Bab 3

174 18 1
                                    

03. Ucapan selamat malam.

Jam sudah menunjukkan pukul 18.45 wib.

Saat ini ketujuh anak laki-laki dari Ayah Bumi dan Bunda Senja sedang berkumpul diruang keluarga seraya menonton serial kartun kesukaan si kembar dan juga si bungsu.

Sedangkan kedua orang tua mereka, Ayah Bumi dan Bunda Senja berada didapur, Bunda Senja yang sedang memasak dan Ayah Bumi yang sedang mengganggu sang istri.

"Kepala mereka kok besar banget sih?" tanya Laskar.

"Gak tau, mungkin mereka punya penyakit, makanya kepalanya besar." jawab Renjana asal.

"Iyakah?" Jiwa bertanya sembari menatap Renjana polos.

Renjana hanya mengangguk saja.

Tak lama kemudiam, Ayah Bumi menghampiri mereka dengan wajah lesu, lalu mendudukkan bokongnya disofa. Hal itu mengundang perhatian ketujuh anak laki-lakinya.

"Ayah kenapa? Kok mukanya kayak gembel?" heran Hepta membuat wajah Ayah Bumi semakin masam.

Plak!

"Aduh!"

Geplakan maut dari Renjana didapatkan Hepta, membuat anak keempat itu mengaduh.

"Hush, gaboleh ngatain Ayah gembel!" tegur anak kedua Ayah Bumi dan Bunda Senja itu.

"Tapi muka Ayah emang mirip gembel sih." lanjut Renjana membuat tawa mereka pecah saat itu juga, kecuali Ayah Bumi tentunya.

"Kok Ayah dikatain gembel sih?" kesal Ayah Bumi.

"Karena Ayah mirip gembel." kata Mahadewa enteng.

"Dih, kalo Ayah gembel, kalian anak gembel dong."

Laskar melototkan matanya, enak saja ia dikatan anak gembel, padahal 'kan ia adalah anak paling kaya disekolahnya!

"Kakak sama Adek aja kali yang anak gembel, Laskar 'kan anak Bunda yang uangnya banyak!" bantah Laskar.

"Uang Bunda itu dari Ayah ya!"

Laskar mengedikkan bahunya acuh, "yang penting Laskar dikasih Bunda."

Ayah Bumi mencibir pelan, lalu kembali fokus menonton kartun kembar botak yang tayang ditelevisi.

"Mau kemana Kak?" tanya Jendral saat melihat sang Kakak, Mahadewa, beranjak dari duduknya.

Mahadewa menunjuk ke arah dapur, "Ke dapur, mau ambil minum." Jendral hanya beroh ria.

Tak lama, Mahadewa kembali ke ruang keluarga, lalu berkata.

"Ayo mandi, disuruh Bunda." ajak si sulung.

"Ayo!" sahut Hepta.

"Adek mau Ayah mandiin?" tanya Ayah Bumi kepada si bungsu, Jiwa.

Jiwa mengangguk semangat, "Mau!" jawabnya antusias.

Semua yang ada diruangan itu terkekeh, merasa gemas dengan si bungsu.

Ayah Bumi menggendong Jiwa diatas bahunya, membuat Jiwa terkikik geli.

"Kakak, Jiwa terbang!" seru Jiwa memberitahukan para kakaknya membuat orang-orang yang ada diruangan itu kenbali terkekeh geli.

***

"Selamat makan." kata Ayah Bumi memimpin makan malam seperti biasanya.

Hepta menatap piring miliknya lamat, "Kenapa ada sayur?" gumamnya kecil namun masih bisa didengan oleh yang lain.

"Hepta gak mau sayurnya? Sini kasih ke Kak Jendral." ucap Jendral pengertian.

Hepta terdiam sejenak, dirinya memang tidak terlalu suka dengan sayur. Tapi Hepta merasa tak enak hati dengan Jendral dan Bundanya. Jendral selalu siap menampung sayur yang ada dipiring Hepta, padahal Bunda Senja memasak sayur agar Hepta dan yang lain sehat.

"Hepta?" panggil Jendral, bingung karena adiknya itu hanya diam saja.

"Eh iya? Gak usah kak, Hepta suka sayur kok."

Bunda Senja berkata seraya tersenyum hangat, "Hepta kalau gak suka sayur gak apa-apa, sayurnya bisa di singkirkan. Jangan dipaksa buat makan makanan yang Hepta gak suka."

Hepta ikut mengembangkan senyuman miliknya, "Hepta mau belajar makan sayur, kata Bunda 'kan makan sayur itu bisa bikib sehat."

Ayah Bumi yang sedari tadi menyimak percakapan seraya memakan makanan miliknya pun tersenyum bangga. "Anak Ayah keren, Ayah bangga sama Hepta."

"Jenggala juga mau makan sayur!" seolah tak mau kalah, Jenggala berseru dengan nyaring.

Semua yang ada dimeja itu, kecuali Jenggala tertawa gemas.

"Iya, Jenggala keren. Ayah bangga sama Jenggala, dan Ayah juga bangga sama semua anak Ayah."

Setelah itu mereka kembali melanjutkan makan malam dengan diiringi percakapan ringan serta canda tawa.

***

Setelah selesai makan malam, keluarga kecil Januarta itupun berkumpul diruang keluarga, menonton televisi bersama seraya bercerita banyak hal yang membuat ruangan itu terasa hangat.

Saking asyiknya bercerita dan bercanda, mereka baru menyadari kalau sekarang sudah memasuki pukul 10 malam.

"Ayo tidur. Coba lihat jam, udah jam 10 malam." ajak Bunda Senja.

Jiwa sudah tertidur pulas diatas sofa dengan paha sang ayah sebagai bantal.

"Oke Bunda."

"Selamat malam Ayah, Bunda, Kak Dewa, Kak Renja, Kak Jendral, Jenggala dan Laskar." kata Hepta, mata memerjap karena tak kuasa menahan kantuk.

"Malam juga Hepta."

Para anak laki-laki itu kembali ke kamarnya masing-masing. Sedangkan Ayah Bumi dan Bunda Senja menggendong Jiwa ke kamar mereka.

Ayah Bumi meletakkan Jiwa dengan lembut keatas kasur. Lalu dengan telaten Bunda Senja menyelimuti Jiwa hingga dada anak itu.

"Selamat malam, Adek." ucap kedua orang tua itu pelan, kemudian secara bergantian mengecup kening si bungsu.

Lalu mereka berdua keluar, menuju kamar anak lainnya, memastikan mereka satu-persatu sudah tertidur dengan nyenyak.

"Selamat malam, have a nice dream. Ayah dan Bunda selalu menyayangi kalian."

***

haloo, saya kembali setelah beberapa abad menghilang bagai ditelan bumi wkwk.

siapa yg kangen saya? atau kangen ayah Bumi dan bunda Senja? atau mungkin kalian kangen Mahadewa, Renjana, Jendral, Hepta, Jenggala, Laskar & Jiwa??

jangan lupa vote dan komen, atau kalo bisa bantu promosikan cerita ini juga xixixi.

tekan bintang dibawah untuk bab selanjutnya!

~27 mei 2024
skarynnn

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 27 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

7 ; Januarta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang