“Tuhan menjadikan luka sebagai pengingat, dikala bahagia Allah adalah sebaik-baik pemberi nikmat”
_________
Fariz membuka matanya dari tidur yang ia rasakan sangat panjang. Dadanya belum terasa membaik padahal sebelumnya ia sudah menyelesaikan terapi nebulezer untuk mengurangi serangan asma yang ia derita. Fariz menatap sekeliling ruangan yang di sudut ruangan ia temukan Shafia.
Wanita yang rambutnya berwarna coklat sepunggung, dengan balutan dress motif bunga berwarna pink itu sedang merapihkan buku-buku yang tersusun di Rak.
“Dek..” Panggil Fariz dengan suara yang lirih.
Wanita yang ia panggil itu menoleh dengan cepat dan berlari ke arahnya. Tatapan Fariz sedikit kabur karena kini kepalanya menjadi nyeri.
“Umi udah pulang?” Tanya Fariz dengan suara yang pelan.
“Udah kak, Kakak mau makan sekarang?” Tanya Shafia yang kemudian mengelus halus rambut Fariz “Kok badan Kak Fariz jadi demam? Kak gak apa-apa kan? Perlu Fia panggil Abi?”
Fariz kala itu tidak punya tenaga untuk menyangkal. Ia menganggukkan kepalanya, lalu meminta tolong untuk dipanggilkan Abi. Beruntungnya, Fariz memiliki ayah yang juga seorang Dokter. Sejak kecil, ketika asma nya kambuh maka Abi yang akan secara langsung mengurusnya. Fariz selalu yakin, Abi mengobati dirinya bukan hanya dengan obat, tapi juga dengan doa.
“Kak, aku udah telepon umi. Umi bilang Abi lagi di rumah Kak Bilal nanti langsung ke sini”
Fariz mengangguk paham.. Awalnya Fariz ingin memejamkan matanya lagi, tapi sentuhan tangan Shafia yang mengenai keningnya membuat Fariz ingin membuka matanya lalu bercengkrama dengan wanita yang kini sudah menjadi istrinya.
“Kamu udah makan?” Tanya Fariz. Ia mengubah posisinya dari tiduran menjadi duduk hanya untuk melihat Shafia dengan jelas.
“Udah, Kak Fariz mau aku masakin apa? Tadi aku udah belanja sayur di penjual sayur keliling. Aku beli sayur-sayuran untuk buat sop, terus udang, brokoli, cumi-cumi, ayam, kentang, sama bumbu-bumbuan. Kakak mau makan apa?” Tanya Shafia yang kini duduk disebelah Fariz. Mendengarkan Shafia mengoceh kini menjadi hal yang Fariz suka. Ia spontan tersenyum ketika melihat wanita ini bicara banyak hal.
“Sayang.. Tolong ambil catatan” Ucap Fariz.
“Hah? Catetan apa?”
“Apa aja, buku atau kertas juga boleh”
“Untuk?”
“Kamu dengerin aku, terus tulis inti dari apa yang aku bilang ya”
“Ohh, oke tunggu sebentar”
Setelah Shafia siap dengan pulpen dan bukunya. Fariz memberitahukan bahwa dirinya alergi udang, ia tidak suka makan cumi-cumi dan Fariz lebih suka makan nasi hangat dengan ayam goreng dan tempe goreng, dan Fariz tidak bisa makan makanan pedas.
“Yah, Harusnya aku interview dulu nih tadi sebelum belanja” ucap Shafia yang kemudian meletakan buku catatannya di meja. Kini ia menatap Fariz dengan tatapan sedikit kecewa.
“Gak apa-apa. Kamu masak aja bahan udang Sama cumi nya, Umi sama Abi suka banget cumi udang. Nanti kita bekelin Abi pas dia ke sini”
Shafia mengangguk paham. Ia kemudian menggenggam tangan Fariz dan menciumnya. “Ka Fariz, Kok bisa ya aku tiba-tiba sayang banget sama kamu?”
Fariz yang mendengar hal itu seketika tersenyum dan memeluk Shafia ke dalam dekapannya.
“Kamu jangan khawatir sama aku. Suami kamu tuh hebat tau. Sekarang baterainya lagi low aja” Ucap Fariz.
“Ka Fariz.. Gandeng tangan aku terus ya untuk lari sejauh mungkin dari bayangan masa lalu aku. Karena aku gak mau hidup sama Kak Fariz tapi terbayang masa lalu”
“Oh, Jadi sekarang masih kebayang mantan kamu itu?” Fariz melepaskan pelukannya dan menatap Shafia.
“Enggakk.. Cuma kan hati enggak ada yang tauuu.. Takut tiba-tiba inget, gimana?”
“Gak akan. Aku akan kasih kamu cinta sebanyak mungkin supaya kamu lupa semua luka yang pernah kamu rasain” Fariz kemudian mengecup kening Shafia.
Bertemu Shafia seperti mendapatkan hadiah jackpot yang tidak pernah ada dibayangan Fariz. Bahkan di hari kedua pernikahan ini, Shafia bukan mendapatkan cerita bahagia justru ia malah mendapati suaminya jatuh sakit. Bagi sebagian orang mungkin awal-awal pernikahan mereka akan pergi honeymoon tapi Shafia justru mendampingi suaminya yang terbaring di kasur dengan nafas yang terengah-engah. Fariz menyadari jika ia bahkan belum membahagiakan Shafia dengan layak di hari ini.
“Kak.. Aku mau tanya” Ucap Shafia, Fariz hanya menatapnya dengan penuh tanya. “Aku mau posting foto nikahan kita. Kakak pilihin yang bagus yang mana” Fariz tersenyum mendengar ucapan Shafia, ia kemudian mengeluarkan ponselnya yang sudah terhubung dengan media sosial tempat dimana ia ingin memposting foto.
“Ini bagus” Fariz menunjuk sebuah foto mereka tanpa wajah hanya figur tubuh mereka yang sedang berjalan menaiki tangga Masjid.
“Oke. Aku boleh post ya”
“Iya boleh, tu tanda kalau kamu udah nikah”
Shafia hanya tertawa pelan. Fariz kemudian meraih jari jemari Shafia dan mengelusnya dengan halus.
“Sayang.. Kamu gak nyesel waktu tahu aku punya penyakit asma gini? Aku mungkin akan lebih sering kayak gini, apalagi kalau kecapekan atau kena udara dingin” Tanya Fariz.
“Enggak kok. Aku udah tahu dari Umi. Aku malah bersyukur nikah sama Kakak..” Ucap Shafia.
“Kenapa bersyukur?”
“Ya bersyukur aja. Emang ada alasan untuk enggak bersyukur punya suami yang keluarganya baik, kamunya juga baik, paham agama, penyayang, suka senyum dan bonusnya ganteng lagi”
Ucapan Shafia membuatnya tersenyum lebar seolah nyeri di dadanya perlahan hilang karena mengobrol banyak dengan Shafia. Ucapan Shafia sebenarnya tidak semua benar. Fariz termasuk anak Abi yang lumayan sering mangkir dari majelis dengan beribu alasan. Tapi setelah menikah ini, Fariz lebih bertekad untuk memperbaiki kebiasaannya kabur dari majelis, kali ini ia ingin lebih dekat dengan Tuhannya yang memberinya nikmat begitu banyak yang tidak bisa ia hitung.
“Kak,.. Abi kayaknya udah dateng tu. Aku bukain pintu dulu”
Fariz mengangguk dan menatap istrinya yang lari keluar dari kamar. Hari itu, Fariz bertekad memberikan dunianya yang indah ini untuk diserahkan kepada Shafia. Hari itu, Fariz bertekad membahagiakan Shafia sesuai dengan standar yang paling berbeda dengan wanita-wanita di dunia ini.
***
Dari balik pintu Shafia mengintip Fariz dan Abi yang kini sedang berinteraksi dengan jarum suntik dan kawan-kawannya. Fariz seolah sudah sangat terbiasa disuntiki oleh jarum sampai wajahnya sama sekali tidak menampilkan ekspresi takut. Padahal Shafia sangat takut pada jarum suntik, ia bahkan memerlukan waktu berminggu-minggu untuk memutuskan divaksin hanya karena jarum suntik.
“Kamu udah mutusin mau daftar Intership dimana?” sekilas Shafia mendengar suara Abi yang mengobrol dengan Fariz.
Daripada menguping, Shafia memilih untuk meninggalkan mereka berdua dengan obrolannya dan pergi ke dapur untuk mengolah bahan masakan yang tidak bisa dimakan oleh Fariz untuk diberikan kepada Abi.
Dalam urusan memasak, Shafia lumayan telaten dan masakannya cukup enak dinikmati menurut pendapat para penghuni rumahnya. Ini pertama kalinya ia mencoba memasak untuk orang lain selain keluarga nya. Karena Shafia besar di Turki, mungkin rasa masakan yang ia buat ini memiliki perbedaan di lidah orang Indonesia, karena Shafia belajar masak pun menggunakan bumbu-bumbuan dari Turki, ia baru belajar memasak makanan dengan bumbu Indonesia sekitar 2 bulan yang lalu saat kedatangannya ke Indonesia.
Shafia mulai mengupas udang dan mencuci cumi lalu memotongnya, setelah selesai ia diamkan menggunakan perasan jeruk lemon untuk menghilangkan bau amisnya. Kemudian, ia menyiapkan bumbu-bumbu untuk dibuat seafood saus Padang. Tentu saja, Shafia mengandalkan internet di ponselnya untuk memasak. Ia meniru resep dari vidio dan mencocokan dengan bahan yang ada di mejanya.
Saat sedang melihat sebuah vidio, tiba-tiba muncul sebuah notifikasi dari layar ponselnya. Notifikasi itu berasal dari sosial medianya. Shafia sebenarnya tidak begitu menghiraukan sebuah notifikasi sosial media ataupun komentar yang masuk. Tapi, notifikasi itu membuat matanya tidak berkedip, bahkan pisau yang ia pegang tergeletak begitu saja kala Shafia melihat nama pengirim komentar yang membuat notifikasinya berbunyi.
Ia mengklik tombol pemberitahuan. Notifikasi itu berisi komentar dari postingan foto pernikahannya yang ia posting beberapa menit yang lalu.
Barakallahu Baraka alaikuma wa jama’a bainakumma fi Khair Dek.. Semoga Allah jaga pernikahan kamu
Shafia yang membaca komentar itu seketika langsung menekan tombol hapus postingan. Entah kenapa, saat membaca komentar itu, hati Shafia seolah marah, ia kesal dan sedih. Padahal isinya adalah sebuah doa.
Pengirim komentar itu adalah Zeyd. Laki-laki yang harusnya kini menjadi suaminya. Orang yang harusnya ada di sebelahnya. Entah kenapa tulisan itu sampai ke depan matanya, dan entah kenapa hatinya tiba-tiba terasa gundah. Shafia pikir Zeyd sudah hilang, tapi ternyata di hatinya ia tetap ada di sana. Di tempat terpencil dan muncul lagi.
Shafia mengetuk profil akun Zeyd dan mengirimkan pesan kepadanya.
Kenapa kamu muncul sekarang? Kenapa kamu lari saat itu???
Shafia langsung mengirimkan pesan itu tanpa berpikir panjang lagi. Ia melihat pesannya di baca, tapi tidak menunjukan tanda-tanda di balas. Dada Shafia seketika sesak mengingat hari itu. Hari dimana ia sama sekali merasa tidak dihargai sebagai seorang wanita. Hari dimana setelah hari itu ia banyak menghabiskan air mata di kamarnya. Karena hari itu akhirnya Shafia dan keluarganya kembali ke Indonesia, dan karena hari itu juga Shafia berada di sini dan menjadi Istri dari Fariz. Mengingat itu sampai tak sadar air mata mengalir di pipinya, ia sesegera mungkin menyekatnya dan mencoba untuk menyadarkan dirinya bahwa sekarang bukan lagi saatnya untuk mengenang masa lalu. Sekarang di sebelahnya ada laki-laki yang tidak kalah baik dengan masa lalunya.
“Fia.. Nak.. Lagi apa?” Suara Abi Ali tiba-tiba membuat Shafia tersadar dari lamunannya.
“ Abi.. Abi udah mau pulang? Shafia baru mau masak untuk Abi Umi”
“Eh gak usah.. Ngerepotin.. Abi habis ini mau ke Masjid untuk isi kajian. Gak apa-apa lain kali aja”
“Abi makasih ya.. Kak Fariz gimana Bi?”
“Abi sih udah kasih obat, semoga aja nanti beberapa jam lagi dia seger lagi. Jangan khawatir, nanti kalau ada apa-apa telepon Abi atau Umi ya”
Shafia mengangguk kemudian ia mengantar kepergian mertuanya itu keluar dari rumah.
Setelah Abi Ali pergi, Hatinya bicara “Shafia, apa yang kurang dari apa yang kamu dapatkan sekarang? Kalau dibandingkan pun ini tidak sebanding dengan apa yang kamu dapatkan dulu”
Niat hati awalnya Shafia ingin memasak, tapi perasaan di hatinya seketika berubah menjadi gundah. Shafia merasa ia ingin tahu jawaban dar Zeyd perihal batalnya pernikahan mereka, Shafia seolah kembali ingin mengorek luka lama yang sudah susah payah ia sembuhkan, Shafia ingin tahu kenapa Zeyd lari tanpa kejelasan, Shafia ingin tahu kenapa dan kenapa lalu kenapa? Ia hanya ingin jawaban..
Layar ponselnya sejak tadi menampilkan room chat antara dirinya dengan Zeyd. Pertanyaan Shafia tidak terjawab dan hanya dibaca. Lagi-lagi dia lari dari pertanyaan yang seharusnya dijawab. Shafia ingin tahu perasaannya ketika melihat wanita yang dulu ia cintai kini bersanding dengan laki-laki lain. Shafia ingin tahu, laki-laki yang dulu bicara “Nanti kita tinggal di Indonesia ya” justru malah meninggalkannya dan membuat Shafia kembali ke negeri ini sendirian.
Shafia membereskan semua bahan-bahan yang tadi Ingin ia masak kemudian ia simpan di lemari pendingin. Hari ini, Shafia seketika tidak ingin memasak dan ia hanya ingin berpikir dan menunggu jawaban.
Sudah 3 bulan ia mencoba lepas, bahkan sebulan pertama setelah kejadian itu, Shafia hampir gila karena mendapatkan kabar tiba-tiba melalui pesan singkat. Kejadian itu seolah masih sangat hangat di kepalanya, ia masih ingat dengan jelas isi pesan yang datang ke ponselnya malam tepat sebelum hari pernikahannya di Turki saat itu.
“Maaf Shafia, aku tidak akan bisa melanjutkan pernikahan ini. Sampaikan permintaan maaf untuk Umi dan Abi mu dari Ibu dan ayahku”
Shafia bahkan menganggap pesan itu hanyalah sebuah candaan. Ia sudah tunjukkan kepada Umi dan Abi, dan respon Umi dan Abi hanya mengikhlaskan apa yang saat itu terjadi, Umi bahkan mencoba untuk menghubungi orang tua Zeyd tapi tidak mendapatkan jawaban apapun. Esok paginya, Shafia tetap minta untuk di rias, ia bahkan menggunakan gaun pernikahan lengkap, Shafia bahkan masih tersenyum pagi itu, ia melihat gedung pernikahan nya yang indah dan di dekor dengan sangat megah sesuai dengan keinginannya. Pagi itu, Shafia berharap mendapatkan pesan dari Zeyd yang bilang bahwa dia sedang perjalanan menuju ke gedung pernikahan, tapi sampai jam akad nikah tidak ada satupun anggota keluarga Zeyd yang datang.
Kala itu, Shafia baru menyadari hal yang Zeyd kirimkan tadi malam adalah benar. Ia tidak ingin melanjutkan pernikahan itu dan pergi secara sepihak.
Hari itu, Abi dan Umi sudah mencoba untuk membuat Shafia sadar, tapi ia menolak kebenaran seperti orang gila. Shafia tetap menunggu dengan air mata yang mengalir di pipinya, ia menunggu di ruangan yang di dekor dengan sangat indah tanpa pengunjung satupun selain dirinya dan keluarganya.
Tanpa sadar, air matanya mengalir halus ketika mengingat hal itu. Hal perih yang membuatnya merasa tidak layak dicintai. Hal yang membuatnya seolah pantas di tinggalkan. Shafia bahkan tidak pernah membayangkan jika dirinya akan ditinggalkan dengan cara yang tidak terpuji. Shafia merasa dirinya rendah, harga dirinya seolah dicoreng. Kala itu, ia menorehkan tinta pada dirinya sebuah kata intimidasi yang tidak boleh ia katakan pada orang lain, tapi ia katakan pada dirinya sendiri “Kamu tidak layak dicintai, kamu hanya akan ditinggalkan”
Shafia sangat ingat, selama 2 Minggu ia mengurung dirinya di kamar. Ia hanya duduk di depan kaca dan menatap wajahnya di depan cermin.
“Apa aku tidak layak dicintai karena aku kurang dalam banyak hal??” dan banyak pertanyaan lainnya ketika ia menatap wajahnya.
Ia selalu berpikir Zeyd meninggalkan karena kekurangan dirinya. Tapi, sampai saat ini Shafia tidak menemukan jawaban apapun atas pertanyaan yang ada di kepalanya. Begitu juga Umi dan Abi yang mencoba bertanya alasan batalnya pernikahan Shafia. Sampai akhirnya mereka memutuskan untuk meninggalkan Turki, negeri yang menorehkan luka di hati anak perempuannya.
“Sayang, kenapa nangis?” saat Shafia menangis, tak sadar ada jari jemari yang menghapus air mata di pipinya. Shafia menaikan kepalanya dan melihat Fariz sedang duduk dengan satu lutut yang bertumpu pada lantai, ia kini sedang menghapus air mata yang mengalir di pipi Shafia.
Shafia bahkan tidak sadar, jika dirinya kembali larut dalam luka lama sampai ia menangis tanpa suara.
Wajah Fariz yang teduh, membuat Shafia merasa bersalah. Ia menyekat jari jemari Fariz dari wajahnya dan kemudian berdiri dari posisi awalnya. Ia menatap Fariz dengan wajahnya yang kini sedang memerah.
“Kak.. Aku mau ke Rumah Umi aku sekarang” Ucap Shafia. Ia mengucapkan kata itu sambil menahan air matanya supaya tidak tumpah lagi.
“Kenapa? Tadi Abi ada ngomong sesuatu sama kamu? Abi ngomong apa sampe kamu minta ke rumah Umi?” Tanya Fariz yang tampak panik mendengar keingina Shafia untuk pulang ke rumahnya.
Shafia menggelengkan kepalanya. Ia hanya ingin bertemu dengan Umi dan memeluknya. Karena kesedihan ini tidak mau ia bagikan dengan Fariz. Ia tidak mau memberikan tahu luka dalam hatinya kepada Fariz. “Gak, Abi gak bilang apa-apa. Aku Cuma mau ketemu umi. Aku pergi sendiri gak apa-apa. Aku bisa panggil taxi. Ka Fariz di rumah aja”
“Kamu kenapa?” Tanya Fariz sekali lagi. Tangan Fariz kini menggenggam lengan Shafia. Mata Shafia sudah memerah karena menahan tangis, apalagi saat Fariz menatapnya dengan wajah khawatir.
Shafia hanya bisa menggelengkan kepalanya. Kata yang bisa keluar dari mulutnya adalah “Aku mau ke Umi Kak.. Tolong izinin aku” Akhirnya, air matanya tumpah. Air mata itu mengalir dengan deras melewati pipinya. Shafia menangis sendiri dengan Isak tangisnya. Sampai Fariz melepas genggaman tangannya.
“Yaudah. Aku anter”
Shafia menggelengkan kepalanya lagi. Ia bahkan tidak tega kalau harus membawa Fariz ke Rumah Umi untuk saat ini. Ia bahkan tidak bisa membayangkan sepanjang perjalanan, Fariz mungkin akan melihat Shafia menangis.
“Aku gak izinin kamu pergi sendiri. Mau aku anter atau tetap diam di rumah?”
***
Sepanjang perjalanan menuju ke Rumah Umi, Fariz tidak mengeluarkan sedikitpun suara, begitu juga dengan Shafia yang menyandarkan kepalanya pada jendela sambil sesekali mengusap air matanya.
Sampai mereka tiba di depan rumah Umi Maryam, awalnya Shafia ingin langsung turun dari mobil, tapi Fariz lebih dulu menggenggam tangannya. Ia menahan Shafia untuk bicara, tentang apa hal yang membawanya sampai ke rumah Umi padahal baru kemarin mereka melangsungkan pernikahan.
“Bukan Abi kan? Abi enggak apa-apain kamu kan?” tanya Fariz yang mencoba memastikan jika Shafia menangis bukan karena ulah Abi atau ucapan Abi. Dan, Fariz juga berpikir tidak mungkin Abi melakukan hal aneh karena Abi bahkan sangat bersyukur Shafia akhirnya menjadi menantunya. Kejadian Fariz sakit inipun pasti tidak membuat Abi murka.
“Enggak, bukan karena Abi” Ucap Shafia pelan.
Fariz menggenggam tangan Shafia, ia menatap wajah Shafia yang memerah dan matanya yang bengkak karena sudah terlalu lama menangis. Di ujung matanya masih tersisa air mata dan Fariz sesegera mungkin menyekatnya.
“Terus kenapa? Emang belum mau cerita sama aku sampe kita harus jauh-jauh ke Umi” Ucap Fariz.
“Enggak bisa”
“Kenapa?”
“Aku gak mau, aku gak pengen kamu Mandang aku dengan tatapan kasihan”
“Memang kenapa harus kasihan?”
Shafia berhenti menjawab, genggaman tangannya ia lepas, Saat Shafia ingin turun dari mobil, Fariz kembali menggenggam tangannya kemudian menarik tubuh Shafia ke dalam pelukannya. Hari itu, Fariz tidak mau Shafia datang ke Rumah orang tuanya dengan tangisan.
Kemarin, saat Shafia sedang di Rias, Umi Maryam dan Fariz sempat mengobrol lama. Umi Maryam banyak menceritakan tentang Shafia terutama tentang luka nya. Karena itu, Umi Maryam meminta Fariz untuk menjaga Shafia agar dia tidak menangis lagi. Tapi, di hari awalnya ia berperan sebagai sebagai seorang suami, Fariz sudah gagal menjalankan amanah Umi.
“Fia, Hapus air matanya. Jangan banyak nangis di depan Umi. Kamu di nikahin sama aku, salah satu tujuannya adalah untuk bahagia. Kalau Umi lihat kamu nangis, nanti kamu diambil lagi sama Umi. Aku gak mau sendirian lagi” Fariz melepaskan pelukannya, kemudian mengusap mata Shafia dan membenarkan hijabnya yang sedikit berantakan. “Senyum”
Tapi Shafia enggan senyum, ia justru menggelengkan kepalanya. “Aku ke sini emang mau nangis ke Umi” Ucapnya.
Saat Shafia keluar dari mobil, Fariz menetap sejenak di dalam sana sambil berpikir. Kemarin, Umi Maryam bicara jika Fariz adalah obat. Tapi ternyata, obat tidak selalu menyembuhkan. Bisa jadi Fariz hanya obat pereda nyeri, dan kesedihan Shafia adalah penyakit yang tidak mudah sembuh dengan obat.
“Aku adalah obat untuk raga yang bersedih, tapi tidak dapat menyembuhkan jiwanya yang rusak”
Fariz memarkirkan mobilnya dengan Rapih di rumah Shafia, saat Fariz memasuki halaman rumahnya, ia sudah di sambut oleh Abi dan adik Shafia yang paling kecil, mereka sedang memberikan makanan untuk burung peliharaan mereka. Shafia adalah anak tengah, perempuan satu-satunya, dia memiliki adik laki-laki yang umurnya sekarang sekitar 10 tahun. Meskipun terlahir sebagai seorang kakak, Shafia lebih manja daripada adiknya. Itu terbukti dari cerita Umi Maryam kemarin dan apa yang ia lihat hari ini.
Fariz bersalaman dengan Abi dan adik laki-lakinya Shafia. Ia enggan masuk karena sudah tahu apa yang terjadi di dalam rumah, bahkan dari halaman rumahnya saja Fariz sudah bisa mendengarkan suara tangis Shafia yang merengek kepada umi nya.
“Haidar, Masuk sana.. Tolong buatin Kak Fariz kopi” Ucap Abi kepada Haidar.
Sebenarnya Fariz tidak terlalu menyukai kopi. Tapi ia tidak menolak karena Fariz paham, Haidar di perintahkan masuk bukan hanya sekedar untuk membuat kopi, tapi untuk pergi sejenak karena Abi pasti ingin bicara dengan Fariz.
“Udah agak sehat Riz? Abi minta maaf ya nak.. Karena Shafia lupa kamu jadi sakit” Ucap Abi yang kini sedang memberikan makanan pada burung peliharaannya.
“Enggak apa-apa Bi.. ini bukan salah siapa-siapa, lagipula Fariz Alhamdulillah udah sehat karena tadi Abi Ali ke rumah untuk kasih obat”
Abi Muh menatap Fariz kemudian ia membereskan semua barang-barang yang ada di hadapannya. Ia mengajak Fariz ke sebuah gazebo yang ada di halaman rumahnya. Di sana Abi Muh langsung membicarakan banyak hal tentang kenapa Shafia menjadi seperti saat ini. Padahal kemarin dia sangat ceria, bahkan dia bisa membuat Fariz jatuh cinta pada hari pertama pernikahan mereka karena cara bicaranya dan caranya perhatian dengan Fariz. Dia bicara seolah dia adalah orang yang hangat, tapi berbeda dengan Shafia yang ia temui beberapa jam yang lalu. Shafia yang dingin dengan air mata yang membasahi pipinya.
“Abi minta maaf ya Riz.. Saat Abi lihat Fia Dateng hari ini, Abi jadi tahu Fia ternyata belum sepenuhnya bisa menerima kamu.. Kamu pasti denger suara Shafia tadi”
Fariz mengangguk. Ia jelas mendengar Shafia menangis kepada umi nya sambil bicara “Umii.. kenapa umi nikahin Fia, umii lihat Zeyd muncul bilang selamat, umi... Coba kalau Umi gak buru-buru jodohin Fia, pasti...”
Ah, sebenarnya hati Fariz lumayan sakit ketika mendengar suara Shafia. Ketika ia sudah jatuh cinta pada wanita itu, tiba-tiba dia teringat pada masa lalunya lagi yang membuat seolah Fariz kalah dalam merebut hati Shafia.
“Bi.. Waktu Abi nya Fariz mau jodohin Fariz sama Shafia, sebenarnya ini hal yang paling berat buat Fariz. Sejak tahun lalu Fariz memang udah ada niat nikah, tapi Abi sama Umi belum Nemu siapa orang yang mau dia jadiin mantu. Sampe akhirnya Shafia kembali ke sini, kata Abi Umi sejak tahun lalu memang mereka maunya Shafia tapi saat itu gak mungkin karena Shafia bakal nikah di Turki. Bagi Fariz, siapapun pilihan Abi Umi bukan hal yang berat, Fariz bisa terima sama siapapun Fariz akan di jodohin karena emang itu udah Fariz serahin sama Abi umi.. Tapi Bi, Rasanya berat banget waktu tau kalau perempuan yang dijodohin sama Fariz ternyata belum bisa damai sama masa lalunya” Sore itu, Fariz menceritakan segala keresahan hatinya saat sebelum memutuskan untuk menikah dengan putri satu-satunya itu.
Karena sesama lelaki, Fariz memberanikan diri untuk bicara terus terang tentang keresahan hatinya. Berbeda dengan pembicaraan dengan Umi Maryam, Saat bicara dengan Abi Muh seketika itu juga Fariz meluapkan semuanya.
“Tapi, Abi Ali bilang kalau masa lalu hanya akan tinggal di sana. Fariz bakal jadi masa depan nya. Sampe Fariz bicara sama Umi nya Fariz, dan Umi saranin untuk istikharah karena umi gak bisa kasih jawaban atas keresahan hati Fariz. Umi Cuma pesan, setiap orang punya masa lalu, dan mereka punya kesempatan untuk berubah. Fariz yakin menikah sama Shafia karena Abi Umi, bahkan Sampai ijab Qabul pun Fariz belum jatuh cinta sama Shafia” Ucap Fariz..
Mereka berdua menatap langit sore yang kini sudah berubah menjadi jingga. Matahari di hadapannya perlahan sudah mulai terbenam, dan malam akan segera datang.
“Fariz.. Maaf karena anak Abi bukan wanita yang sempurna nak.. Tapi Abi yakinkan Shafia bersama kamu karena Abi lihat kamu bisa menarik Shafia keluar dari masa lalu nya. Abi yakin kamu bisa bikin Shafia lupa sama kejadian yang terjadi sama dia”
“Fariz bicara ini sebagai suami Shafia, dan Fariz lihat Shafia kayak orang yang gak pernah ngobatin luka nya. Dia mau ngobatin lukanya, dia juga bilang ke Fariz untuk bantu dia sembuhin lukanya, tapi dia kayak enggak mau luka nya sembuh. Dia seolah mau mengenang luka itu. Hari ini Fariz tahu, Luka Shafia separah itu sampe hari ini Fariz gagal untuk coba kasih dia obat. Tapi, dari hari ini Fariz tahu gimana pengobatan yang tepat buat Shafia. Abi, sejak kecil sampai menikah kemarin, Enggak pernah sekalipun dalam hidup Fariz, Fariz nyentuh wanita selain Umi sama Namia. Shafia orang pertama yang Fariz sentuh, bahkan Shafia adalah perempuan pertama yang bisa Fariz sayang. Fariz mungkin akan banyak salah nya karena ini pertama kalinya Fariz cinta sama seorang perempuan. Saat menikah, Fariz bertekad untuk Fariz mau coba cintai kekurangannya, Fariz mau coba terima luka nya, Fariz mau rangkul dia, Fariz mau buat dia bahagia kayak Umi yang bahagia nikah sama Abi. Bi, Apa Abi bisa percaya sama Fariz?”
Sebagai anak perempuan satu-satunya, Abi Muh pasti sangat ingin melihat Shafia berbahagia atas hidupnya. Fariz tahu karena Abi Ali juga berharap hal yang sama untuk Namia.
“Abi sangat berharap Shafia datang ke rumah yang tepat. Rumah dimana dia akan bahagia seperti di rumahnya sendiri. Abi berharap seorang laki-laki dan keluarganya memperlakukan Shafia lebih baik dari Abi dan keluarga Abi memperlakukan dia. Semalam, pertama kalinya Abi dan Umi merasa sangat kehilangan sosok putri Abi, sejak kembali ke Rumah ini setiap harinya kita lihat Shafia dengan wajah murungnya, wajahnya yang dingin bahkan jarang senyum, padahal sejak kecil dia adalah anak Abi satu-satunya yang paling hangat dan ceria menghibur semua orang yang ada di rumahnya. Fariz, Abi berikan kepada kamu Shafia yang dingin untuk kamu kembalikan dia menjadi Shafia yang hangat. Setelah itu, kamu bisa merasakan cinta sesungguhnya.”
Fariz mengangguk paham, ia bahkan ingin memperlakukan lebih baik dari harapan Abi Muh. Jikalau setelah hari ini ternyata Shafia melupakan Fariz sebagai suaminya dan dia kembali mengingat masa lalunya, Fariz akan tetap mencintainya.
***
Shafia memeluk Umi dengan dekapan yang erat, tangisnya masih belum kunjung usai, deraian air mata yang halus masih membanjiri pipinya, matanya kini sudah terasa perih dan mungkin jika ia berkaca, akan nampak wajahnya kini sudah memerah dan matanya membengkak. Sejak tadi ia mengoceh tak tentu arah, ia sudah menyalahkan umi, memprotes keputusan Abi, Hingga bicara penyesalan menikah secepat ini.
Seolah kontrol dalam dirinya hilang, bahkan ucapan pun tidak ada yang difiltrasi, Shafia merasa sesak karena ia merasa dirinya tidak beruntung. Harusnya ia menunggu sebentar lagi, Zeyd mungkin akan mengirimkan pesan untuk memperbaiki hubungan mereka.
“Fia.. Udah nak, ini udah mau Magrib kita harus sholat dulu. Udah nak... Hapus air matanya, kamu gak boleh begini di depan suami kamu” Ucap Umi.
“Lagian umi kenapa si? Kenapa umi mau buru-buru nikahin Fia?”
Dan, lagi-lagi Shafia mengungkit hal itu. Ia bahkan melupakan Fariz dalam waktu sekejap dan kembali mengingat Zeyd.
“Istighfar Fia.. Kok gini lagi sih nak?? Kamu gak boleh marah kayak gini ya? Umi gak mau loh”
“Umi.. Umi tolong ya.. Tolong hubungin orang tua Zeyd.. Tolong tanyain semua pertanyaan Fia mi... Tolong ya mi..” Ucap Shafia.
“Buat apa? Udah Fia.. Umi udah cukup, Nak sadar... istighfar, Laki-laki di depan kamu memang kurang apa? Fariz itu jauh lebih baik daripada Zeyd.. Umi yakin”
“Umi... Umii gak—“
“Udah cukup, Umi gak mau denger apapun lagi. Kamu udah keterlaluan Fia.. Kamu gak boleh gini. Gak boleh kamu setujuin pernikahan terus tiba-tiba menyesal gini, apalagi penyebab penyesalan kamu adalah dia. Umi gak terima. Udah, hapus air mata nya. Umi udah cukup berbaik hati selama satu jam kamu nangis gini. Tapi kalau gini terus, umi marah nak.. Sekarang kamu boleh pulang ke rumah Umi Cuma karena 3 hal, betulan kangen umi, mau kasih kabar bahagia sama umi, dan Fariz yang mulangin kamu ke sini. Selebihnya, untuk hal-hal gak penting kayak gini, Umi gak mau bukain pintu..”
“Umi, umi jangan gitu, Umi—“ Ucap Shafia yang masih terisak.
“Umi gak pengen kamu inget-inget dia. Mau dia chat 1000 kalipun, kamu gak boleh goyah. Shafia, inget kamu udah punya suami nak.. Fariz suami kamu, Allah marah nak kalau kamu gak menghargai dia”
Shafia melepaskan sandaran dari Umi, ia menyekat sisa air matanya. Sejak tadi, Shafia menangis sedu kepada umi tapi Umi tidak bicara sepatah katapun, umi hanya mengelus kepala Shafia, membiarkan Shafia mengoceh sambil menangis. Mungkin, bagi Umi ini hal yang biasa. Umi sudah mengalami ini sebanyak puluhan kali sejak masih di Turki sampai di Indonesia, Ketika mengingat Zeyd, Shafia akan selalu lari kepada Umi. Shafia akan menangis sedu di pundak umi, mempertanyakan kenapa hal menyakitkan harus terjadi padanya, bahkan ia bisa tertidur di pangkuan umi saking lamanya ia menangis.
“Udah nak.. Kamu sekarang tenangin diri kamu. Fariz tuh di luar loh, dia juga pasti belum baikan tubuhnya. Umi bolehin kamu tidur di sini untuk malem ini aja, tapi besok harus pulang” ucap Umi.
“Ka Fariz harus nginep di sini juga?” Tanya Shafia. Ia berpikir saat ini ingin menghabiskan waktu sendirian di kamarnya. Tapi Shafia lupa, kini ia sudah bersuami.
“Loh iya dong. Tu suami kamu di suruh pulang gitu?” Ucap Umi..
“Tapi Umi... Fia gak mau muncul di depan Kak Fariz dengan muka kayak gini”
Setelah sadar, Shafia baru merasa ia tidak bisa menghadapi Fariz dengan kondisi saat ini. Ia teringat ucapan ketusnya pada Fariz saat di mobil tadi, padahal Fariz memeluknya dan mencoba untuk menenangkannya.
“Gak apa-apa. Fariz pasti tahu, dia pasti ngertiin kamu” Ucap Umi yang kemudian keluar lebih dulu meninggalkan Shafia sendiri di kamarnya.
Shafia menyekat sisa-sisa air matanya, ia kemudian beralih ke kaca dan menatap wajahnya dari cermin. Sungguh, wajah ini tidak pantas ditampilkan dihadapan suaminya. Wajah yang terlihat masam dan penuh dengan kesedihan. Shafia menggelengkan kepalanya, ia sedang memikirkan cara untuk keluar dan bertemu dengan Fariz. Ia sebenarnya takut akan pertanyaan yang diajukan oleh Fariz, takut Shafia justru menyakiti hatinya.
“Shafia, cepet siap-siap nak.. Kita mau sholat berjama’ah” Umi kembali lagi mengintip dari pintu kamar, ia seolah menyuruh Shafia segera keluar dari tempat persembunyiannya.
Sebetulnya, yang ia lakukan kali ini tidak benar. Shafia benar-benar tidak bisa mengontrol emosinya. Ia sangat tergesa-gesa untuk bersedih dan tidak memberikan jeda untuk otaknya berpikir. Ia sampai lupa jika sekarang statusnya adalah seorang istri.
Shafia merapihkan bajunya, ia juga membenarkan hijabnya, ia mencoba untuk tersenyum tapi rasanya aneh tersenyum dengan mata bengkak seperti sekarang. Alhasil, Shafia hanya menarik nafasnya dalam-dalam, ia kemudian memejamkan matanya dan berpikir positif. Ia membayangkan senyum Fariz yang datang menyambutnya tanpa bertanya, karena itulah yang ia inginkan. Shafia tidak mau Fariz bertanya karena ia tidak mau menjawab apapun untuk saat ini.
Setelah tenang, Shafia melangkahkan kakinya keluar kamar. Saat membuka pintu, pemandangan yang ia lihat adalah wajah Fariz. Fariz yang sedang tersenyum bersama dengan Haidar, mereka sedang bermain game sambil menunggu waktu magrib tiba.
Hatinya lagi-lagi bicara perihal nikmat yang ada di depan matanya. Fariz adalah laki-laki pilihan Umi, tapi Shafia juga yang menyetujuinya untuk menjadi suami, bagaimana bisa Shafia dengan mudah terkecoh dengan masa lalunya, padahal masa depannya kini sangat cerah bersama dengan laki-laki ini.
“Shafia, kalau bisa ditukar apakah kamu bersedia menukar Fariz dengan Zeyd?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Journey To Find You
Fiksi Remaja"Kamu adalah obat, tapi kamu bukan obat untuk aku" -Shafia "Andaikan ada pilihan lain, aku tidak ingin menjadi obat penyembuh lukamu. Memang seharusnya tidak dengan kamu aku bersanding" -Fariz Masa lalu adalah penghalang yang membuat kita tidak bi...