MASA YANG INGIN DILUPAKAN JUSTRU MAKIN MELEKAT DALAM INGATAN

31 3 8
                                    


“Ketika kamu berdoa, Allah memberikan jawabannya dengan berbagai cara. Bisa jadi, jawaban doa mu atas dia adalah Aku”
___________________

Sejak sore tadi, Fariz belum berbicara apapun dengan Shafia, mereka memutuskan untuk pulang ke Rumah karena Shafia yang ingin pulang ke rumah. Di dalam mobil pun, ia hanya menyandarkan wajahnya pada jendela mobil dan tidak menatap Fariz sedikitpun.

Wajahnya kini membengkak karena terlalu lama menangis, matanya juga memerah dengan kantung mata yang juga membesar, sesekali dia menarik nafasnya secara kasar karena hidungnya yang kemungkinan mampat.

“Dek.. mau belanja?” Ucap Fariz. Niatnya memang hari ini mereka akan pergi belanja, tapi karena kondisi Fariz yang pagi ini kurang sehat, jadilah rencana tersebut tertunda.

“Gak mau” Ucap Shafia singkat.

“Tapi aku mau beli sesuatu di super market, boleh kita mampir sebentar?” Ucap Fariz. Padahal pergi ke super market hanya alibi agar mereka tidak sampai di rumah begitu cepat.
Fariz sudah bisa membayangkan bagaimana nanti Shafia saat  di Rumah, dia pasti akan langsung masuk ke kamar dan tidur. Dia pasti akan tertidur dengan hati yang berat dan penuh kesedihan. Karena sekarang Fariz berstatus sebagai suaminya, Fariz tidak mau Shafia tidur membawa air mata, ia ingin istrinya bisa tidur dengan tenang dengan begitu istirahat nya terasa seperti benar-benar istirahat dimana bukan hanya tubuhnya yang terbaring dan berhenti beraktivitas, tapi otak dan hatinya juga.

“Mau beli apa?” Tanya Shafia.

“Ada sesuatu, anterin ya. Bantu pilihin juga”
Saat Shafia mengangguk, barulah Fariz bisa sedikit lega. Ia akan melancarkan rencananya untuk membuat Shafia yang ia lihat tadi pagi kembali saat ia pulang ke rumah. Fariz tidak ingin membawa Shafia dengan wajah masamnya kembali ke rumah, ia bertekad jika Shafia belum tersenyum malam ini, maka ia tidak akan membawa Shafia pulang. Ia akan terus mencari cara supaya hati istrinya kembali membaik saat seperti ia membawanya ke rumah setelah pernikahan.

Sesampainya di Supermarket, Fariz langsung mengambil troli. Satu tangannya mendorong troli, dan tangan lainnya menggandeng tangan Shafia. Wajah anak itu sejak tadi masih tetap murung bahkan langkahnya terlihat malas.

“Fia.. Kamu mau jadi mantu yang di sayang Umi gak?” Ucap Fariz tiba-tiba.

Seketika melihat wajah Shafia yang tidak tersenyum sejak tadi mengingatkan Fariz pada Umi.

“Mau”

“Tapi susah si. Kayaknya Umi bakalan susah sayang sama kamu” Setelah Fariz bicara seperti itu, Fariz merasa Shafia menggenggam tangan Fariz lebih erat, langkahnya terhenti tapi tatapan matanya mengarah ke mata Fariz.

“Kenapa? Umi lihat aku ga baik?”

“Bukan..Tapi Umi gak suka sama anak perempuan yang mukanya asem gak enak dipandang kayak kamu gini. Umi kalau lagi jalan-jalan terus ada anaknya yang mukanya cemberut gini, dia mending pulang deh daripada ngeliatin orang mukanya cemberut asem gitu, bikin sumpek katanya”

“Kak Fariz gitu juga?”

Fariz menggelengkan kepalanya. “Enggak, Tapi kalau terus-terusan ya sama kayak umi. Sayang, coba senyum.. Kalaupun ada hal dalam hidup kamu yang bikin mood kamu berantakan, usahain tetep senyum. Kadang kala, yang enggak enak di hati enggak perlu di tampilin di muka. Boleh nangis, boleh marah, boleh kesel, boleh sebel, boleh sedih. Aku gak larang, tapi menangislah kamu di tempat tersembunyi yang enggak orang lain lihat dan denger. Sayang, pengaduan semua itu boleh di ucapin ke Allah kok.. Gak harus ke manusia, manusia bisa menghakimi kamu, tapi Allah enggak.. Sayang, dapetin ketenangan hati kamu dari Rabb kamu. Kalau ke makhluknya, kamu harus kasih kebahagiaan. Contohnya kayak senyuman”
Shafia tidak menjawab apapun, ia melepaskan genggaman tangan Fariz tapi ia beralih menggandeng tangan Fariz. Yang dilakukan Shafia bukan membuat dirinya sendiri tersenyum tapi membuat Fariz tersenyum.

“Dek, besok aku mau masakin kamu. Kamu mau makan apa?” Tanya Fariz, ia mencoba memulai lagi pembicaraan untuk memancing Shafia yang cerewet kembali hadir di sebelahnya.

“Emang kamu bisa masak apa aja?” Tanya Shafia.

“Telor ceplok, telor dadar sama tumis telor” Jawaban Fariz ternyata berhasil memancing tawa kecil dari bibir Shafia.

Sebenarnya Fariz memang tidak andal dalam memasak makanan. Karena itulah, Fariz jarang makan jika tidak disiapkan oleh Umi atau Namia. Tapi demi Shafia, besok pagi ia bahkan berniat untuk memasakan makanan yang lebih high quality yang bukan berbahan dasar telur, ia berniat menonton resep Vidio di sosial media untuk memasak.

“Aku aja yang masakin kamu” Ucap Shafia.

“Ya udah, kalau gitu kamu pilih mau beli apa aja”

“Gak mau.. Besok aja kita belanja banyak nya. Aku masih gak mood”

Fariz hanya tersenyum mendengar jawaban Shafia. Ia kemudia menepuk kepala Shafia pelan dan mengajaknya mengelilingi lorong super market. Sampai di rak minyak wangi, Fariz menghentikan langkahnya. Ia mencium beberapa parfum keluaran terbaru kemudian memberikan wanginya kepada Shafia.

“Suka gak?” Tanya Fariz.

Ia biasanya membeli minyak wangi atas rekomendasi dari Namia, tapi untuk kali ini ia ingin minyak wanginya dipilihkan oleh Shafia. Fariz ingin menggunakan parfum yang wanginya hanya disukai oleh istrinya.

“Gak suka.. coba aku mau cium wanginya yang lain” Shafia mencoba satu persatu tester yang tersedia di etalase, tapi ia tidak menampilkan wajah yang memuaskan tiap kali ia menghirup aromanya. “Kak.. nanti aku pesenin parfum dari temen aku di Turki aja deh. Ada satu parfum yang aku suka banget wanginya dari sana. Parfum Abi sama Kak Adam selalu beli di sana. Nanti aku beliin buat kamu ya”

“Boleh”

Saat membicarakan parfum dari Turki, Fariz jadi teringat tawaran Umi untuk berlibur ke Turki, Umi pernah menawarkan Fariz liburan sebelah Koas nya selesai. Tapi, setelah selesai Koas, Fariz justru memilih untuk menerima perjodohan ini dan alhasil, ia belum sempat mengambil kesempatan dari Umi untuk berlibur.

“Gak mau.. Aku bosen kalau ke Turki” Ucap Shafia kala Fariz bercerita tentang tawaran Umi kemudian mengajaknya untuk pergi bersama.

“Terus mau kemana?” Tanya Fariz. Mungkin Shafia menginginkan tempat lain selain Turki, yang Fariz juga setuju untuk pergi ke sana.

“Aku belum mau pergi-pergi Kak. Masih mau kenalan sama Kak Fariz lebih dalem. Aku juga mau coba cinta sama Kak Fariz” Ucapan Shafia membuat Fariz menatapnya dalam-dalam, ia tak bisa berkata-kata sampai Shafia menyadarkannya. “Kak Fariz.. Jangan gampang terpanah dong. Kakak tuh bener-bener gampang jatuh cinta ya?”

Fariz tersenyum miring “Kan aku udah bilang”

“Kak besok mau coba sarapan andalan keluarga aku gak?” Tanya Shafia.

“Sarapan apa?”

“Rahasia...”

***

Sejak kecil, Shafia sudah terbiasa hidup di lingkungan yang heterogen. Ia tumbuh dan berkembang dengan mengikuti adat dari berbagai negara. Selain di Turki, Shafia juga pernah tinggal selama dua tahun di Riyadh, dan kemudian kembali lagi ke Turki dan menetap dalam waktu yang lama. Mungkin, jika kalau bukan karena Zeyd, kini Shafia masih berdiri di bumi Turki. Kembali ke Indonesia bagi keluarganya adalah hal yang sangat berat, tapi yang paling berat adalah melihat putri satu-satunya hidup bagaikan orang mati.

Bagi Shafia, Turki adalah luka. Awalnya ia menganggap tinggal di negeri ini bagaikan tinggal di Surga. Ia memiliki kehidupan yang sempurna, terlahir dari keluarga yang harmonis, memiliki pekerjaan yang baik, dan memiliki calon pasangan hidup yang suportif.
Di benaknya, masih teringat jelas bagaimana ia berlari mengitari sepanjang jalan di Istanbul sambil bercengkerama dengan laki-laki yang saat itu ia anggap sebagai laki-laki terbaik setelah Abi dan Kak Adam. Laki-laki yang selalu ia doakan akan terus bersama dengannya, tapi nyatanya kini harus ia lupakan dengan kenangan yang sangat menyakitkan.

Dalam pikirannya, selalu ada celah kecil yang berpikir, bagaimana bisa seseorang yang tampak sangat mencintainya tiba-tiba menorehkan luka pada hatinya. Shafia bahkan masih ingat dengan jelas peristiwa ketika Shafia melakukan ujian profesi untuk menjadi guru, kala ia terjatuh dari tangga, Zeyd sangat tanggap menemuinya di Rumah sakit meninggalkan kelas pembedahan di kampusnya.

Semua terasa masih mengambang, dan Shafia butuh jawaban. Ia menganggap jawaban darinya adalah yang menentukan, Shafia harus berenang jatuh ke dasar lautan atau berenang menuju daratan.

Hari ini, Shafia memantapkan hatinya untuk belajar ikhlas. Ia sangat ingin mendapatkan jawaban, tapi ia tidak boleh memaksa. Ia akan menunggu jawaban itu datang dengan hati yang coba ia bersihkan. Ia akan memulai hari ini dengan Fariz. Mencoba lagi untuk jatuh cinta pada pribadinya, karena paras wajah Fariz sudah tentu akan membuat semua orang jatuh cinta kepadanya. Seperti hal nya Fariz, Shafia juga ingin mencintainya dengan tulus, bukan karena wajah tapi karena dia orang nya.

Di hadapannya kini sudah tersedia makanan khas Turki yang biasa ia makan saat sarapan pagi. Membuatnya lumayan sulit, tapi ternyata Shafia bisa menyelesaikan ini sendiri. Awalnya Fariz ingin membantunya, tapi Shafia tolak, ia justru menyuruh laki-laki itu untuk pergi berjemur ke luar untuk memulihkan kondisinya dan agar tubuhnya lebih segar setelah berjemur.

“Assalamualaikum..” Shafia menoleh ke arah pintu. Ia melihat Fariz dengan kaos putih selengan dan sarungnya yang masih sama dengan yang ia gunakan saat sholat subuh tadi pagi.

“Udah berjemurnya?” Tanya Shafia. Ia sedikit belum terbiasa melihat orang menggunakan sarung di luar ruangan. Karena di Turki sangat jarang sekali ia menemukan laki-laki keluar rumah menggunakan sarung, atau sholat berjamaah menggunakan sarung.

“Udah, tadi sambil ngobrol sama kucing-kucing di depan” Fariz duduk di hadapan Shafia. Ia kemudian menenggak segelas air putih dan bangkit lagi.

“Mau kemana? Gak makan?” Tanya Shafia. Karena di meja makan sudah tersedia makanan yang Shafia masak, tapi Fariz malah bangkit dari kursinya.

“Mau, aku mau ganti baju. Emang kamu mau makan sama aku yang bau keringet ini?”

“Oke”

Selagi menunggu Fariz, Shafia menyiapkan piring berserta dengan makanan yang ia masak untuk Fariz. Sebenarnya ia meragukan masakan ini, karena lidah Fariz sangat pemilih. Umi Salwa pernah bicara jika Fariz adalah anak Umi yang paling susah makan dan dia juga sangat memilih makanan apa yang akan masuk ke dalam mulutnya. Jika makanan ini tidak mendapatkan jempol dari Fariz, maka mulai hari ini ia akan mengambil kelas memasak. Karena Shafia tidak terlalu berbakat untuk masak makanan Indonesia.

“Kamu masak apa?” Tanya Fariz ketika ia sudah berganti pakaian dengan kaos selengan dan celana panjang. Ia duduk di hadapan Shafia sambil menatap masakan yang sudah Shafia hidangkan di hadapannya. “Sayang ini apa?”

“Ini Pastrami. Umi suka masak ini. Cobain deh” Saat Fariz menyuapkan makanannya, Shafia memperhatikan wajahnya, ia akan menganalisis apakah Fariz menyukai masakan ini atau tidak. Saat mengunyahpun, Shafia tetap menatap wajahnya yang masih sama. Wajahnya tampak datar dan tidak terlihat raut yang menandakan ia tidak menyukai makanan ini. “Kamu suka?” Akhirnya setelah menebak-nebak melalui raut wajahnya yang tidak terdeteksi apapun, Shafia memutuskan untuk bertanya.

“Enggak begitu suka. Tapi enak” Ucap Fariz sambil menyuapkan makanan ke dalam mulutnya.

Ternyata benar kata Umi Salwa, tantangan terbesar Shafia adalah membuat masakan yang bisa disukai Fariz.

“Sayang kamu suka apa si,?”, Tanya Shafia. Tujuan ia bertanya adalah agar Shafia bisa menyenangkan hati Fariz melalui masakan yang ia buat.

Fariz tidak menjawab sepatah katapun, sampai piring di hadapannya kosong, baru ia bicara.

“Nasi sedikit sama Telor ceplok. Aku suka itu” Ucap Fariz singkat.

“Ih, serius? Gizi kamu gak cukup kalau Cuma makan telor ceplok sama nasi”

Fariz mengangguk. “Karena aku bingung, Umi suka masak berbagai makanan. Umi Nyoba ngasih aku makanan yang dia buat tapi aku gak suka. Aku cenderung gak suka makanan yang ribet. Mie instan aja sebenernya cukup sih”
Shafia menggelengkan kepalanya. Ia bahkan tidak percaya jika laki-laki yang kini ada di hadapannya adalah seorang Dokter tapi kebiasaan makannya sangat tidak beraturan.

“Ka Fariz. Ayo saling sayang dan saling jaga” Ucap Shafia tiba-tiba.

“Ya ayo.. Kan memang harusnya begitu” Balas Fariz. Ia kemudian mengambil sebuah pisang dan mengupasnya.

“Kak.. Aku mau cerita deh” Shafia menggeser piring makannya. Pagi ini ia berniat untuk menceritakan sedikit harapannya tentang pernikahan mereka. “Aku mau hidup sama satu orang yang aku cinta, aku sayang, dan aku jaga.. Kak Fariz, Kalau kakak mau hidup sama orang kayak gimana?”

“Kayak kamu” Balasnya singkat.
Shafia tidak menyangka jika jawaban Fariz sesingkat itu dan se to the point’ itu. 

“Kamu mau ceritain mantan kamu? Gak usah” Ucap Fariz, dia kemudian meletakan kulit pisang di piring yang tadi ia gunakan untuk makan.

“Ih orang enggak.. Mau cerita isi hati aku tau gak?” Ucap Shafia.

“Oh ya? Kalau gitu boleh deh”

“Ada tentang mantann dikit sih, tapi gak ngaruh”

“Ya udah coba aku dengerin”

Shafia menarik nafasnya, ia sudah bersiap untuk membuka bibirnya, tapi Fariz lebih dulu beranjak, ia mengambil dua buah mangkuk dan nampak terlihat terburu-buru.

“Mau kemana?”

“Keluar sebentar, beli bubur” Ucapnya singkat. Ia kemudian berlari keluar rumah dengan kedua mangkuk di tangannya.

Shafia menatap kepergian Fariz dengan tatapan kebingungan, padahal belum genap setengah jam Fariz menghabiskan makanan yang Shafia sajikan, tapi sekarang ia sudah membeli bubur.

Awalnya Shafia ingin ikut keluar, tapi ia malas untuk menggunakan baju panjang dan kerudung. Saat Obrolan setelah menikah, Fariz dan Shafia sepakat bahwa Shafia tidak boleh pergi keluar rumah tanpa menggunakan Hijab. Fariz juga tidak akan mengizinkan jika Shafia keluar rumah dengan baju ketat atau baju yang menampakan auratnya, awalnya Fariz meminta Shafia juga bercadar karena kebanyakan wanita di keluarganya menggunakan cadar, tapi Fariz tidak begitu memaksa dan bilang itu terserah Shafia jika memang ingin silahkan tapi Fariz lebih suka memang tertutup.

Mungkin saat ini Shafia belum berani untuk bercadar, karena ia takut akan pandangan orang Indonesia terhadap orang yang menggunakan cadar. Apalagi, kini Shafia berniat untuk mendaftar pekerjaan karena ia mungkin akan bosan dirumah sendirian jika Fariz bekerja.

Setelah menunggu beberapa lama, Fariz datang dengan dua mangkuk bubur ayam di tangannya. Ia meletakan buburnya di meja makan kemudian mengambilkan dua sendok untuk diletakan di masing-masing mangkuk.

“Kamu masih laper? Kok beli bubur lagi? Tadi kan udah makan?” tak cukup sekali bertanya, Shafia langsung mengajukan tiga pertanyaan sekaligus kepada suaminya yang kini sedang mengaduk bubur tanpa bicara sepatah katapun.

“Aku lagi pengen bubur ini. Sekalian ketemu sama abangnya. Aku nunggu Abang ini pas nikahan kita, karena janjinya mau Dateng, tapi gak Dateng. Terus tadi aku tanya dia” Ucap Fariz. Dia kemudian menyuapkan sesendok bubur ke dalam mulutnya. Dari raut wajahnya, Shafia bisa melihat Fariz sangat senang memakan makanan ini.

“Kamu suka banget sama bubur ini?” Tanya Shafia.

“Iya.. sejak aku pindah ke sini, Bubur Abang ini jadi favorit aku. Nanti kalau aku gak di rumah, kamu beli bubur abangnya ya” Ucap Fariz.

“Kenapa harus beli? Kalau aku gak suka?” Tanya Shafia. Karena menurutnya, ia hanya akan membeli sesuatu yang ia suka dan ia butuhkan. Jika bisa memasak sendiri, kenapa harus membeli pada orang lain.

“Beli aja. Kalau kamu gak suka, nanti di simpen aja buat aku. Abangnya gak jualan setiap hari kok.. palingan seminggu tiga atau empat kali” Ucap Fariz yang masih menyantap makanannya.

“Kok gitu? Kayak gak niat jualan”

“Eh sayang... Jangan ngomong gitu. Aku ingetin ya, Jangan mudah mencaci orang dari apa yang kamu lihat dengan mata kamu. Karena mata kamu Cuma bisa lihat fisiknya tapi gak lihat hatinya. Hati-hati loh, siapa tau orang yang kelihatannya gak niat dagang itu justru dia yang paling banyak Allah kasih rezekinya” Ucap Fariz.

Shafia mengangguk, ia menuruti apa perkataan suaminya tanpa menjawab. Karena Abi Muh berpesan saat suami memberi nasihat, kita dengarkan dengan baik kemudian amalkan.
“Sayang bubur ini punya cerita, dan aku juga punya cerita kenapa aku harus beli bubur ini minimal semangkuk sehari waktu abangnya jualan” Ucap Fariz.

“Cerita apa?” Shafia mendadak penasaran, karena Fariz sampai segitunya meminta Shafia untuk terus membeli bubur itu tiap kali penjual nya lewat ke depan rumah mereka.

“Abang ini punya anak Down Syndrom, terus belum lama ini istrinya juga di diagnosa kanker usus. Jadi, Abang ini jualan kalau dia sempet aja. Maunya sih gak usah jualan, tapi Cuma dari hasil jualan dia bisa ngobatin istrinya, Cuma dari hasil jualan juga dia bisa nafkahin keluarga nya. Abangnya Cuma mau terima uang hasil penjualan buburnya, dia gak mau dipandang kasihan sama orang lain. Aku tau dia kesulitan tapi dia Cuma percaya bantuan Allah pasti akan nolong dia. Kenapa aku tahu? Karena istrinya di rawat sama Abi. Katanya, pengobatan dari Abi udah sangat membantu dia. Dia gak mau ngerepotin banyak orang lain lagi. Padahal dia tuh orang baik banget”

Melihat jawaban Fariz, Shafia teringat salah satu doanya. Shafia memiliki buku catatan yang isinya adalah keinginan. Di dalam buku itu juga Shafia menuliskan bagaimana  kriteria jodoh yang ia inginkan. Salah satunya adalah :
“Ya Allah.. Fia mau jodoh yang baik hati, baik sama orang lain, baik sama lingkungannya”
Dan, Fariz sudah mencentang bagian itu. Dia orangnya.

***

Hari ini Fariz sudah berjanji pada Shafia jika ia ingin mengajaknya pergi ke salah satu toko furniture untuk belanja beberapa kebutuhan rumah, baru setelah itu ia akan menemani Shafia berbelanja bahan masakan ke super market. Sebenarnya Fariz sudah membeli rumah itu sekitar 2 tahun yang lalu, ia juga sesekali menginap di sana tapi sampai sekarang perabotan rumahnya masih berupa perabotan sederhana. Cat rumahnya belum ia ganti dan masih bawaan dari rumah ini sejak pertama kali dibeli, barang elektronik pun menurutnya masih belum lengkap karena memang niatnya ia hanya akan membeli barang yang sekiranya dibutuhkan. Dan, saat ini Fariz mengajak Shafia untuk melihat-lihat perlengkapan rumah dan barang-barang elektronik apa yang sekitarnya ia butuhkan di rumah.

“Kamu mau beli Oven? Di rumah si belum ada oven. Atau mau desain dapur aja sekalian?” Ucap Fariz.

“Gak usah di dekor lagi. Aku udah suka sama dapur rumah kamu” ucap Shafia. Ia melihat-lihat bagian perlengkapan rumah seperti lemari, meja makan dan sofa. “Kak.. ini semua udah ada di rumah. Aku bingung mau beli apa” ucap Shafia.

“Ya kamu mau apa? Kalau mau sofa atau meja rias baru ya gak apa-apa. Beli aja” Ucap Fariz.

“Kalau kamu mau beli apa?” tanya Shafia.

“Apa ya? Gak mau apa-apa sih. Kamu aja, Kamu mau apa? Yang sekiranya kamu butuh untuk di dapur atau di rumah. Atau kalau di kamar kurang apa-apa untuk barang-barang kamu. Karena rumah aku masih kosong, jadi kita isi sama-sama ya” Ucap Fariz.

Setelah menjadi suami, ternyata Fariz mengerti kenapa Abi saat menemani Umi belanja dia tidak ikut belanja barang-barang untuk keperluannya, karena ternyata setelah menikah ini, keinginan untuk menyenangkan hati istri lebih besar dibandingkan dengan menyenangkan diri sendiri.

“Kak Fariz, boleh beli ini gak?” Tanya Shafia. Ia menunjuk ke salah satu lemari kayu untuk menyimpan sandal dan sepatu.

“Boleh, mau sepatu nya sekalian?”

“Ih gak usah.. Rak nya aja, supaya rapih”

Setelah Fariz menganggukkan kepalanya, Shafia kemudian berjalan ke arah barang-barang elektronik. Saat di tempat ini, Shafia terlihat seperti memperhatikan detail-detail harga.

“Sayang.. Coba lihat aku” Ucap Fariz yang kemudian meraih tangan Shafia. Ia menatap mata Shafia yang nampak kebingungan. “Bisa gak, kamu gak usah ragu. Gak usah lihat harga sayang... Aku punya uang kok.. Gak usah takut. Beli aja apa yang kamu mau”

Shafia menganggukkan kepalanya. Kemudian mereka kembali mengitari toko furniture. Meskipun sudah dikata untuk membeli apa yang ia mau, nyatanya Shafia hanya membeli Rak sepatu, airfryer, oven dan mixer. Setelah membayar ke kasir, Fariz menoleh ke arah Shafia yang berdiri di sebelahnya, Pandangan matanya mengarah ke sebuah meja kerja minimalis.

“Mau meja itu?” Tanya Fariz. Reflek Shafia langsung menggelengkan kepalanya. “Gak apa-apa kalau mau”

“Gak mau, Cuma lihat bagus aja”

Fariz mengangguk. Setelah selesai perihal furniture, kini saatnya ia pergi ke Supermarket untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari. Dan untuk urusan ini, Shafia sudah menyiapkan catatan barang-barang apa saja yang akan ia beli. Ia bahkan sudah memisahkan barang apa saja yang ia beli untuk stok Mingguan dan bulanan.

“Kak.. tolong bantu aku untuk pilihin merek nya ya. Aku gak tahu banyak tentang merek makanan atau bumbu di sini” Ucap Shafia yang juga memberikan catatan belanjaannya kepada Fariz.

Wajar saja, Shafia memang belum lama tinggal di Indonesia dan dia pasti tidak begitu familiar dengan merek-merek bumbu makanan di Indonesia. Seperti contohnya kecap, di sini ada berbagai jenis kecap dari merek yang berbeda dan tentu saja itu mempengaruhi rasa dari masakan.

Sambil mengambil belanjaan, Fariz sempat menyinggung tentang obrolan mereka tadi pagi yang sempat tertunda karena Fariz yang lari dari hadapan Shafia untuk menemui tukang bubur. Sebenarnya, Fariz juga sedikit penasaran tentang mantan Shafia, tentang bagaimana si orang yang berhasil membuat Shafia begitu cinta sampai ia harus merasakan sakitnya perpisahan dari cinta mereka yang gagal bersatu itu.

“Fia.. Kamu kenapa mau suami Dokter?” tanya Fariz. Ia mengajukan pertanyaan seperti itu untuk bisa bertanya lebih lanjut lagi.

“Sebenernya dulu orang yang gagal nikah sama aku  tuh Dokter juga. Jadi waktu pernikahan itu gagal, aku minta ke Umi kalau aku mau suami Dokter juga, kalau bisa yang lebih hebat dari dia” Ucapnya.

“Terus kamu berhasil?”

“Menurut kamu?” Tanya Shafia. Sementara Fariz tidak menjawab pertanyaan, kemudian Shafia kembali bertanya tentang diri Fariz. “Kamu kenapa mau sama aku? Kenapa kamu gak nikah sama yang sesama Dokter juga. Bukannya begitu? Abi Umi kamu juga kan mereka sama-sama Dokter”

“Aku dijodohin sama siapa aja mau sih. Asalkan itu pilihan Abi Umi dan di setujuin sama Syekh Ahmad. Tapi aku pribadi emang gak terlalu mau nikah sama sesama Dokter”

“Kenapa?”

“Ya gak mau aja. Obrolannya nanti akan gitu-gitu aja. Cuma seputar obat, pasien, kasus dan diskusi nya Cuma di sana-sana aja. Karena dulu Abi Umi juga kadang gitu, karena sekarang Umi udah gak kerja di Rumah Sakit, baru deh obrolan mereka jadi beragam. Adik sama Kakak aku juga bukan Dokter. Kak Bilal dulu sekolah teknik dan sekarang dia jadi Arsitek, Namia juga gak mau kuliah kedokteran dan akhirnya sekarang dia jadi guru. Kita jadi bisa bertukar pengalaman”

“Ka Fariz, aku boleh kuliah lagi gak di sini?” Tanya Shafia. Fariz refleks menoleh ke arahnya. “Aku pake biaya sendiri kok.. Kalau Kak Fariz izinin”

“Eh gak gitu... Boleh banget, aku seneng denger pertanyaan kamu. Mankanya aku agak kaget. Saking kamu ga pernah minta apa-apa ke aku”

“Tapi nanti aku pikirin lagi si. Aku sebenernya lebih pengen ada kegiatan aja selain jadi istri kamu”

“Ka Khansa waktu itu pernah nawarin ke aku, itu sebelum kita nikah sih. Katanya kamu mau gak ikut join di yayasan dia”

“Oh aku tahu itu dari Namia. Istrinya Kak Bilal tuh punya yayasan pendidikan gitu?”

“Iya, sekolah swasta yang basis nya Islam ada boarding school nya juga, yayasan itu juga masih punya keluarga kita. Nah, karena Kak Khansa lagi hamil muda, dia jadi butuh seseorang untuk bantu dia sama ada job untuk ngajar bahasa juga sih”

“Keluarga kita? Maksudnya gimana kak?”

“Iya itu yayasan keluarga. Kak Khansa itu masih sepupu sama aku. Kak Khansa tuh anaknya kakaknya Umi. Keluarga Umi tuh dari dulu emang sering nikahin anak tuh sama keluarga Deket. Nah, kebetulan Kak Khansa ni anak perempuan satu-satunya di keluarga mereka dan kepengen Abi nya nikah sama yang masih keluarga aja biar enggak sama orang lain di luar. Dan, yaudah deh nikah sama Kak Bilal. Padahal kecilnya tuh mereka kayak Tom and Jerry” Ucap Fariz.

“Kak.. Pernah terpikir gak kalau jodoh kamu tuh gak sesuai dengan diri kamu” Tanya Shafia.

Dan tentu saja Fariz mengangguk. Ia justru berada didalam kebingungan hebat ketika dijodohkan dengan Shafia. Bukan hanya tentang diri Shafia yang belum selesai dengan masa lalunya saja, tapi juga tentang diri Fariz yang harus meninggalkan ekspektasi tentang wanita idamannya. Fariz sebenarnya memiliki tipe ideal, tapi ia kerahkan semuanya kepada Umi dan Abi dengan harapan pilihan mereka sama dengan tipe ideal Fariz. Dan ternyata benar, Shafia memang tipe idealnya, tapi satu kekurangannya yaitu masa lalunya.

“Aku tuh gak pernah berpikir kalau akhirnya aku bakal nikah dengan cara di jodohin. Kayak apa si kuno tau. Sekarang kan orang udah boleh milih sendiri mau nikah sama siapa, mau hidup sama siapa. Gak harus diatur sama orang tua” Ucap Shafia.

Mereka kini sudah di penghujung supermarket, Mereka sudah sampai di tempat paling ujung dan rak terakhir di supermarket ini. Tapi, keranjang belanjaan mereka masih terisi sedikit. Mungkin karena asik mengobrol sampai tidak sempat untuk melihat catatan yang sudah mereka siapkan.

“Nah, kalau ini kita beda dikit. Aku lebih setuju untuk di jodohin karena aku gak bisa memilih seseorang. Aku tuh lahir dari keluarga yang semuanya serba di jodohin. Abi Umi juga mereka nikah karena dijodohin, begitu juga kakek nenek aku mereka di jodohin. Tapi, ya gak asal jodohin juga. Abi tuh sampe sekarang aja masih milih-milih calon untuk Namia. Abi Umi tuh pemilih, entah gimana bisa Abi Umi milih kamu buat jadi istri aku” Ucap Fariz.

Sekarang, berbelanja di supermarket rasanya menjadi sangat berbeda. Biasanya Fariz akan duduk di dalam mobil dan menunggu sampai Umi atau Namia selesai, tapi kini ia ikut andil dalam mendorong troli dan mengambil barang-barang yang akan dibeli. Ternyata lumayan menyenangkan, apalagi dengan Shafia yang penuh dengan tanya. Mereka memutari toko ini sampai tiga kali, itupun obrolan mereka belum selesai. Shafia yang terus bertanya, dan Fariz yang terus menjawab dengan pertanyaan kembali.

Sampai mereka selesai belanja, Obrolan itu berlanjut hingga perjalanan pulang menuju ke rumah.

“Kak Fariz pernah pacaran?” tanya Shafia

“Enggak. Gak penting”

“Karena sibuk ya?”

“Bukan si. Karena emang udah tau sama siapapun aku pacaran, endingnya aku bakal tetep di jodohin”

“Tapi kamu pernah suka sama orang?”

“Gak. Karena emang belum Nemu orang yang pas aku suka”

“Tapi waktu itu kamu bilang, katanya kamu gampang jatuh cinta”

“Ya jatuh cinta gak harus sama orang.”

“Terus?”,

“Kamu gimana? Kok bisa kamu pacaran, padahal udah jelas dilarang dalam islam”

“Gak pacaran, jatohnya kita kayak komitmen”

“komitmen untuk apa? Menikah?”

“Iya. Kita sama-sama jaga hati”

“Apapun namanya, entah itu komitmen atau apapun itu. Kalau ada interaksi, jalan berdua, saling pegang tangan, saling sayang-sayangan. Itu gak halal dan itu bukan hal yang Allah ridhoin.. Kamu sadar ga si,?” tanpa sadar, Fariz berbicara dengan nada yang sedikit ia naikkan. Meskipun Fariz sering absen kajian dengan Abi, tapi ia tetap berusaha menjaga syariat-syariat dalam islam. Selama ia bersekolah sampai sekarang kuliah, ia sebisa mungkin meminimalkan jarak dengan lawan jenis. Meskipun tentu saja ia tidak bisa menghindari 100% interaksi dengan lawan jenis, tapi Fariz hanya berinteraksi dengan perempuan hanya jika ia sangat butuh akan sebuah hal, jika ada yang bisa mewakili nya, maka Fariz akan meminta bantuan temannya untuk itu.

“Aku sebenarnya tahu si, tapi kayak ah mungkin gak apa-apa” Ucap Shafia.

“Gak gitu, gak ada toleransi Fia.. Tapi tahu gak, apa motivasi terbesar aku untuk enggak milih wanita manapun untuk jadi pacar aku”

“Apa tuh?”

“Karena Namia”

“Kenapa?”

“Ada beberapa perbedaan Abi ngajarin Namia dan Ngajarin aku sama Kak Bilal. Salah satunya perihal ngajarin akidah dan Akhlak. Abi selalu nekenin beberapa hal ke Namia perihal kodrat dia sebagai seorang perempuan dalam islam. Abi selalu ngenalin sifat-sifat Sayyidah Fatimah dan Sayyidah Khadijah ke dirinya Namia. Karena dia itu perempuan yang jadi tanggung jawab Abi, Karena dia perempuan yang nanti jadi tanggung jawab suaminya, karena dia perempuan yang nanti akan jadi ibu, yang tutur katanya, perilakunya akan jadi contoh buat anak-anaknya. Abi dan Umi selalu coba untuk ngalirin iman ke diri anak-anaknya. Termasuk aku. Aku juga gitu, Abi selalu bilang ‘Bilal Fariz, jangan coba macem-macem sama anak orang. Kalian punya adek, jangan sampe adek perempuan kalian kena imbas dari apa yang kalian lakuin ke perempuan di luar.”

Journey To Find You Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang