4

34 1 0
                                    

Lea memasuki rumah orang yang akan menjadi wadah sementara untuk dirinya. Terlihat kecil, tetapi ruangannya sangat rapi. Nampak beberapa desain logo yang menarik perhatiannya,"Orang ini pasti sangat kreatif." batinnya.

Ia melihat sebuah foto tiga sekawan yang tengah berbahagia di pantai. "Keliatan banget seperti keluarga bahagia, andai aja papa sama mama akur..."

Suara knop pintu terdengar dan memperlihatkan Paige yang baru saja pulang mencari kerja. Ia langsung duduk di sofa empuk berwarna abu-abu lalu menghela napas sejenak. Ia berbaring sebentar, lalu mengecek ponselnya, melihat kembali obrolan-obrolan seru mereka bertiga di grup chat yang kini begitu sepi.

Ingin sekali dirinya memejamkan matanya sejenak untuk menghilangkan rasa capek dan penatnya mencari pekerjaan.

Lea melihatnya tertidur pulas, mendengkur pelan. Kini ia melihat tas milik Paige berisi berkas-berkas CV yang terselip, tanpa sengaja Lea melihat beberapa goresan di telapak tangan kanannya.

Lea jadi penasaran apa yang membuatnya sampai depresi berat? Saat Paige mengubah posisi tidurnya menjadi terlentang, perlahan jiwa Lea masuk ke tubuh Paige.

Paginya, Lea terbangun di tubuh barunya. Hal pertama yang ia lakukan adalah memandangi kedua tangannya yang berbeda, menggenggam angin lalu berdiri.

Pergi ke kamar mandi, mencuci mukanya. Tampak wajah di tubuh yang ditempatinya tak jauh berbeda dengan dirinya, walau berbeda di bentuk matanya dan letak tahi lalatnya, bukan, maksudnya bentuk tubuh.

Ia melihat tubuh barunya lebih tinggi dan lebih ramping, sangat cocok menjadi model. "Hmm... Badan sebagus ini kenapa gak jadi model aja ya?"

Lea terkesan dengan tubuh barunya itu, hingga muncul pesan dari sebuah perusahaan yang menawarkan sesi wawancara untuknya.

Saat Lea membaca pesannya, ekspresi terkejut terlihat di wajah gadis itu.

Sementara di rumah sakit, kedua orang tua mereka masing-masing menjenguk. Tetapi ada yang berbeda dari keluarga Lea, mereka saling memalingkan wajah seperti sedang perang dingin.

Namun hati mereka luluh sejenak, melihat betapa hancurnya hati mereka ketika putri kesayangan mereka harus terluka seperti ini.

"Yang sabar bu, Tuhan mungkin sedang menguji anda dengan musibah seperti ini." ucap ibunya Alex.

"Anda juga, bu." balasnya.

Alex yang merasa dirinya harus bertanggung jawab atas kecelakaan tersebut memberanikan diri untuk meminta maaf kepada para orang tua. Tetapi ada satu hal yang mengejutkan, Papanya Lea terbakar emosi dan ingin menghajar Alex.

"Lelaki Macam apa kau? BERANI-BERANINYA MENCELAKAI ANAK SAYA?!

Mamanya Lea menahan tubuh suaminya,"Pa, sadar paaa... Mama mohon tahan emosi papa."

Papanya Lea mengoceh dan menunjuk-nunjuk Alex,"Gak bisa, gak bisa dibiarin ini. Kau pasti bawa mobilnya ugal-ugalan, KAU NGEBUT KAN?"

Kini Abinya Zayn ikut menenangkan,"Pak, sudah, pak. Ini musibah yang menimpa anak-anak kita."

"Lepaskan saya! LEPASKAN!"

Papa Lea jauh lebih kuat membuat kedua orang yang menahannya terdorong mundur. Ia berambisi untuk menghajar Alex, tentu Miles tidak tinggal diam melindungi sahabat yang sudah dianggapnya abang. "Pak, saya mau menjelaskan beberapa hal biar gak terjadi kesalahan pahaman. Bapak sudah lihat beritanya atau belum?"

"Saya sudah lihat, dan saya yakin anak ini sudah mencelakai putri kesayangan saya." jawabnya yang masih kokoh dengan pendapatnya sendiri.

"Dan saya gak akan segan-segan memenjarakannya karena kelalaiannya sebagai sopir."

"Jangan, pa... Mereka ini korban, bukan pelaku."

Ia menoleh ke istrinya yang sudah memohon,"Kalo bukan gara-gara kamu yang izinin anakmu pergi bersama mereka, gak bakal terjadi hal kek gini!"

Ibunya Miles memperingatkan,"Pak, ini rumah sakit. Anda jangan membuat keributan disini, apalagi bertindak kasar ke istri anda sendiri."

Tentu papanya Lea menggeram kesal,"Lebih baik kita do'akan saja semoga Lea dan Zayn bisa sadar dan pulih sepenuhnya." saran Uminya Zayn.

Akhirnya mereka berdo'a sesuai keyakinan masing-masing. Mereka berdo'a begitu khusyuk demi kesembuhan anak-anak mereka, setelah ini situasi sedikit menegang ketika orang tua mereka hendak pulang.

"Kami mau pulang dulu, tolong jaga mereka baik-baik ya." ucap mama Lea.

"Baik, ma."

Alex masih diberi tatapan tajam oleh Papanya Lea, seolah berkata, "Urusan kita belum selesai."

-0-

Di suatu tempat antah-berantah, nampak sebuah Lapo dimana menjadi tempat tongkrongan asyik di malam hari. Ternyata Zayn sedang bernyanyi bersama para warga, tua muda tak masalah selama tidak memicu keributan.

"Hehe, kapan kau sampe sini?" tanya seorang lelaki gemuk berkulit putih.

"Baru tiga hari, Gabe."

"Gara-gara kenapa?"

"Habis ditabrak truk, main nabrak aja sembarangan. Kan bangke." keluh Zayn.

Teman-teman barunya tercengang, tapi ada juga yang kesal dengan tindakan sopir truk. "Lah terus gimana dong sopirnya?" tanya Julian, pria tampan asal Samarinda.

"Mana kutahu. Yang jelas aku tiba-tiba udah sampe sini."

Seorang pria bernama Leo berceletuk, "Ckckck.... Parah banget sih tuh si sopirnya. Oh iya, kuping lu pernah kemasukan kipas nggak?"

"Leo, masih aje lu bawa-bawa jokes absurd lu di Kampung Silangit ini." keluh David, pria yang mirip dengan Bison Terbang di Avatar.

Zayn merangkul David,"Hargailah, bang. Kita-kita disini juga terhibur kok sama jokesnya. Entar kukasih hasil Dewa Zeus."

"Nggak ah, haram!"

Melihat David tantrum seketika membuat teman-teman baru Zayn tertawa kencang.

Kini ada seorang yang berceloteh,"Sumpah bang, lu mirip Appa kalo lagi ngambek."

"Ngaca woy! Muka lu mirip Momo."

Gabe berdiri dan menengahi kedua orang tersebut,"Nah cocok dah kelen berdua maen di film Aang."

Mereka kembali tertawa dan meramaikan suasana di Lapo. Baru beberapa saat Zayn didatangi Lea yang mencarinya.

"Bang Zayn?" tegur Lea.

Zayn menoleh dan terkejut mendengar suara adik bungsunya memanggil namanya.

-TBC-

Halo semua! Akhirnya kembali lagi di chapter terbaru fanfic ini. Semoga kalian suka ya, terima kasih sudah vomment disini.

Save Your TearsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang