02. Coba Lagi, Bujang Lagi

1.9K 195 10
                                    

“Nggak bisa Bahasa Inggris!”

Leon berteriak sambil menuruni tangga. Pemuda itu mengejek kedua orang tuanya yang asyik melakukan panggilan video bersama Noel sejak tadi. Bocah itu berjalan cepat sambil memainkan kunci mobil di telunjuknya.

“Bun, abang mau keluar dulu.”

Naza yang tadinya berbicara dengan Noel, langsung menoleh. “Mau ke mana? Masih pagi begini! Sini, bicara dulu sama adik kamu.”

Leon melongok sebentar, melihat layar laptop ayah yang menampilkan wajah Noel. Di sana, Noel terlihat duduk di kamar dengan plester kompres di keningnya. Setelah lulus SD dan mendapat kesempatan menjadi siswa akselerasi, Noel memang tidak sekolah di Indonesia. Bujang kedua ayah dan bunda itu melanjutkan sekolah di salah satu sekolah internasional di Singapura. Makanya, Noel tidak tinggal di rumah dan akan menghabiskan waktu dengan panggilan video bersama ayah dan  bunda di hari minggu, seperti hari ini.

Sekarang, Noel duduk di bangku kelas 4 Junior High School atau setara 1 SMA di Indonesia, beda satu tahun dengan abangnya, Leon, meski umur mereka selisih dua tahun. Saat Leon berusia 16 tahun, berarti sekarang usia Noel masih 14 tahun.

Namun, karena tinggal di asrama, biasanya, Noel akan pulang ketika libur semester beberapa minggu, kemudian kembali ke asrama. Bahkan, saking lamanya Noel tinggal di asrama, bocah itu tidak bisa berbahasa Indonesia. Pun, dipaksa menggunakan bahasa Indonesia, ucapan Noel mirip google translate yang kaku dan formal.

Makanya, Leon cukup enggan untuk berbicara dengan Noel. Selain bahasa yang tidak nyambung, Leon masih tidak terlalu suka dengan Noel yang menjadi putra kesayangan ayah yang paling sempurna.

“Bicara dulu sama Noel, Bang. Kamu gak kangen sama adik kamu sendiri?” Naza kembali berbicara.

Leon menghela napasnya. “Bun, abang sama Noel ngomongnya gak nyambung, wakilin aja sama bunda.”

“Kamu ini, alasan mulu.”

Tak lama, Noel malah mengakhiri panggilan video itu. Katanya, dia mau istirahat, badannya demam. Dan, ini adalah alasan kesekian kenapa Leon tidak terlalu suka Noel, adiknya itu sangat sering sakit. Saat Noel sakit, perhatian ayah dan bunda akan Noel ambil habis seperti vacum cleaner, apalagi saat Noel ada di rumah, rasanya Leon langsung terasingkan, mirip anak pungut.

Meskipun begitu, Noel tetap adik Leon yang tak bisa Leon buang ke tempat sampah, seperti rencananya ketika kecil.

“Kapan Noel pulang?” tanya Leon.

“Habis semester ini, 3 bulanan lagi,” sahut Naza.

Leon hanya mengangguk. Berarti, dia hanya memiliki waktu tiga bulan lagi sebelum Noel, si anak emas kesayangan ayah dan bunda, kembali ke rumah dan menguasai perhatian ayah dan bunda. Dibanding benci, sebetulnya Leon hanya cemburu. Cemburu karena Noel lebih pintar, cemburu karena ayah lebih sayang Noel.

“Asyik! Bang Noel bakal pulang, Bun?”  itu Lonnel yang bicara. Bocah 9 tahun berlari dan langsung duduk di tengah-tengah ayah dan bunda. “Adek mau bicara sama Bang Noel.”

“Telat, Dek,” sahut Alby.

“Ayah, kok Bang Noel pinter, tapi Bang Leon sama Adek gak pinter?”

Leon langsung melotot karena pertanyaan si bontot Lonnel. Mata sipit Leon langsung terbelalak dan hampir keluar dari kelopaknya. Leon itu bukan tidak bisa pintar seperti Noel, cuma malas saja penyakitnya.

“Bang Noel bisa bahasa Inggris, Bang Leon sama adek kok gak bisa?” Lonnel tak henti bertanya.

Leon ikut duduk bersama orang tua dan adiknya di depan televisi. Dia diam-diam mendekati Lonnel. “Nel, tau gak? Dulu waktu kecil, Bang Noel dikasihnya susu sama daging, kalau kita dikasih air putih sama singkong. Jadi begini hasilnya.”

“Pantesan adek gak bisa bahasa Inggris,” timpal Lonnel.

Leon mengangguk dengan mantap, tapi kepalanya langsung mendapat hadiah jitakan mantap dari Alby.

“Jangan ngomong yang aneh-aneh! Ayah sama bunda gak membeda-bedakan kalian bertiga!” timpal Alby dengan cepat.

Leon tertawa. “Bercanda, Yah.” Dia kembali beranjak. “Keluar dulu, ya.”

Melihat Leon berjalan keluar, Lonnel ikut berlari. Bocah itu menyusul langkah abangnya dengan cepat. “Bang!” panggilnya.

“Kenapa?”

Lonnel tersenyum penuh arti. “Abang bakal lewat endomaret gak? Isiin diamond, cepe aja.”

“Cepe matamu!”

“Ayolah, Bang. Cepe aja. Abang ‘kan uang jajannya lebih banyak dibanding adek.”

Leon malah menatap kedua orang tuanya yang masih duduk di ruang televisi. “Ayah! Nih, Lonnel minta diisi diamond lagi!” teriaknya.

“Lonnel! Mau ayah sita lagi HP-nya?”

Pertanyaan ayah membuat Lonnel terbirit. Bocah itu langsung kabur. “Nggak mau!” teriaknya.

Seperti itulah keseharian keluarga Alby dan Naza. Meski mereka sudah memiliki tiga putra, tapi tetap saja akhir pekan di rumah hanya mereka habiskan berdua. Noel yang tinggal jauh sudah tentu tidak ada di rumah, Leon akan pergi nongkrong bersama teman-teman hingga malam, dan Lonnel akan asyik bermain game di kamar atau di rumah temannya. Jika Alby bekerja, bahkan Naza hanya sendirian di rumah, paling ditemani Bi Yuli yang bantu-bantu pekerjaan rumah.

“Makin besar, Anak-anak makin jarang di rumah,” keluh Naza.

Alby mengusap perut besar Naza. “Makanya, kita harus punya bayi lagi.”

“Ah, kamu, Mas. Gak bisa lihat aku langsing dikit.”

Alby tertawa. Dia kembali mengusap perut Naza. “Yang ini beneran gak sengaja, Sayang.”

“Nggak sengaja gimana maksudnya?!” Mata Naza langsung melotot. “Gak sengaja, tiba-tiba aku hamil gitu?” tanyanya, sewot.

“Nggak gitu maksudnya. Tapi, janji ini yang terakhir.”

Naza langsung mencebik. “Nggak! Aku nggak bakal percaya sama janji manis kamu lagi, Mas! Waktu aku hamil Lonnel, Mas juga bilang gitu. Iya, Sayang ... janji ini yang terakhir.” Naza menirukan ucapan Alby waktu dulu. “Feses kucing! Taunya aku hamil la—”

Alby langsung mengecup bibir Naza sambil tertawa. “Kata Ibu, banyak anak, banyak rezeki.”

“Banyak rezeki sih, tapi aku cuma dapat hikmahnya aja. Leon mirip kamu, Noel mirip kamu, Lonnel juga mirip kamu. Gak ada satu pun yang mirip sama aku. Nggak adil! Aku yang hamil 9 bulan, tapi semuanya mirip kamu.”

Alby tersenyum, mendengarkan Naza mengomel. Dia tatap wajah istrinya yang semakin cantik ketika hamil. “Makanya, kali ini kita berdoa supaya dapat bayi perempuan yang cantik mirip bundanya.”

“Kalau Bujang lagi gimana?”

“Kita coba lagi!”

“Mas!”

“Bercanda, Sayang.”

Naza berjengkat. Dia beranjak sambil menghentak-hentakkan kakinya mirip anak gadis yang tengah merajuk. Dia melirik Alby melalui sudut matanya. “Ya, udah. Nanti mas aja yang hamil!” dengusnya sambil masuk ke kamar.

“Iya, besok mas yang hamil!” balas Alby sambil tertawa terbahak-bahak.

Sejak hamil anak keempat mereka, Naza memang semakin lucu dan menggemaskan. Makanya, Alby tak bisa menahan diri untuk mendapat bayi perempuan. Paling tidak, harus ada Naza kecil ukuran sachet di rumah.

°•°•°

Bujang Kematian Kesayangan AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang