Bab 1

3 0 0
                                    

Hera berjalan keluar kamar, menuju ruang makan dengan ragu. Semenjak kejadian seminggu yang lalu, ia mengurung dirinya dikamar. Makanan pun harus diantar oleh saudara kembarnya, tanpa keluar sedikit pun dari kamar yang ia singgahi.

Tak ada suara, tak ada pandangan yang tertuju padanya saat ia datang. Mereka hanya terfokus pada makanan masing-masing.

Dengan sedikit keraguan, ia duduk dikursi yang biasa ia duduki. Lalu memberanikan diri menatap orang-orang dimeja makan itu. Senyumnya kini terukir tatkala tak ada tatapan benci dari ketiganya. Dengan yakin ia meminta makan pada mamanya, karena lauk dimeja makan sudah habis tak tersisa. "Ma, hera mau... "

"Srekk..." suara gesekan kursi menutup kembali mulut Hera.

"Mama udah kenyang." ucapnya lalu pergi meninggalkan ruangan.

Begitupun Brata, ia hanya terdiam tanpa menatap kedua putrinya, lalu pergi begitu saja tanpa menghabiskan makanannya.

Suara helaan napas terdengar dari mulut Amora. Ia menatap sedu kembarannya itu. "Nih loe makan aja punya gue her, gue udah kenyang." ucapnya, menyodorkan makanan sisa.

Hera menatap Amora dengan senyum lebar. Lalu memeluk saudaranya itu erat. "Makasih kak, Kak Amora baik banget."

"Sam... sama-sama her." jawabnya ragu.
"Loe makan dulu ya, gue mau mandi."

Hera mengangguk, lalu ia duduk kembali ke kursinya. Memakan makanan itu dengan lahap.

Dari semua hal yang ia miliki sekarang, Hera merasa paling beruntung memiliki kembaran seperti Amora. Yang selalu baik padanya, apapun kesalahan yang telah ia buat, Amora tetap menerimanya.

Makanan itu pun telah habis dilahapnya, kini Hera menyenderkan dirinya dikursi. Dengan rasa kenyang yang ada, Hera membuka kamera handphone nya. Menatap wajahnya sendiri yang terlihat amburadul ini. "Tetep cantik, walau sedih." ucapnya lesu, lalu beranjak dari duduknya.

Namun langkahnya terhenti ketika melihat tiga orang pria membawa meja berukuran sedang, dan satu kursi ke dalam rumah.

Terlihat juga Hanum didepannya, mengawal ketiga nya, seakan menunjukkan tempat untuk meletakkan kedua benda tersebut.

"Meja kursinya buat apa, ma?"

"Tolong letakkan disini aja ya pak!" pinta Hanum, menunjuk sebuah sudut ruang yang tak jauh dari meja makan.

"Ini, bayarannya."

"Baik buk, kami pulang dulu."

"Iya pak, terima kasih ya bapak-bapak."

Setelah ketiganya pulang, Hanum melangkah pergi. Namun langkah nya terhenti ketika melewati Hera yang masih terlihat bingung dengan meja dan kursi yang ia bawa.

"Mulai hari ini, meja itu jadi meja makan kamu, dan jangan pernah menduduki meja makan keluarga saya lagi!" ucap Hanum, yang langsung pergi tanpa melihat Hera sedikitpun.

"Ma..." mata Hera mulai berkaca, ucapan sang mama membuatnya sedih. Tak ada yang bisa ia perbuat lagi, mungkin ini resiko yang harus Hera ambil untuk keutuhan keluarganya.

***

Hera kini berada diteras rumah menunggu kedatangan mamanya yang sedang mengambil rapot. Senyumnya kini terukir karena kepercayaan akan dirinya sendiri bahwa dia pasti menjadi juara kelas. Sebuah hal yang pasti membanggakan orangtuanya, walaupun sebelumnya telah mengecewakan keduanya. Hal yang Hera harapkan dapat meruntuhkan kemarahan Hanum.

"Klak..." suara pagar terbuka, memperlihatkan Hanum yang sedang turun dari mobil.

Hera bersiap akan sambutan Hanum karena kepintaran nya. Namun sayang, Hanum hanya melewati Hera tanpa kata apapun.

Dengan rasa penasaran akan hasil nilai rapotnya, Hera mengikuti Hanum dari belakang. Sampai pada ruang tamu yang ternyata sudah ada Amora disana.

Kedua gadis itu duduk sejajar di sofa. Terdapat Hanum didepan nya yang sedang membaca-baca nilai rapot. Kemudian mulai mengamati putri kecil nya satu persatu.

"Amora, kemari nak!" ujar Hanum, Amora pun menurutinya, ia terduduk tepat disamping Hanum.

Pelukan hangat menyapanya. "Nilaimu banyak yang dibawah KKM ra, tapi its oke ada beberapa nilai yang bagus."
"Jangan cemberut gitu dong." Lanjutnya saat melihat putrinya memonyongkan bibir.
"Yang terpenting kamu udah berusaha, itu aja udah buat mama bangga sama kamu."

Amora tersenyum mendengarnya. "Makasih,ma."

"Iya sayang." Hanum mencium kening Amora.
"Sekarang kamu istirahat dikamar dulu ya."

Amora mengangguk, ia beranjak dari tempat duduk meninggalkan mama dan saudara kembarnya.

Kini Hanum menatap Hera, wajah kekecewaaan tampak diwajahnya. "Nilai kamu bagus, dapet peringkat satu lagi, tapi mama gak bangga." ucap Hanum datar.

Hera hanya bisa terdiam, tak tahu apa yang harus ia katakan. Air matanya kini terjun dengan bebasnya, sebuah kesedihan yang tak dapat ia sembunyikan.

"Bagi mama kamu udah gak sempurna lagi ra, jadi tolong biarkan kakakmu lebih unggul dari kamu."

Hera menyeka air matanya. "Tapi Hera juga butuh kelebihan, untuk menutupi kekurangan Hera ma."

Hanum menghembuskan napas kasar. "Tapi kekurangan mu tidak bisa ditutupi. Kamu sudah gak sempurna, jadi yang mama harapkan sekarang adalah kakakmu."

Hera menelan ludahnya saat mendengar pernyataan Hanum yang menyakitkan. "Jadi, maksud ma... ma gak ada yang di... harap... kan dari a..ku? tanya Hera terbata-bata disela tangisnya.

Hanum menatap putrinya tajam. "Apa yang bisa mama harapkan darimu?"
"Sebuah luka yang kamu berikan sama mama saja, kamu gak bisa sembuhkan." ujar Hanum, lalu pergi meninggalkan  putrinya memeluk tangisnya seorang diri.

"Aku akan belajar lebih keras lagi ma, sejauh apa kau melarangnya aku tetaplah aku, yang ingin mendapat pengakuan, walau bukan dari mama."  batin Hera.


Lilin Kecil, Menerangi Orang Lain Namun membakar dirinya sendiriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang