10 | lebur

511 117 151
                                    

hai haiii.

first of all, terima kasih buat ucapan cepat sembuh dari teman temann. it really means a lot. terima kasih juga yaa buat pengertiannya karena aku nggak bisa update kemarin

dan tentu saja terima kasih buat semuaa komen di chap sebelumnya yang melampaui target. kalian keren abiezzzz,,,

target chapter ini masih 120 komentar tapi ditambah dengan 90 votes yaww

happy reading!

***

Matahari perlahan-lahan mulai tenggelam kembali ke peraduan ketika Jingga dan Jiwa kembali ke Galar.

Di luar dugaan Jingga, ternyata menghabiskan waktu bersama Jiwa bukanlah sesuatu yang buruk, bahkan jauh dari itu. Laki-laki itu memang punya 1001 cara untuk membuat Jingga harus menahan diri agar tidak membenturkan kepala ke tembok saking lelahnya, namun di sisi lain, Jiwa bisa menjelma menjadi sosok yang mengacaukan debar jantung Jingga.

Jiwa membawa warna baru bagi hidup Jingga yang selama ini terasa kelabu.

Jingga melangkah keluar dari kamar mandi dengan handuk yang membalut tubuhnya. Ia yang baru saja selesai membersihkan tubuhnya setelah hampir seharian ini menghabiskan waktunya di luar mengernyit tatkala tidak menemukan ponselnya di kamar. Pasalnya tadi saat sedang di jalan pulang, Haza mengirimkan pesan bahwa laki-laki itu akan mampir untuk mengambil jasnya yang ketinggalan kemarin. Jingga hendak mengecek apakah Haza sudah hampir sampai atau belum.

Jingga melangkah menuju ke ruang kerjanya ketika teringat bahwa ia meninggalkan ponselnya di dalam tas yang tergeletak di meja kerja. Namun tepat ketika ia menginjakkan kaki di ambang yang menghubungkan kamar dan ruang kerjanya, Jingga seketika langsung berhenti bergerak dan memekik kaget.

"HUAAAAAAAA!!!"

Di ujung sana, Haza baru saja masuk ke dalam ruangan dan kini juga tampak tak kalah terkejut dengan Jingga. Laki-laki itu sontak memalingkan muka melihat pemandangan di hadapannya.

Tanpa mengatakan apa-apa, Jingga langsung berlari masuk ke kamarnya kembali dengan wajah merah padam. Sementara Haza masih membeku di tempatnya dengan wajah yang terasa panas dan telinga yang sudah memerah. Laki-laki itu berusaha mengendalikan diri, mencoba mengenyahkan apa yang baru saja ia lihat dari kepalanya.

Lucu, sebenarnya. Karena Haza pernah melihat lebih dari itu.

Ketika kurang dari 5 menit kemudian Jingga kembali—kali ini sudah berpakaian lengkap—Haza langsung menjadi yang pertama bersuara.

"Ma—maaf. Tadi kamu bilang saya bisa langsung masuk kalau kamu belum pulang, dan saya kira kamu masih di luar. Sekali lagi—"

"It's okay." Jingga menyela. Rasanya ia akan lebih malu kalau Haza terus meminta maaf atas kejadian barusan. Jingga lantas mengulurkan jas Haza yang ia simpan di kamarnya.

"Thank you."

"Mas Haza ada perlu apa dateng kemarin?"

Untuk sejenak, Haza terdiam, teringat kembali bagaimana ia berlari keluar dari gedung dengan wajah panik, mengabaikan Alice yang bertanya ia hendak ke mana, juga memilih untuk menyetir sendiri karena tahu supirnya tidak akan berkendara secepat yang ia lakukan ia kemarin.

"Oh. Kemarin saya dateng untuk... Minta maaf." Dan untuk sebuah alasan, Haza memilih untuk mengelak. "Saya mau minta maaf soal Papa yang masih aja gangguin kamu dan minta kamu untuk dateng ke acara keluarga Casugraha. Saya tau kamu pasti nggak nyaman dan itu bukan kali pertama Papa bertingkah begitu. Saya akan bicara sama Papa supaya nggak terus-menerus menghubungi kamu."

Temu JiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang