“Bang? Masih di mana? Ini udah jam 10, kamu masih belum pulang?!”
Naza berteriak pada ponsel yang menempel di telinganya. Perempuan yang tengah hamil itu berdiri di depan jendela sambil menatap gerbang rumah, menunggu klakson mobil putranya yang mungkin akan terdengar. Namun, jangankan klakson mobil, gerbang tinggi berwarna hitam itu masih damai di tempatnya.
“Mana ada kegiatan sekolah sampai malam begini! Pulang sekarang! Bunda tunggu! 30 menit gak sampai rumah, gerbang bunda kunci!”
Setelah kerongkongannya kering karena berteriak-teriak sejak tadi, Naza akhirnya mengakhiri panggilan telepon itu. Dia tekan layar ponselnya dengan kasar sebelum akhirnya menghela napas begitu panjang.
Perempuan yang tengah hamil 6 bulan itu lantas berjalan ke lantai atas sambil mengusap perutnya yang terasa semakin berat. Memang sangat sia-sia Naza menunggu Leon pulang tanpa dimarahi dulu. Bocah berusia 16 tahun itu harus mendengar teriakan Naza dulu, baru dia akan pulang.
Setelah masuk SMA, Leon sangat jarang ada di rumah. Dia akan berangkat pagi dan pulang malam. Bocah bermata sipit itu bahkan hanya menumpang tidur di rumah. Saking jarangnya Leon ada di rumah, bahkan Naza hampir lupa dengan wajah si sulung yang mulai beranjak dewasa.
“Peraturan rumah harus diperketat lagi.” Naza bergumam pelan.
Sebagai seorang ibu, Naza tentu saja khawatir saat membesarkan putra-putranya, terutama Leon yang mulai mengenal dunia tongkrongan ditambah dengan pergaulan zaman sekarang yang sangat sulit terkontrol. Jika bisa, Naza bahkan ingin menempelkan CCTV di jidat putranya itu atau paling tidak alat pelacak. Memang berlebihan, tapi begitulah kekhawatiran Naza setiap harinya.
“Harus diskusi lagi sama Mas Alby.”
Naza terus bergumam sambil berjalan menuju kamarnya. Namun, saat Naza melewati kamar si kecil Lonnel, samar terlihat cahaya ponsel dari balik selimut berkarakter spiderman itu. Pintu kamar yang terbuka seakan mengizinkan Naza untuk masuk diam-diam.
Naza tarik selimut itu dan langsung disuguhi pemandangan putranya yang kecil tengah asyik bermain game. Bocah laki-laki itu berjongkok di atas kasur sambil memegang ponsel. Kedua tangannya begitu gencar menekan setiap sudut layar ponselnya. Belum lagi dengan kedua telinga yang terumpal earpod berwarna putih.
Naza cabut salah satu earpod itu. “Adek! Jam berapa sekarang?!” teriaknya.
Wajah Lonnel terlihat takut, tapi mata dan tangannya tetap fokus pada ponsel di tangannya. “Sebentar lagi, Bun.”
Naza sudah tak sanggup untuk berteriak lagi kali ini. Suara dan teganya terasa sudah habis. Makanya, saat melihat Alby lewat, dia merasa mendapat bala bantuan.
“Ayah,” panggil Naza.
Alby langsung menoleh sambil menghentikan langkahnya. Pria berkaos putih itu menatap istri dan putranya di dalam kamar. “Kenapa?” tanyanya.
Naza tak menjawab, tapi dia memberi isyarat agar Alby melihat kelakuan Lonnel yang masih asyik bermain game.
“Lonnel Jovandiro.” Alby tidak berteriak, tapi tangannya dengan cepat merebut ponsel dari tangan Lonnel.
“Eh, ayah! Tanggung dikit lagi.” Lonnel protes.
“Tidur!”
Lonnel paling takut ketika melihat mata ayahnya yang hampir keluar karena melotot. Bocah itu langsung mengambil posisi untuk tidur. Matanya langsung terpejam meski kelopak matanya masih bergetar karena pura-pura tidur.
“Ayah sita HP ini satu bulan!”
Lonnel kembali terbelalak. Dia menatap ayahnya terheran-heran. “Ayah, masa satu bulan?” rengeknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bujang Kematian Kesayangan Ayah
Fiksi RemajaBerdasarkan kisah AU Abang Leon di Instagram Kisah 3 bujang kematian kesayang Ayah Alby dam Bunda Naza. Tidak ada satu hari pun yang terlewat tanpa teriakan bunda atau pelototan ayah. Leon, si sulung yang jarang pulang Noel, si tengah yang introver...