Acara Haul

16 2 3
                                    

“Wanita yang ditinggalkan oleh masa lalunya”

________

Shafia berdiri di depan cermin, menatap dirinya yang kini sudah mengenakan baju berwarna hitam, kerudung berwarna hitam dan cadar yang hanya menutup sebagian wajahnya. Sebenarnya ini bukan pertama kalinya ia menggunakan Cadar karena sebelumnya ia pernah mengikuti Umi nya ke beberapa pengajian yang para jama’ah nya menggunakan cadar juga.

“Dek.. udah siap?” Fariz muncul dari balik pintu dengan gamis putih dan peci putih yang sudah terpasang dengan rapih di tubuhnya. “Keluarga Kak Bilal udah dateng, yu berangkat sekarang” Ucap Fariz yang kemudian menghampiri Shafia. Ia menatap Shafia kemudian mencium keningnya.

Meskipun sudah menjadi Suami istri, kadang kala Shafia masih terkejut dengan Fariz yang tiba-tiba memeluknya , dan tiba-tiba pula mencium pipinya seperti sekarang.

“Udah cantik kok sayang, Gak perlu dandan berlebihan lagipula di sana gak akan ada yang lihat wajah kamu”

“Ya kan sodara perempuan kamu akan lihat akuu” Balas Shafia.

“Iya sih, Tapi mereka juga gak dandan kan”

“Kata siapa? Emang kamu pernah liat?”

“Ya enggak juga sih”

Setelah selesai merapihkan kerudung dan cadarnya, Shafia bergegas mencari tas dan juga beberapa barang seperti cermin, tisu dan juga botol air minum untuk ia bawa dalam paperbag kecil. Karena sebelum pertemuan keluarga, mereka akan menghadiri acara kajian rutin di hari minggu pagi di tempat Syekh Ahmad baru kemudian mereka akan bertolak ke Kemang untuk acara Haul yang diadakan mulai dari ba’ada Dzuhur.

“Kak.. Boleh mampir beli kopi? Aku biasanya suka agak ngantuk di jam-jam abis dhuha gini” Ucap Shafia.

“Boleh.. Nanti setelah dari rumah Umi ya, kita Ambil Namia dulu ke mobil ini. Biasanya dia juga mau kopi biar ga ngantuk”

Shafia mengangguk, pagi ini ia menikmati perjalanan dengan jalan yang lenggang. Jarak rumah Fariz dengan rumah Umi nya memang hanya perlu ditempuh dengan waktu sekitar 10 menit dan minggu pagi di daerah ini tidak terlalu padat karena weekend dan lebih banyak orang yang berjalan kaki dibandingkan membawa kendaraan pribadi. Berbeda dengan hari-hari kerja, jalanan yang ia lewati sekarang bisa berubah menjadi lautan manusia. Pohon-pohon rindang yang menyumbangkan angin sepertinya menjadi saksi mata jika banyak manusia yang beradu otot untuk menjadi yang lebih dulu melalui jalanan.

Sesampainya di Rumah Umi, Terlihat semua anggota keluarga sudah siap dan hanya tinggal menunggu Fariz dan Shafia datang. Mereka menggunakan dua mobil untuk pergi, mobil Abi di isi oleh Kak Bilal, Kak Khansa, Umi dan Abi. Sementara, mobil Fariz di isi oleh Fariz, Shafia dan Namia. Awalnya hanya bertiga, tapi karena mobil terlalu sepi akhirnya Bayik berusia 2 tahun yaitu Hisyam dibawa pindah ke Mobil Fariz.

Dua mobil ini berangkat menuju ke daerah Ciledug dimana majelis Syekh Ahmad dilangsungkan. Shafia belum pernah datang ke Majelis ini, tapi Fariz bercerita Jika sekali datang ke sini, pasti Shafia akan minta datang lagi.

“Kak... Mampir beli kopi ya” Ucap Namia ketika mereka baru saja berjalan belum jauh dari rumah.

“Iya, Nanti sama Shafia beli” Ucap Fariz.

Ia kemudian menghubungkan teleponnya ke mobil, ia menelepon Kak Bilal untuk memberitahu jika mereka bisa berangkat lebih dulu karena Fariz akan mampir sebentar ke Caffe untuk membelikan dua wanita ini kopi.

“Icam kok diem aja si dari tadi??? Itu Ati Fia gak di sapa?” Ucap Namia yang sedang memangku Hisyam di kursi belakang mobil. Shafia reflek menoleh sambil tersenyum dari balik cadarnya. Ia menatap Hisyam yang wajahnya tampak sedikit gelisah. Karena ia pernah belajar tentang psikologi Anak, dari wajahnya Hisyam terlihat gelisah dan kebingungan. 

“Icam mau sama Ami? Sini duduk sebelah Ami Ais, mau?” Ucap Fariz sambil menemukan bagian paha tubuhnya. Tapi Hisyam menggelengkan kepalanya.

“Dia ngantuk deh kayaknya. Tadi Kak Caca cerita soalnya dia bangun jam 3 sampe sekarang belum tidur lagi” Ucap Namia.

“Icam mu bobo? Sama Ati Miya ya? Sini gapapa boleh kok bobo dulu gak pake nangis.. gapapa ya?” Ucap Namia pada keponakannya itu.

Shafia hanya menonton dari depan karena iapun belum terlalu dekat dengan Hisyam. Dan kebetulan ada Namia yang mengurusnya, Jadi Shafia hanya melihat wajah Hisyam yang memerah karena menahan tangis. Tapi tidak lama kemudian suaranya hilang dan ternyata ia sudah tertidur di pangkuan Namia.

“Dek.. Mia.. Chat nya gak kamu bales kan?” Tanya Fariz, Shafia bisa melihat jika mata Fariz mengarah ke kursi belakang tempat adiknya duduk.

Awalnya Shafia memainkan memainkan ponsel di tengah-tengah obrolan antara adik dan kakak itu , karena merasa tidak paham dan juga tidak mengenal siapa yang mereka bicarakan. Karena itu,  Shafia memilih diam karena ia takut salah bicara.

“Enggaa, Kan ngikutin kata kakak. Tapi Mia udah cerita sama Umi Abi respon nya biasa aja” Ucap Namia.

“Kakak tau kamu suka banget sama Umar. Cinta  diam kamu tuh gimana ya, gak diem juga si karena Cuma keluarga inti  tau.. Tapi, Saran Kak Fariz kali ini jangan terlalu kamu pikirin banget. Keluarga nya Umar mungkin memang lagi milih-milih, dan salah satu pilihannya kamu. Berdoa aja, semoga yang kamu harapin ternyata sama dengan apa yang Allah takdirin buat kamu. Kakak tau kamu pasti lagi seneng banget kan??” Tanya Fariz.

“Iyaaa.. Kakak tauu ga si Namia gak bisa tidur semaleman. Namia liatin aja itu chat Umar sampe pagi, rasanya jari adek tuh mau ngetik, tapi hati adek selalu bilang ahh jangan jangan, inget pesen Kak Bilal sama Kak Fariz”

Dengan obrolan mereka, Shafia berniat untuk ikut bergabung. Ia mencoba untuk memasukkan dirinya ke dalam obrolan dua kakak beradik itu.

“Namia, gimana rasanya cinta dalam diam kamu?” Tanya Shafia. Ia menolehkan tubuhnya ke belakang dan melihat Namia yang nampak sedang memikirkan jawaban atas pertanyaan Shafia.

“Hmm, gimana ya, Kak.. Cinta dalam diam yang aku rasain beneran indah sih. Aku rasanya sih indah ya insyaallah kalau ternyata hasilnya dia, ya alhamdulillah. Aku tuh enggak follow sosial medianya, tapi aku selalu tahu kabar dia dari Kak Caca. Aku juga gak pernah komunikasi sama dia dan aku sih berharapnya doa-doa aku jadi jembatan antara aku sama dia untuk komunikasi lewat Allah” Ucap Namia.

“Ohh.. Selama ini kamu nyebut-nyebut nama Umar dalam doa kamu?” Tanya Fariz.

“Eh enggak.. Nama Umar gak pernah aku sebut dalam doa aku. Walaupun aku suka sebegitu sukanya, aku gak pernah nyebut nama dia di doa aku. Tapi... Aku emang mintanya laki-laki yang kayak dia, semua aku sebutin mulai dari sifatnya, pendidikannya , mimpinya dia. Akuu sebutin pokoknya aku minta Allah aturin hidup aku. Termasuk perihal jodoh. Aku minta urusan jodoh aku ke Allah, terlepas itu Umar atau bukan.  Allah tau hati aku maunya siapa tanpa aku sebut namanya, lagipula aku inget Abi pernah ngomong jangan minta seseorang, karena kita Cuma tau dia dia keliatan baik, tapi lan sebenernya Allah yang lebih tau baiknya dia cocok sama kita atau engga” Ucap Namia.

“Emang kamu mau jodoh yang kayak gimana?” Tanya Shafia. Karena sesama perempuan, mereka mungkin memiliki kesamaan dalam memilih kriteria pendamping hidup.

“Yaa laki-laki biasa aja sih kak” Ucap Namia.

“Jadi gini sayang, Biasanya menurut keluarga kita adalah Biasa sholat, biasa sedekah, biasa ngaji, biasa ibadah, biasa bakti sama orang tua.  Ya biasa ngelakuin hal-hal baik. Karena memang manusia yang agamanya islam memang harus biasa begitu” Ucap Fariz yang menjelaskan kepada Shafia.

“Tapi satuu.. Namia selalu mau punya suami, yang ketika Namia nikah sama dia jarak surga jadi semakin deket. Yang artinya Laki-laki itu bikin Namia deket sama Allah, deket sama Rasulullah.”

Shafia kemudian mengangguk paham mendengarkan jawaban dari Namia.

“Untungnya aku udah kebagian satu laki-laki itu” Ucap Shafia yang tersenyum di balik cadarnya, ia menatap Fariz yang sedang menyetir tapi pandangan matanya sesaat menghadap ke Shafia sambil tersenyum.

Setelah obrolan panjang, mereka sampai di kedai Kopi. Awalnya Namia dan Shafia yang akan turun membeli, tapi Fariz lebih dulu bersigap keluar dari mobil.

“Namia Ice Americano, Kamu mau apa sayang?” Tanya Fariz pada Shafia sebelum ia menutup pintu mobilnya.

“Caramel machiato kak.. ehh beli roti sekalian ya, kamu belum sarapan juga tadi. Namia udah makan?” Tanya Shafia.

“Udah tadi Umi masak dulu”

“Yaudah gapapa beli agak banyak aja kak, boleh?” Tanya Shafia dan Fariz mengangguk.

Setelah Fariz pergi, tersisa Shafia dan Namia di dalam mobil. Adik perempuan Fariz satu-satunya ini kini sedang memangku Hisyam yang sedang tertidur. Mereka memang sudah lebih dulu kenal dekat, saat persiapan pernikahan pun, Shafia lebih banyak berkomunikasi dengan Namia karena ia sama sekali tidak berhubungan dengan Fariz sebelum akad.

“Kak.. Udah gapapa sama Kak Fariz?” Tanya Namia.

Shafia mengangguk. Ia sangat paham jika Namia adalah orang yang paling peka. Ia sangat tahu jika Fariz meninggalkan Shafia di rumah sendirian, tandanya ada sesuatu yang salah. Namia adalah orang yang paling mengenal Fariz karena sepanjang hidupnya, ia melihat hidup Fariz juga.

“Kakak aku tuh sebenernya gampang marah, tapi dia gampang juga luluh hatinya. Kak.. Kalau suatu hari nanti Kak Shafia berantem sama Kak Fariz terus beberapa jam selanjutnya Kak Fariz berubah jadi baik padahal dia gak ngucapin kata-kata dia minta maaf ke Kakak atau dia udah maafin kakak. Sebenernya dia udah lupain masalah itu. Kalau saat kalian berantem terus Kak Fariz pergi, jangan terlalu di cari pasti orang itu Cuma pergi untuk berpikir. Nanti dia dateng sendiri dengan hatinya yang udah bersih.” Ucap Namia.

“Aku kadang bingung sebenernya. Namia.. Sebenernya aku belum cinta sepenuhnya sama Kakak Kamu.. Aku terima cintanya Kak Fariz tapi aku juga enggak bisa melupakan mantan pacar aku sepenuhnya. Namia, sesama perempuan kamu pasti tahu rasanya mencintai seseorang yang kamu idam-idamkan akan jadi suami kamu tapi ternyata dia pergi tiba-tiba. Aku belum sembuh dengan luka itu”

Namia mengangguk. Ia kemudian memajukan posisi duduknya dan mendekat ke arah Shafia. Ia menggenggam tangan Shafia. “Aku tahu Kak.. Aku tahu semua yang Kak Fariz gak tahu tentang kamu. Ini Cuma soal waktu, perlahan Kak Fariz akan ngerti dan kamu juga perlahan akan sembuh dari luka itu. Aku bantu, Kak.. Kakak aku mungkin akan ngelakuin sesuatu yang bikin kamu nangis. Tapi aku yakin, demi kamu keluar dari lingkaran itu Kak Fariz akan ngelakuin apapun. Kamu cinta pertamanya, dan semoga jadi yang terakhir yang akan dia cintai di bumi ini”

“Namia.. Aku tahu kalau Kak Fariz tahu sesuatu tentang aku. Aku lebih takut ini. Ada sesuatu yang paling aku takut dari Kak Fariz adalah diamnya dia saat dia tahu semuanya” Ucap Shafia.

“Kak Fariz juga tahu tentang hari itu?” Tanya Namia.

Hari itu adalah hari ketika Fariz pergi ke Bogor dan Shafia pergi keluar rumah dengan niat menemui Zeyd. Sebenarnya hari itu Namia tidak pergi sendirian, ia diantar oleh Namia dan Namia juga tahu tentang tujuan Shafia menemui Zeyd. Tapi karena Zeyd yang tiba-tiba tidak hadir, Shafia dan Namia menghabiskan siang itu di caffe sambil bercerita tentang mengapa Shafia sangat membutuhkan alasan dari perginya Zeyd di detik-detik hari pernikahan mereka yang hanya tinggal menghitung hari.

“Kakak gak jelasin itu?” Tanya Namia dan Shafia menggeleng. Ia tidak memiliki mental yang cukup untuk bicara dengan Fariz tentang hari itu. Karena terakhir kali mereka membicarakan hal ini, akhirnya terjadi pertengkaran.

Ada kalanya beberapa hak tidak perlu dijelaskan. Termasuk hal ini, Fariz mungkin sudah tahu dan dia juga pasti sudah memaafkan Shafia akan hal ini.

“Kak.. Apapun alasannya jangan pernah kembali. Kak Fariz bisa buat kamu bahagia lebih dari yang ada di dugaan kamu”

Shafia percaya itu...

***

Fariz lahir dan besar di lingkungan keluarga yang lumayan dikenal islami. Keluarga dari Umi kebanyakan berprofesi menjadi pendakwah dan sebagian lagi adalah seorang Dokter. Bisa dibilang, semua keluarga Umi tidak tanggung-tanggung dalam mengejar sesuatu. Begitulah, mungkin gen ambisi Fariz ini menurun dari Umi.

Setelah menghadiri acara pengajian, kini ia sudah menghentikan mobilnya di sebuah lapangan luas yang juga sudah dipenuhi oleh berbagai jenis mobil ternama, mulai dari BMW hingga Mercy keluaran terbaru.

Sebenarnya Fariz sudah tidak heran, karena memang sejak kecil mereka sudah hidup berdampingan dengan ini semua.

“Kamu gabung sama Umi, Namia sama Kak Caca ya.. Yang ada di dalem semua saudara aku, Kenalan aja. Gapapa, mereka baik-baik kok” bisik Fariz sebelum Shafia turun dari mobil.

“Oke” Ucap Shafia yang kemudian menyalami tangan Fariz.

Setelah Shafia turun dari mobil, barulah Fariz menyusul lalu menghampiri Abi dan Kak Bilal yang saat ini sedang mengobrol dengan salah seorang pemuda yang juga baru turun dari mobilnya.

“Widiii Pak Dokter udah dateng” Ucap seorang laki-laki yang bertubuh tinggi, memiliki hidung sedikit mancung dan juga ada jenggot tipis di dagunya.

“Alhamdulillah.. Sampe di sini jam berapa Bang Muh?” Tanya Fariz.

“Baru sampe” Ucapnya.

Dan, yang sedang berbincang dengan Fariz, Abi dan Kak Bilal adalah Muhammad Albar. Salah seorang sepupunya yang tinggal di Jogja. Ia berprofesi sebagai seorang Dosen Teknik Komputer di Universitas Negeri yang ada di Jogja. Padahal usianya masih tergolong muda, hanya berjarak 4 tahun dari Umur Fariz tapi ia sudah menyelesaikan S3 di Korea Selatan pada usia 26 tahun.

Seperti pertemuan keluarga pada umumnya, mereka bertukar kabar kemudian saling bertanya tentang perkembangan pekerjaan.

“Fariz mau iship sih, bentar lagi. Lagi nunggu keputusan penempatan” Ucap Abi.

“Kalau gak dapet di Jakarta, coba ke Jogja ajaa.. Rasain hidup di sana, tenang gak kayak Jakarta. Ente kan seneng sunyi-sunyi gitu. Nah Jogja dah cocok bener di sana” Ucap Muh.

“Dia kan udah punya istri Muh.. Harus bawa istrinya kalau mau ke jauh-jauh” Ucap Bilal.

“Lah iya tau.. Justru itu, ajak istri tinggal di Jogja. Biar romantis, Ya kan?” Ucap Muh yang menyenggol bahu Fariz.

“Boleh boleh.. Nanti diskusi lagi sama Abi, gimana dah enaknya aja” Ucap Fariz.

“Ya diskusikan sama Istri ente bukan sama Abi” Ucap Muh.

Setelah mengobrol cukup lama, Mereka memasuki sebuah rumah yang ukurannya lumayan besar. Rumah ini adalah rumah peninggalan dari Kakeknya Umi Salwa. Dan hari ini mereka sedang mengadakan acara haul dari Kakeknya Umi Salwa. Acaranya tidak mengundang banyak orang karena Keluarga inti mereka saja sudah ramai. Di tempat laki-laki, terhitung mungkin ada lebih dari 40 orang dan di tempat perempuan juga mungkin sama ada sekitar 40 orang. Keluarga yang merantau di luar negeri juga hadir karena memang sekalian mereka pulang untuk menghadiri acara pernikahan Fariz dan untuk menghadiri acara Haul yang jaraknya hanya berselang seminggu.

Fariz duduk terpisah dengan Abi, karena Abi bergabung dengan bapak-bapak seusiannya. Ia kemudian duduk di sebelah Bilal dan Abu. Sebelum acara pembacaan maulid dan doa dimulai, Fariz dan Bilal berbincang dengan Abu yang adalah Kakak ipar mereka.

“Sehat Bu?” Tanya Bilal. Bilal dan Abu memang seumuran. Kebanyakan anak-anak di keluarga besar Umi memiliki umur yang sama dengan Bilal. Sementara di Umur Fariz kebanyakan sepupunya berjenis kelamin perempuan, contohnya adalah Khansa.

“Alhamdulillah, ente gimana? Sehat? Hisyam sama Caca Sehat? ” Ucap Abu, ia kemudian menoleh ke arah Fariz. “Ente gimana riz? Sehat? Alhamdulillah,  Udah bisa bawa bini sekarang ya?”

“Alhamdulillah, Alhamdulillah.. Kapan sampe Jakarta Bang? Dija dibawa ke sini kan?” Tanya Fariz.

Fariz termasuk laki-laki yang sangat menyukai anak-anak. Ia bahkan bermimpi untuk mengambil spesialisasi anak karena ia ingin mengurus anak-anak. Karena itulah, Fariz sangat dekat dengan Hisyam dan juga keponakan perempuannya yang jarang ia temui.

“Dibawa lah pasti. Kan biar Ami sama Ati nya bisa lihat. Sebenernya mah ane udah sampe dari kemaren. Cuma belum sempet ke rumah Abi Ali. Abis ini, kalau mau bawa Dija pulang, boleh. Kebeneran besok Ane baru bisa mampir ke rumah Abi Ali” Ucap Abu.

“Maen-maen lah, Nginep di rumah. Eh apa liburan bareng aja? Yuk, ke Bandung lah ya minimal. Ente sampe di sini kapan?” Ucap Bilal.

“Masih lama, sebulan di sini. Boleh dah, nanti kita atur aja kapan-kapan nya”

Mereka berbincang banyak hal mulai dari perkembangan Khadeeja selama di Tarim hingga pembahasan yang bersifat candaan tentang kapan Bang Abu akan menikah lagi. Tak terasa, mereka akhirnya masuk ke acara inti dimana acara itu di mulai dengan pembacaan Maulid Nabi. Fariz mengikuti acara dengan khidmat tidak ada obrolan yang keluar selama pembacaan maulid hingga doa.

Karena keluarganya memang ada keturunan Arab dan Yaman, acara Haul seperti ini memang rutin mereka lakukan tujuannya bukan sebagai perayaan yang bermaksud tidak baik. Tujuannya adalah berdoa untuk Almarhum sekaligus acara untuk kumpul bersama untuk silaturahmi keluarga besar.

Seperti yang dilihat sekarang, di hadapannya kini sudah berkumpul sangat ramai orang hingga ia tidak menyangka jika yang ada di dalam ruangan ini semua adalah keluarganya. Setelah acara pembacaan maulid dan doa selesai, acara selanjutnya adalah makan bersama. Bahkan di sudut ruangan sudah tersedia meja prasmanan yang berisi makanan kesukaan seluruh keluarga ini. Menu yang selalu ada di acara ini adalah Sambal goreng ati, soto Betawi, nasi kebuli, kambing guling, bakso ikan dan makanan ringan yang sangat Fariz suka yaitu Halwa.

Fariz memilih untuk menikmati Halwa yang hanya bisa ia makan tiap Haul di Rumah Jiddah,  Rasa Halwa ini juga khas sekali karena dibuat oleh tangan Ati Fatimah yang merupakan Kakak dari Umi. Hidangan ini sangat jarang ia temui karena yang bisa membuatnya di keluarga ini hanya Ati Fatimah dan beliau tinggal di Lombok, hanya pada Hari raya dan Haul saja beliau datang ke Jakarta.

“Gak makan? Belum makan lu dari pagi” Ucap Kak Bilal yang menghampiri Fariz dengan piring berisi nasi kebuli dengan kambing guling di tangannya.

“Nanti aja belum laper” Ucap Fariz. Ia asik menyantap makanan ringan sambil memainkan ponselnya, ia mengetik pesan kepada Shafia karena ini pertama kalinya ia bergabung ke keluarga besarnya. Fariz takut jika Shafia akan ditanya macam-macam oleh para sepupunya.

“Orang tuh makan sebelum laper, berhenti sebelum kenyang” Ucap Kak Bilal.

“Nyicip aja boleh gak? Lu ambil banyak gak?” Tanya Fariz yang kemudian melihat isi piring Kak Bilal yang ternyata juga hanya sedikit. “Lah dikit banget? Kenapa?” Ia terkejut melihat isi piring Kakaknya yang mungkin nasinya hanya sekitar 5 sendok, dagingnya hanya sepotong kecil dan sayurannya yang hanya sehelai daun selama dan sepotong Timun. “Lu gak lagi diet kan kak?”

“Enggak.. Tiba-tiba aja mual. Sumpah dari kemaren gua mual banget tiap liat makanan. Sebenernya ini juga mual, Cuma sayang banget ini nasi kebuli terenak Cuma ada setahun sekali” Ucapnya.

Fariz kemudian tersenyum miring. Pasti Kak Bilal mual karena Khansa sedang hamil. Katanya memang ada beberapa orang yang seperti ini. Yang mual dan tidak nafsu makan justru adalah suaminya. Saat Khansa hamil Hisyam juga, Kak Bilal yang mual bahkan ia pernah dirawat karena tidak ada makanan yang bisa masuk ke dalam mulutnya.

“Yaudah makan dah sendiri. Nanti gua ambil lagi aja” Ucap Fariz.

Ia kemudian menatap ponselnya. Ada kiriman foto dari nomor Shafia. Dia mengirimkan potret wajahnya yang berbalut cadar dengan Namia dan seorang anak perempuan yang rambutnya pirang dan panjang teurai lurus sebagian lalu keriting di ujung rambutnya. Anak perempuan itu Fariz yakini adalah Khadeeja, Anak perempuan Bang Abu dan Kak Aisyah.

Istriku Shafia : Kata Umi, Dija ikut kita pulang Kak.. Kita nginep di rumah Umi yuk? Mau gak?

Fariz : Oke.. Kamu kok bisa langsung akrab gitu sama Dija?

Istriku Shafia : Semua orang yang deket sama aku kan bisa langsung akrab. Termasuk kamuuu...

Fariz tersenyum kala membaca pesan itu. Karena memang benar, Fariz bisa langsung merasa dekat dan ingin terus dekat dengan Shafia, bahkan di hari pertama mereka menikah yang padahal hari itu adalah hari pertemuan mereka. Shafia seolah memiliki pemikat yang membuat semua orang ingin mendekat dengannya.

Fariz : Bisa aja.. Kamu makan apa? Cobain semuanya deh. Itu masakan Ati Fatimah, Enak banget kamu Cuma bisa makan pas lebaran sama Haul aja.

Istriku Shafia : Udahhh.. Tadi aku cobain Halwa, disuruh Umi katanya makanan kesukaan kamu.. 

Fariz : Suka??

Istriku Shafia : Sukaaaaaaaaa

Fariz tersenyum kala membaca pesan dari Shafia. Karena ruangan antara perempuan dan laki-laki terpisah, jadi mereka saling berkomunikasi melalui pesan. Seumur hidupnya, Fariz tidak pernah berkomunikasi dengan lawan jenis selain untuk membicarakan urusan pelajaran. Kali ini, Fariz mengerti kenapa banyak insan yang saling jatuh cinta bahkan sebelum halal. Karena ternyata rasanya memang menyenangkan. Tapi, Fariz bersyukur karena ia bisa mencicipi nikmat ini dikala keduanya sudah terikat janji dalam ikatan pernikahan. Karena semuanya tidak menjadi dosa. Ia bisa bebas menyentuh, memeluk bahkan mencium Shafia tanpa takut dosa. Karena itu sudah halal baginya.

Acara ini selesai hingga ba’da Maghrib. Hari ini ia bertemu dengan banyak sepupunya. Banyak juga sebagian yang memberikan kado pernikahan untuk Fariz karena pada saat acara pernikahan mereka tidak dapat hadir karena berada di luar kota. Fariz dengan senang hati merimanya, bahkan hingga mobilnya penuh dengan tumpukan kado.

“Mobil Abi masih muat kan?” Tanya Fariz. Niatnya ia ingin men-drop Namia untuk pindah ke Mobil Abi karena rasanya tidak nyaman jika Namia harus tetap berada di Mobil Fariz yang kursi nya sudah sangat penuh dengan kado-kado. “Namia kayaknya ikut mobil Abi ya Dek..” Ucap Fariz pada Namia.

“Okeeey” Ucap Namia yang kini sedang ikut menata kado agar bisa rapih berada di dalam mobil.

“Kamu langsung pulang apa mampir dulu Riz?” Tanya Abi.

“Mampir dulu ke tempat Ami Rais. Mau beli kassa steril sama antiseptik luka buat ini” Fariz menunjuk kepalanya yang kemarin sempat terbentur karena jatuh dan berakhir dengan jahitan.

“Oke, Kalau gitu Abi duluan ya. Hati-hati Jangan ngebut. Nanti kabarin kalau udah sampe rumah ya. Kalau mau ketemu Dija, besok ke rumah Abi pagi-pagi ya.. Abi sama Umi mau ajak Dija sama Hisyam main ke Sea world” Ucap Abi dengan wajahnya yang penuh semangat.

Abi memang paling semangat untuk mengajak cucunya main. Apalagi, sekarang Dija sudah agak besar dan sudah mulai mengerti jika diajak bicara.

“Sama Ka Bilal juga gak?” Tanya Fariz.

“Enggak. Berempat aja. Umi, Abi, Dija sama Hisyam”

“Okelaaa..”

Setelah itu Fariz berpamitan kepada semuanya untuk mengemudi lebih dulu padahal tadi Abi bilang dia yang akan pergi dulu, tapi salam perpisahan Abi dengan para sepupunya ternyata lebih lama dari dugaan Fariz.
Perjalanan malam ini, terasa sangat sunyi karena Shafia terdiam lumayan lama. Ia masih menggenakan cadar di wajahnya, sesekali Fariz menoleh dan melihat matanya begitu lelah. Wajar saja, bagi orang yang belum terbiasa pasti kegiatan ini sangat melelahkan. Mereka keluar sejak pagi matahari terbit dan pada saat matahari terbenam mereka masih di jalan.

“Dek, Cadarnya kalau mau di lepas gapapa kok” Ucap Fariz.

Shafia kemudian langsung melepaskan cadarnya. Fariz menoleh dan melihat wajah istrinya yang memerah, tapi ternyata setelah di perhatikan dari dekat bukan hanya wajahnya yang memerah tapi matanya juga.

Fariz membelokan setir mobilnya, ia menepi ke pinggir jalan dan menghentikan mobilnya di sana. Saat mobil terhenti , Shafia refleks menoleh ke arah Fariz dengan mata yang tekejut.

“Kenapa berhenti?” Tanya Shafia yang kebingungan.

“Kamu habis nangis? Kenapa?”

“Enggak.. Aku ngantuk banget tadi jadi pas nguap  keluar air mata juga. Aku baru pertama kali pake cadar jadi agak panas tau Kak”

“Ohh, Aku kira kenapa.. Ya udah, kamu tidur dulu aja. Apa mau ke Apartemen aku aja? Kita masih lumayan jauh sih ke rumah” Ucap Fariz.

Kebetulan acara haul berjarak lumayan jauh dari rumah, jaraknya mungkin  sekitar 1 jam. Tapi, acara haul ini berdekatan dengan Kampus Fariz dan ia memiliki satu unit apartemen yang ia tempati saat kuliah dulu.

“Tapi aku gak bawa baju ganti”

“Ada baju aku. Lagipula gaada siapa-siapa di sana. Aku juga mau cepet-cepet istirahat. Gapapa ke sana ya?” Ucap Fariz.

Dan Shafia mengangguk.

Fariz kemudian memutar arah laju mobilnya dan menuju ke tujuan selanjutnya yaitu apartemen yang terletak di pusat kota Jakarta. Sepanjang perjalanan mereka hanya diam, yang terdengar hanya suara musik.

Ada harapan besar yang terbesit di hati Fariz kala melihat Shafia yang sudah bersandar lemas. “Semoga Shafia bisa menerima keluarga  ini dengan baik, tanpa beban dan paksaan” Karena pasti, Shafia tidak terbiasa dengan tradisi keluarga Fariz. Tapi inilah pernikahan, isinya memang bukan hanya mereka berdua.


***

Shafia keluar dari kamar mandi dengan baju kaos yang kebesaran dan celana tidur yang juga kebesaran. Padahal dilihat dari fisiknya, tubuh Fariz tidak begitu besar, ia hanya tinggi tetapi cenderung kurus. Tapi baju-bajunya nampak seperti baju raksasa di tubuh Shafia.

“Kamu keramas? Di sini gak ada Hairdryer dek” Ucap Fariz yang berada di ruang TV saat melihat Shafia keluar dari kamar mandi dengan rambut yang basah.

Shafia memang tidak betah jika rambutnya lepek. Apalagi tadi seharian ia menggunakan hijab dan rambutnya di ikat. Dengan keramas, rambutnya serasa lebih tenang dan kepalanya juga menjadi rileks karena merasa sejuk.

“Gak apa-apa.. Nanti kering sendiri kok” Ucap Shafia. Ia menghampiri Fariz dan duduk di sebelahnya yang kini sedang menonton siaran bola.

“Kaa Fariz..” Panggil Shafia dengan suara yang perlahan.

“Hmm, Kenapa?” Tanya Fariz. Matanya kini sudah fokus menonton siaran bola yang ada di televisi. “Kamu mau tidur sekarang? Kamarnya udah aku beresin, nanti aku nyusul ya” Lanjut Fariz.

“Kak.. aku boleh ngomong sebentar gak?” Ucap Shafia. Ia mematikan televisi dan seketika itu juga Fariz menatapnya.

“Apa? Kan bisa tinggal ngomong” Ucap Fariz.
Shafia menarik nafasnya. Ia kemudian mengambil ponsel yang ada meja tepat didepannya. Ia kemudian mengetik sesuatu dan menunjukkan kepada Fariz. Fariz membaca tulisan itu dengan sesama, kemudian tiba-tiba wajahnya memerah. Senyum manis yang tadi tampil diwajahnya seketika berubah dengan ekspresi kebingungan.

“Terus kamu mau aku gimana?” Tanya Fariz. Ia bahkan tidak pernah berpikir jika Fariz akan berbicara hal tersebut.

“Kamu mau temenin aku?” Tanya Shafia. Ia ragu bertanya akan hal ini.

“Nanti aku anterin aja. Besok aku ada urusan ke Bogor. Malamnya kalau udah selesai aku jemput kamu” Ucap Fariz yang kemudian mengambil alih remote tv dari tangan Shafia.

“Katanya kamu mau ketemu dia juga. Kenapa gak mau ikut? Katanya gak mau istrinya berduaan sama cowok lain” Ucap Shafia yang mencoba untuk menggoda Fariz.

“Kan gak berdua. Ada Umi kamu sama Abi. Lagian besok aku udah ada janji penting”

“Aku gak penting?”

“Ya gak gitu.. Itukan mau kamu untuk ketemu Zeyd. Ya udah, Aku izinin tapi aku gak bisa ikut nemenin.”

“Aku batalin aja ya. Nanti aja ketemunya pas kamu bisa”

“Suruh dateng malem aja kalau gitu. Pagi nya aku harus ke Bogor mungkin sampe sore”

“Mau ngapain? Akuu ikut gak?”

“Enggak usah gapapa. Takutnya kamu bosen. Nanti aku drop kamu ke Rumah Umi aja biar main sama Dija sama Hisyam”

“Kalo Abi tanya, nanti jawab apa?”

“Ya bilang aja, Fariz nya ke Bogor lagi ada urusan. Gitu aja sayang”

Shafia mendekati Fariz lalu kepalanya ia letakan di bahu Fariz yang saat itu masih fokus pada tontonan bola yang ada di televisi. Hari ini Shafia lumayan lelah karena menghabiskan banyak waktu di luar rumah kemudian bertemu dengan banyak orang sampai-sampai energinya seolah habis terserap oleh orang-orang yang ia temui. Puncak rasa lelahnya adalah saat berada di acara Haul tadi. Ia bersalaman dengan banyak orang kemudian menjawab pertanyaan dari para sepupu Fariz yang penasaran tentang kehidupannya di Turki, mulai dari wisata sampai dengan pendidikannya.

“Kamu kalau capek tidur duluan dek.. Kamarnya udah aku beresin” Ucap Fariz. Tapi Shafia justru memeluk tangannya. Ia memejamkan matanya di sana dan tiba-tiba  ia merasakan sebuah kecupan mendarat di keningnya. “Aku nonton bola sebentar ya. Sebentar aja nanti kita ke kamar”

Shafia hanya mengangguk. Ia kemudian kembali memejamkan matanya sambil memeluk tangan Fariz. Tangannya terasa hangat dan kecil. Perawakan Fariz memang tidak besar karena ia termasuk tipikal orang yang jarang makan. Karena itu, tubuhnya pun kurus tidak seperti Abi dan Kak Bilal yang tubuhnya tinggi besar.

“Dek.. Aku mau ngomong deh. Tapi jangan marah ya?” Ucap Fariz dengan suara yang pelan, terasa rambutnya diusap halus dan Shafia langsung menaikkan pandangannya. Ia menatap Fariz, wajahnya putih bersih, hidungnya mancung dan matanya teduh. Fariz benar-benar terlihat seperti gambaran seorang anak kiyai yang ada di film-film.

“Ngomong Apa?” Shafia membuka matanya, ia menatap Fariz yang matanya masih menatap layar televisi.

“Sebenernya aku ada rencana Intership di Jogja. Udah lama sih rencananya, dari sejak koas aku udah ada rencana mau ke Jogja. Jadi pas daftar, aku emang pilihannya bukan di Jakarta tapi di Jogja. Aku juga udah bilang Abi masalah ini, walaupun responnya  begitu. Tapi kalau aku beneran dapet di Jogja, Kamu mau ikut aku?” Ucap Fariz yang matanya mulai menatap Shafia. Padahal sejak tadi ia menatap layar televisi.
Shafia menaikkan kepalanya yang semula menempel pada bahu Fariz. Ia menatap Fariz dengan tatapan bingung. Karena, Baginya ini terlalu tiba-tiba dan Shafia tidak tahu harus merespon apa.

Saat ini saja, ia masih beradaptasi dengan lingkungan Jakarta yang belum genap setahun ia tinggali, kini ia harus pindah ke Jogja dimana kota itu belum pernah ia kunjungi.

“Kok.. Tiba-tiba mau ke Jogja? Emang kenapa?” Shafia melihat Fariz tersenyum tipis ia menatap Shafia sedetik kemudian pandangannya beralih lagi ke layar televisi.

“Hmmm, kenapa ya?” Jawaban Fariz yang seakan bercanda membuat Shafia mencubit lengannya. Karena menurutnya ini pembicaraan serius dan Fariz harus sampaikan kepada Shafia dengan serius.

“Kak... Serius dulu dong.” Ucap Shafia sambil mengambil remote tv dan menyimpan di belakang tubuhnya.

“Iya apa sayang...” Barulah Fariz menatapnya. Ia bahkan mengubah posisi duduknya agar berhadapan dengan Shafia.

“Kenapa? Kok tiba-tiba banget kamu mau pindah ke Jogja? Kayak.. Hah? Akuu di Jakarta aja belum lama Kak..”

“Hmm, Kenapa ya? Kalau kamu gak mau ikut gapapa kok.. Nanti aku bisa seminggu sekali ke Jakarta. Lagipula Intership Cuma setahun aja. Nanti kita sama-sama lagi di Jakarta.” Ucap Fariz. Ia menggenggam tangan Shafia tapi genggaman itu secepat mungkin Shafia lepaskan.

“Ya gimana bisa aku gak ikut? Kamu kan suami aku. Kalau kamu sendiri di sana gimana?”
Bukan menjawab, Fariz justru tersenyum jari jemarinya menyentuh rambut Shafia yang kini masih berantakan karena keramas.

“Seumur hidup aku, Baru sekali aku dateng ke Jogja. Tahun lalu, aku liburan di sana sekitar sebulan diajak sama Bang Muh. Terus enggak tahu kenapa, aku mau tinggal di sana karena tenang. Aku mau ngerasain tenang nya Jogja lagi” Ucap Fariz.

“Kak.. Tapi kan itu jauh. Keluarga kamu juga banyak yang di Jakarta. Terus Abi? Kamu bilang respon nya Abi kurang suka”

“Ada juga kok keluarga aku di Jogja. Bang Muh sama istri dan anaknya juga di sana. Jadi kalau aku kenapa-napa, ada mereka”

Shafia bangkit dari duduknya, ia masih mencerna dengan baik pembicaraan mereka malam ini. Karena ada banyak sekali pertimbangan untuk pindah ke Jogja.

Baru saja Shafia akan melangkahkan kakinya menuju kamar, saat ia menatap Fariz, Matanya terbuka sempurna karena terkejut melihat Fariz yang tiba-tiba mimisan , tapi ia seperti tidak sadar.

“Kakk... Ih kamu kenapa?” Shafia sesegera mungkin mencari kain untuk mengusap hidung Fariz yang mengeluarkan darah segar. Ia akhirnya mengambil handuk bersih di kamar mandi karena di ruangan ini tidak ia temukan sehelai kainpun untuk dijadikan kain basuh,  ia mengusap hidung fariz dengan perlahan sementara Fariz hanya diam dan sesekali memejamkan matanya. Shafia bahkan tidak tahu apa yang sedang dirasakan oleh suaminya saat ini. Karena ia belum bisa membaca wajah Fariz. Orang yang ia kira sedang baik-baik saja, ternyata tiba-tiba mimisan seperti sekarang.

“Kamu lagi capek? Kamu kalau capek tuh ngomong dong kak.. Jangan diem-diem aja.. Kamu udah makan kan tapi?”

Karena Shafia berpikir seharian ini Fariz menyetir dari pagi hingga malam, bahkan pagi tadi juga ia belum menyantap apapun. Ini sangat menjadi PR untuk Shafia karena Fariz sesulit itu untuk makan, bahkan ia tidak pernah terbayang jika ada seseorang yang sangat sulit untuk makan seperti Fariz.

“Sayang udah.. Aku gapapa” Ucap Fariz yang menyingkirkan tangan Shafia dari hidungnya.

“Kamu kenapa? Capek? Pusing? Kamu ngerasain apa sekarang?” Tanya Shafia. Ia meletakan telapak tangannya di kening Fariz, kemudian berpindah ke leher dan pipinya.

“Gapapa, mungkin capek dikit. Tapi it’s ok”
Shafia menatap Fariz dengan tatapan bingung sekaligus gelisah takut jika tubuh Fariz akan mengalami sesuatu yang tidak mengenakan malam ini. Shafia takut tiba-tiba Fariz mengalami serangan Asma nanti malam atau ia juga takut jika Fariz tiba-tiba pingsan seperti hari itu. Mereka baru menikah beberapa minggu tapi sudah banyak hal yang membuat Shafia trauma jika Fariz terlihat sedikit tidak sehat.

“Udah yuk tidur. Oke deh oke aku istirahat” Ucap Fariz yang kemudian menggandeng tangan Shafia.

Tapi saat itu, saat Fariz menggenggam tangannya, terasa tangan Fariz sangat dingin. Dan saat Shafia memandang wajahnya, ia terlihat lebih pucat dari sebelumnya.
Shafia kadang bertanya pada dirinya sendiri, Kenapa Fariz menyembunyikan masalah kesehatannya dari Shafia?

***
Fariz menduduki meja makan sejak sholat subuh tadi. Ia sudah bersiap dengan baju kemeja seadanya yang tersisa di lemari apartemen ini. Agenda nya pagi ini adalah mengantar Shafia ke rumah Umi baru kemudian ia pergi ke Bogor.

Rencananya pergi ke Bogor hari ini adalah untuk menemui Dokter Iskandar yang merupakan Dokter Bedah Neurologi, pertemuan ini sempat tertunda tetapi akhirnya hari ini dapat terealisasikan juga. Fariz sudah lama sekali ingin menemui Dokter Iskandar untuk berkonsultasi mengenai otak atau neurologi.

Ya, Fariz berbohong pada Shafia jika ia ingin bertemu dengan Dokter pulmonary. Sebenarnya ada hal lain yang harus ia konsultasikan selain permasalahan penyakit asma yang menyerang tubuhnya. Beberapa bulan lalu Fariz memang sudah sering merasakan nyeri kepala hebat bahkan tak jarang ia sampai tak sadarkan diri ketika sedang koas. Saat pingsan, ia selalu berdalih jika tubuhnya hanya Lelah atau ia sedang stress. Tapi sebenarnya, Fariz sudah melalui hari-hari yang cukup berat sendirian.

Mimisan tadi malam bukanlah hal pertama yang ia alami, mungkin ini sudah puluhan kali Fariz alami hingga ia pernah melakukan transfusi darah karena kekurangan darah. Bahkan pingsan sudah bukan hal yang aneh bagi Fariz. Saat sedang koas ia sering terbangun di ranjang Rumah Sakit karena tiba-tiba kepalanya mengalami nyeri hebat. Tapi semuanya ia rahasiakan. Bahkan Dokter yang menanganinya pun sudah ia minta untuk tidak memberitahukan kondisinya kepada sanak saudaranya.

Disamping rencananya untuk melakukan operasi untuk mengobati asma nya, Fariz juga berencana untuk mengikuti rangkaian pemeriksaan yang lebih mendetail untuk memeriksakan saraf otaknya. Menurut teori yang ia pelajari, Dari kondisi yang sudah Fariz alami ia kemungkinan mengidap tumor otak atau radang selaput otak. Itu adalah dua kemungkinan terparah yang menjadi dugaannya. Hari ini ia akan melakukan beberapa pemeriksaan pencitraan seperti CT Scan otak dan MRI. Pemeriksaan lainnya adalah Rontgen dada, Endoskopi dan tes darah lengkap. Nantinya Fariz mungkin akan bertemu dengan beberapa Dokter untuk berkonsultasi, karena itulah Fariz tidak ingin mengajak Shafia karena prosesnya mungkin akan sangat lama.

“Kaa.. Aku langsung ke Rumah Umi aku aja. Searah gak?” Tanya Shafia yang baru saja keluar dari kamar sambil merapihkan hijabnya.

“Boleh, Kamu mau sarapan apa?” Tanya Fariz yang kemudian bangkit dari kursinya. Ia merapihkan barang-barang yang semalam sempat ia keluarkan karena ia harus meninggalkan apartemen ini dengan keadaan bersih dan rapih.

“Kalau di Jakarta sarapan yang enak apa Kak?” Tanya Shafia.

“Apa ya? Enak semua sih. Ada ketoprak, mie ayam, bubur, nasi uduk, nasi kuning sama pecel sayur paling. Kamu mau coba apa?”

Walaupun Shafia sebenarnya orang Indonesia Asli, tapi karena  ia sudah lama tinggal di luar negeri, ia tampak seperti turis di negeri nya sendiri. Bahkan banyak sekali makanan Indonesia yang belum pernah Shafia dengar padahal itu sangat familiar. Contohnya adalah Seblak, makanannya para kaum hawa.

“Ketoprak aja boleh?” Ucap Shafia

“Kamu alergi kacang kan? Ketoprak itu bumbunya dari kacang” Ucap Fariz.

“Oh ya? Terserah kamu aja kalau gitu deh”

“Nasi padang aja gimana? Mau?” Tany Fariz.

“Bolehh”

Setelah selesai mendiskusikan makanan, kini Fariz mulai bersiap untuk pergi. Ia memastikan jika semua barangnya tidak tertinggal dan semua sudah dalam keadaan Rapih. Ia menengok kamar mandi, kamar tidur hingga dapur yang padahal sama sekali tidak ia sentuh. Setelah semua rapih, Fariz bisa lega meninggalkan tempat ini. Ia keluar apartemen bersama dengan Shafia sambil menenteng plastik sampah yang akan ia buang di tempat pembuangan dekat baseman mobilnya.

“Kamu udah baikan?” Tanya Shafia kala mereka baru saja ingin memasuki Lift.

“Udah, Kan udah istirahat” Ucap Fariz sambil tersenyum. Ia mencoba untuk menutupi apa yang sebenarnya sedang terjadi pada dirinya.

“Kita harus makan ya. Kamu kan mau perjalanan jauh juga,  harus makan dulu” Ucap Shafia. Sementara Fariz hanya mengangguk. Ia kemudian melajukan mobilnya menuju ke restoran nasi padang langganannya yang berada di dekat kampusnya.

Sepanjang perjalanan Fariz hanya diam. Ia fokus menyetir dan Shafia juga hanya memainkan ponselnya. Suara yang terdengar di dalam mobil hanya suara lantunan dzikir pagi yang asalnya dari youtube.

Sebenarnya ia sangat khawatir akan banyak hal yang akan ia lakukan hari ini. Mulai dari janji pertemuannya dengan Dokter, dan janji pertemuannya dengan Zeyd. Sebenarnya Fariz lebih ingin Shafia lupa akan kejadian itu tanpa tahu alasannya. Karena Fariz tahu, apapun alasannya sebaik apapun alasan yang disampaikan oleh keluarga Zeyd pasti menggores hatinya lagi.

“Kak.. Kamu jangan ikut deh gapapa. Kamu nanti tunggu aku aja di kamar ya? Gapapa?” Tanya Shafia. Fariz menatapnya dengan tatapan terkejut tapi di sisi lain, bukankah ini yang ia inginkan semalam?

Fariz tidak menjawab, ia hanya mengangguk dan kemudian kembali mengalihkan pandangannya ke jalanan yang pagi ini tampak ramai lancar karena hari ini adalah Hari senin dan Fariz juga berangkat di jam-jam ramai orang berangkat untuk bekerja atau sekolah, walaupun sebenarnya jalanan Jakarta memang tidak mengenal jam kerja karena setiap saat selalu ramai.

Sepanjang jalan, Fariz tidak banyak bicara dengan Shafia. Ia hanya sesekali menengok Shafia di sebelahnya lalu kemudian kembali fokus menatap jalanan. Sampai mereka berhenti di Restoran Padang, Barulah mereka kembali memulai obrolan. Itupun Fariz tidak begitu Excited, ia hanya menjawab pertanyaan dari Shafia tanpa bertanya balik.

“Kamu mau ini?” Shafia menunjuk piring rendang yang ada di hadapannya.

“Enggak, kamu aja” Ucap Fariz. Ia kemudian mengambil sepotong ayam pop dan membagi porsi nasinya menjadi dua bagian.

“Kak.. Kamu yakin mau berangkat sendiri? Gak mau di temenin aku?” Tanya Shafia, saat itu ia sedang menyantap makanan. Mulutnya bicara tapi tatapan matanya tidak mengarah ke Fariz.

“Gak usah” Ucapnya singkat.

Salah satu  sifat yang sulit Fariz rubah meskipun sudah menikah adalah egonya. Ada kalanya Fariz diam seribu bahasa tanpa kata karena suasana hatinya yang tidak baik. Ada kalanya juga Fariz bersikap sedikit atuh pada Shafia. Seperti sekarang. Beberapa hal saat ini sedang menguasai kepalanya. Mulai dari ketakutannya untuk menghadapi pemeriksaan dan konsultasi dengan Dokter dan hal lainnya yang membuat suasana hati Fariz tidak baik adalah karena  hari ini Shafia akan bertemu dengan Zeyd dan keluarganya. Sebenarnya Fariz sangat tidak ingin istrinya menemui orang itu. Tapi, Fariz sangat berharap dengan pertemuan yang akan dilakukan hari ini menjadi pertemuan terakhir dan Shafia bisa melupakan laki-laki itu sepenuhnya.

Ia mencoba untuk mengesampingkan egonya. Ia mencoba untuk menerima keinginan istrinya untuk bisa menemukan jawaban. Dan Fariz sangat berharap, setelah mendapatkan jawaban itu, Istrinya menjadi lebih terbuka untuk menerima Fariz dan melupakan segala hal yang sudah berlalu.

Semoga, Pertemuan Shafia Dengan Zeyd hari ini adalah akhir. Bukan awal dari segala yang pernah berakhir.

_____

Alhamdulillah bisa sempet Update sedikit cerita iniii...

Adakah yang masih excited nunggu cerita Shafia dam Fariz???

Enjoy reading everyone!!!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 06 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Journey To Find You Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang