ANILA sangat yakin kalau dokumen persiapan perlombaan ada di meja pembina. Tadi pagi sebelum bel masuk sekolah, dia meletakkannya. Padahal, semalam Anila tidur larut malam untuk merapikan dan memastikan semuanya. Padahal, sore ini Anila harus mengirimkan dokumen tersebut karena hari ini adalah deadline perlombaannya. Tetapi, kini dokumen itu hilang, seperti tak pernah ada sebelumnya.
"Kamu lupa kali," ujar Nami. "Jangan-jangan belum kamu taruh di sini."
"Beneran udah, Kak," jawab Anila. "Di sini lho," Anila menunjuk sebelah kanan meja Pak Omar.
"Tapi nggak ada tuh," sambung Gia.
Anila tidak langsung menjawab, dia sendiri juga kebingungan. Sebenarnya dimana atau kemana dokumen itu?
"Mungkin keselip," kata Fiza berusaha menenangkan.
"Sudah dicari, tapi emang nggak ada di sini," Gia melirik Anila yang masih diam. "Harusnya kalau dokumen penting jangan ditaro sembarangan."
Tapi biasanya begitu, aku sendiri nggak tahu kenapa itu bisa hilang. Anila tidak sanggup mengelak karena dia sendiri menyadari betapa ceroboh dirinya. Anila tambah merasa bersalah.
"Trus gimana?"
Ekspresi Gia dan Nami muram dan tampak kesal.
"Aku akan coba cari di sekitar sini dulu, Kak," ujar Anila.
"Aku juga," jawab Fiza.
Pikiran Anila jadi kacau. Berkali-kali dia menyumpahi dirinya sendiri dan napasnya menjadi berat. Dia berusaha menutupi ketakutannya dengan berjalan cepat ke sana kemari berharap menemukan apa yang dia cari. Di setiap meja pembina di ruangan tersebut, di ruang ekskul jurnalistik, di teras, di tasnya, bahkan di perpustakaan, kantin, kelas, di setiap tempat yang seharian ini telah Anila datangi.
Hari ini Pak Omar pulang cepat, Anila sudah diberi kepercayaan untuk mengurus pendaftaran lomba yang telah mereka persiapkan dengan sepenuh hati meskipun waktu yang hanya sebentar. Ini adalah langkah awal mereka. Tapi bukan hanya sebuah kerikil yang menghalanginya, ini batu besar yang bisa saja membuat ekskul jurnalistik tambah sulit bangkit.
Anila bertambah panik ketika dia dihadapkan kenyataan, bahwa di seluruh tempat yang dia datangi tidak ditemukan lembaran dokumen tersebut. Anila menarik napas, "Tenang," bisiknya pada diri sendiri.
Sebetulnya dari lembaran dokumen itu yang paling penting adalah surat pengantar pembina ekskul yang ada stempel sekolah serta tandatangan basah pembina dan kepala sekolah. Sedangkan karya naskah yang akan diikutkan lomba masih ada soft-file di laptopnya.
"Anila!"
Fiza berlari menghampirinya. "Sudah ketemu!"
Anila merasakan perasaan tegang menyeruak dari dirinya, tergantikan rasa lega. "Dimana?"
"Tadi Tamam yang nemu di dekat tempat sampah samping sekolah," jawab Fiza. "Semua dokumennya aman, selain naskah cerpen kamu."
Tentu saja, itu patut disyukuri.
Mereka segera kembali menuju ruang pembina. Gia dan Nami sudah pulang, dan Tamam duduk menunggu mereka datang.
"Sepertinya ada orang iseng yang mengambil," jelas Tamam. "Tapi untungnya ketemu," lanjutnya. Lelaki itu tersenyum, menunggu pujian dari Anila.
"Tamam, makasih banget ya," ujar Anila. Ungkapan rasa syukur terpancar dari matanya. "Untung saja, aku benar-benar berterima kasih. Jadi, kita masih bisa ikut perlombaan tanpa merepotkan Pak Omar. Aku tadi sudah kepikiran untuk menelpon Pak Omar kalau nggak ketemu."