Sudut nyaman

14 1 2
                                    

Lantai dua menjadi spot paling tepat untuk mengamati segala kegiatan di bawah sana.

Lapangan basket menjadi salah satu pemandangan yang tak pernah bosan untuk di nikmati, apa lagi disana berdiri satu mahluk ciptaan tuhan yang tengah membenahi rambutnya ke belakang.

Sania menyangga dagunya dengan tangan. Satu tangannya yang memegang segelas es kopi itu ia sampaikan di pembatas besi. Tatapannya tak lepas dari sosok pria itu yang berlarian dengan riang mengejar bola.

"Woi!" Sania yang kaget membuat tumpuan dagunya terpeleset dari tangan dan hampir saja terbentur besi pembatas.

"Aish! Hampir aja gue tumbuk, lo!" Sebalnya.

Gia, sang pelaku hanya cengengesan. "Ngapain?"

Sania memamerkan tumbler bening yang isinya tinggal setengah. "Ngopi,"

"Asam lambung, nangisssss," cibir Gia.

Sania tak mengindahkan ucapan Gia, ia memilih kembali menumpu dagunya dan menatap fokus ke bawah sana lagi.

Gia mengikuti arah pandangan Sania yang sedari tadi seolah mengabaikan kehadirannya.

"Buset, betah banget mandangin mantan. Buku yang udah selesai dibaca, gak akan seru pas dibaca ulang, tau."

Sania tersenyum tipis, merapikan poninya. "Itukan elo, gue lebih suka baca buku yang sama berulang kali dari pada baca buku baru. Capek harus nebak-nebak alurnya gimana ekspektasi gue selalu dipermainkan."

Gia merebut tumbler di tangan Sania, menyeruput sisa kopi tanpa izin sang empunya.

"Itu sih permainan otak lo sendiri, gue kan sering bilang, semua hal yang gagal itu karna pikiran lo sendiri. Berhenti berekspektasi sama hal yang jelas-jelas gak bisa lo genggam." Gia mengembalikan tumbler ke tangan Sania.

Apa yang dikatakan Gia memang benar, tapi beranjak dari tempat yang indah dan membuat nyaman bukan hal yang mudah.

Tempat itu memang indah, terlepas dari beberapa duri yang berserakan dan siap melukai jika salah langkah. Tempat itu nyaman, terlepas dari beberapa hal menyebalkan yang akhirnya menjadi terbiasa.

Yah, terbiasa. Salah langkah berkali-kali, luka yang tak berhenti seolah tiada arti. Pandangannya terlalu fokus ke depan, seolah terhipnotis. Berjalan saja tanpa merasakan sakit, padahal kakinya sudah berlumuran darah.

***

"Woi, minyak goreng. Gue sekelompok sama, lo, kan?"

Jio, satu-satunya makhluk menyebalkan di kelas ini. Menghampiri Sania, menarik kursi dan duduk di hadapan gadis itu.

Sania mendengus kesal. "Sania. S-A-N-I-A, Sania. Berhenti manggil gue minyak goreng!" Sania mengeja namanya.

Jio tertawa. "Sania kan emang merk minyak goreng, salah gue dimana?"

Sania melengos. "Tau ah, nyebelin. Kenapa gue harus satu kelompok sama lo sih?"

Jio mencolek hidung Sania. "Takdir,"

Sania mengibas-kibaskan tangannya di bekas colekan Jio. "Amit-amit, amit-amit." Hebohnya.

Jio tergelak.

"Gue gak bisa gambar anatomi tubuh, lo aja yang gambar yah. Nanti konsumsi biar gue yang atur. Kita kerjainnya sepulang sekolah aja di rumah gue, sekalian gue mau kenalin lo ke nyokap sebagai babu baru gue." Jio terus saja nyerocos, semetara Sania hanya memutar matanya malas.

Jio masih saja bicara, seolah tak kehabisan kata. Sedangkan Sania memilih membuka kembali buku dan mempelajari ulang. Mengabaikan Jio. Biar saja, nanti juga lelah sendiri.

Jarak tempuh Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang