Pagi harinya, Viarmo dan keluarga tampak sedang membereskan barang bawaannya, untuk dipindahkan ke mobil pickup. Butuh cukup banyak waktu karena barang yang diangkut juga lumayan banyak, jadinya menguras tenaga. Tapi untungnya, bisa selesai saat adzan Dzuhur berkumandang.
“Amo, Ummi! Ayo kita sholat berjamaah di masjid!” Beni—Abi Viarmo, berkata cukup keras guna mengajak istri dan anaknya untuk beribadah berjamaah sebelum berangkat ke kota
Viarmo lebih sering dipanggil Amo oleh orang-orang sekitarnya, karena lebih terdengar akrab dan nyaman diucapkan.
“Iya!! Ayo, nak!” Vina—Ummi Viarmo membalas ajakan Beni, tak lupa juga wanita itu mengajak putra semata wayangnya untuk pergi beribadah
Viarmo mengangguk sembari menerbitkan senyuman hangatnya, laki-laki itu berjalan mengikuti Abi dan Ummi yang telah bersiap-siap lebih dulu. Setelah beribadah, dia juga akan berpamitan kepada sahabat-sahabatnya.
Sebelumnya, Beni mendapatkan kesempatan untuk bekerja di kota, bukan lagi di desa sebagai buruh tani dan serabutan. Dengan penuh syukur, Beni menerima tawaran tersebut dan mengajak istri dan anaknya untuk ikut serta ke kota, karena keterbatasan sinyal di desa mempersulit untuk berkomunikasi dalam jarak jauh.
Viarmo sangat senang saat mendengarnya, tapi dia juga merasa sedih karena harus berpisah dari para sahabatnya. Tapi mau gimana lagi? Laki-laki itu tidak memiliki keberanian ekstra untuk menentang keputusan ayahnya, lagipula semua ini juga demi kebaikan keluarganya.
Keluarga Viarmo bukanlah kelas rendah maupun kelas atas, hanya keluarga sederhana yang hidup dengan suasana hangat yang harmonis. Sebagai putra tunggal, tentu saja Viarmo diberikan limpahan kasih sayang serta perhatian penuh dari orangtuanya, karena itu pula, Viarmo tumbuh menjadi anak yang ramah dan sedikit polos.
Orangtuanya membatasinya dalam memainkan handphone dan media internet lainnya, keduanya hanya memberikan Viarmo buku pelajaran, dongeng, buku tentang Sejarah Kebudayaan Islam dan sebagainya. Lagipula, Viarmo juga terbilang sangat jarang atau bahkan tidak pernah memegang benda pipih tersebut.
Paling banter hanya 3 kali sebulan, itupun jika sedang merasa bosan.
Sisanya adalah dengan menghabiskan waktu untuk membaca Kitab suci Al-Qur'an ataupun bermain dengan sahabat-sahabatnya sampai sore. Sahabat yang paling dekat dengannya adalah Ali, laki-laki yang seringkali mengajaknya untuk tidur di masjid bahkan kuliah subuh.
Viarmo mempunyai 8 orang sahabat, diantaranya adalah Ali, Abim, Sunu, Juna, Baim, Mika, Hafsah dan Hanifah. 6 orang laki-laki dan 3 lainnya adalah perempuan, teman perempuannya cukup jarang keluar rumah ataupun bermain dengan yang lain. Interaksinya dengan ke-tiga teman perempuannya juga cukup jarang, biasa berkomunikasi juga jika ada kendala dalam memahami beberapa hal, Viarmo biasa bertanya kepada Hafsah yang adalah Hafidz Qur'an.
Setelah menunaikan ibadah sholat Dzuhur berjamaah di masjid, dia bersama orangtuanya berpamitan kepada Pak Ustadz juga beberapa tetangga, disusul dengannya yang berpamitan kepada sahabat-sahabatnya.
Selepas berpamitan, ia dan keluarga pergi dengan mengendarai mobil pickup, meninggalkan desa tempat kelahirannya tersebut. Disepanjang perjalanan hanya diisi oleh alunan lembut dari suara halus Viarmo yang tengah membacakan ayat-ayat suci Al-Qur'an. Kedua orangtuanya menikmati suaranya yang tenang dan enak didengar.
***
Viarmo sekeluarga telah sampai di kota yang dituju, sekarang ini mereka tengah beristirahat setelah lelah membereskan barang-barang seharian ini. Sama halnya dengan Viarmo yang tertidur lelap setelah menunaikan ibadah sholat Maghrib, karena kelelahan membuatnya terlupa untuk membuka sarung dan peci hitam kesayangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
VIARMO Abigail [H I A T U S]
Teen FictionIni kisah tentang cowok alim bernama Viarmo Abigail yang pindah dari desa ke kota karena alasan pekerjaan. Gimana ya reaksinya, pas tau kalau kota gak sebaik perkiraannya?