jalan menuju kelas. Dia sangat mengantuk dan ingin sekali tidur. Sepertinya kopi segelas saja memang tidak cukup. Seharusnya dia membuat segelas lagi, namun Taufan memilih menghindari saudara-saudaranya untuk sekarang karena mereka pasti akan mencegatnya dan menanyainya berbagai macam pertanyaan. Dan kondisi Taufan saat ini sedang tidak cocok untuk menjawab pertanyaan.

Oh, dia yang pertama datang ke kelas. Berarti masih ada kesempatan untuk tidur sejenak sebelum teman-temannya datang. Mengambil tempat pada bagian pertengahan, Taufan meletakkan tasnya di lantai dan melepaskan kacamatanya. Dia meletakkan benda itu di dalam laci meja lalu memilih untuk tidur sejenak dengan kedua tangannya sebagai bantalan. Tidur Taufan tidak dapat dikatakan nyenyak namun setidaknya dia memiliki beberapa saat untuk mengistirahatkan matanya. Ketika kelas mulai semakin ramai, Taufan memutuskan untuk bangun. Mengusap pangkal hidungnya, Taufan meraih kacamata dari dalam laci mejanya. Ketika dia memakainya, teman sekelasnya yang duduk di sisinya menjadi diam. Padahal tadi dia begitu bersemangat bergosip dengan salah satu teman sekelas mereka yang juga duduk di sisinya.

KacamataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang