ᯓ★ 𝖱𝗎𝗆𝖺𝗁 : 𝖡𝖺𝗀𝗂𝖺𝗇 017

1.2K 209 2
                                    

꒰꒰ ❛ ❏ 𝖧𝖺𝗉𝗉𝗒 𝖱𝖾𝖺𝖽𝗂𝗇𝗀 ¡!~ ⌒⌒

Ramai.

Satu kata untuk menjelaskan tempat yang ia singgahi hari ini. Gadis itu berada di kafe tempat Senna bekerja. Dan hari ini, kafe terbilang cukup ramai pengunjungnya dan membuat (Name) harus menghela nafas panjang karena harus berakhir di keramaian.

(Name) duduk di tempat paling ujung dan didekat jendela. Gadis itu menatap ke arah luar. Menikmati secangkir mochacchino sembari menunggu Senna yang sedang melayani tiap pelanggan.

Lima menit kemudian, barulah suasana terbilang cukup tenang dan tak terlalu ramai. Dan disaat itulah, Senna pergi menghampirinya. Gadis dengan surai berwarna hitam itu duduk di depannya.

"Jadi, mau ngomongin apa?" tanya Senna sembari menyimpan kedua tangannya di atas meja.

Nafas oleh sang gadis ia ambil dalam-dalam. "Ayah gue balik lagi sama istri barunya," ucapnya.

Satu kalimat yang sudah terucap dari bibir (Name) mampu membuat Senna menggebrak meja. Aksinya ini mengundang beberapa tatapan pelanggan di dekatnya. Sontak ia memajukan wajahnya agar mendekat.

"Yang bener aja? Terus gimana?" tanya Senna penasaran.

Kedua bahu (Name) terangkat. "Gak gimana-gimana. Gue justru bingung kedepannya gimana." Ia mendesah pelan menyandarkan punggungnya pada kursi.

"Gue tau, nanti gue pasti disuruh ikut mereka." Ia kembali duduk dengan tegak. "Rasa benci gue ke mereka masih ada. Bahkan kayak udah bersarang aja rasa benci itu di diri gue." Telapak tangannya bergerak menyentuh dada kirinya.

Senna terdiam. Ia mengerti bagaimana perasaan sang gadis. Ia sudah mengenal gadis itu dari bangku menengah pertama dan selalu mendengarnya bahagia kehidupan yang dijalani olehnya.

Senna lantas menghembuskan nafasnya perlahan. "Kalau kata gue, lo mending ikut aja sama mereka." Gadis itu menatap Senna tak mengerti.

"Karena menurut gue, lo itu gak selamanya bisa bergantung ke diri sendiri." Ia menatap lurus ke arah iris biru (Name). "Sekarang mungkin lo bisa bergantung ke pekerjaan lo sebagai penulis atau manfaatin yang tabungan lo."

Selama berkuliah, (Name) berkerja sampingan sebagai penulis sebuah novel. Sudah banyak sekali novel yang terbit dan terjual toko-toko buku besar. Hasil dari pekerjaannya itu ia gunakan untuk kebutuhan sehari-hari dan jika cukup untuk membayar biaya kuliah. Kadang pula ia menggunakan uang tabungannya.

Senna mengambil nafas dalam-dalam. "Tapi inget, lo gak bisa selamanya gitu, (Name). Waktu itu terus berjalan dan takdir Tuhan pun gak ada yang tau."

(Name) menggeleng ketika mengerti maksud dari perkataan Senna. "Tapi gue masih gak bisa nerima mereka, Sen..." Dengan lirih ia berucap. Kepalanya menunduk.

Senna meraih telapak tangan sang gadis yang tersimpan di atas meja. "(Name), gue yakin lo bisa. Lo pasti bisa buat keputusan."

Iris birunya yang membola kembali menatap sahabatnya itu. "Gue yakin (Name), lo bisa. Gue selalu inget gimana pinternya lo buat jawab pertanyaan pilihan ganda sama isian yang bahkan yang rangking satu di kelas pun gak bisa jawab."

(Name) refleks menepis tangan Senna dan berdecak. "Itu mah beda lagi!" protesnya.

Senna terkekeh pelan. "(Name), ketika lo bisa memutuskan jawaban soal ganda maupun isian yang susah, itu berarti tandanya kamu bisa mengambil keputusan."

𝐑𝐮𝐦𝐚𝐡 : 𝐒𝐨𝐥.𝟒𝐜𝐞 [ 𝐄𝐍𝐃 ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang