BAB 7 : Benih Rasa Itu Timbul

3 0 0
                                    


Kejadian semalam adalah malam yang akan aku kenang sampai kapan pun, Raga meluk Luna, dia bersandar dibahu Luna, Raga juga ngechat Luna. Ahh tidak bisa aku bayangkan lagi betapa Bahagianya aku malam tadi. Dan hari ini aku berharap Raga akan tetap sama.

Aku buka pintu rumah, berharap Raga sudah menungguku didepan rumah, tapi nyatanya Raga tidak ada, atau mungkin Raga masih belum bangun. Aku memutuskan untuk menunggu lima menit lagi, namun pada nyatanya lima menitku sia-sia.

"Loh, anak Mama kok belum berangkat?" Ujar Mama yang tiba-tiba saja membuka pintu rumah, hal itu berhasil juga membuyarkan lamunan dan rasa kecewaku kepada Raga.

"Iya, Ma. Ojolnya Luna belum sampai, nyasar kali ya?" Jawabku asal.

"Ngadi-ngadi aja nyasar. Ojol nggak bakalan bisa nyasar sayang, kecuali perasaan manusia terkadang salah ditempatkan jadinya nyasar deh." Deg.. pernyataan mamah tiba-tiba saja menamparku begitu saja.

"Mama apaan sih kok jadi puitis gini." Mamah hanya tersenyum menunjukkan giginya yang tersusun rapi dan bersih.

"Sekali-kali Mama puitis nggak papa dong, Lun." Aku hanya mengangguk mengiyakan apa yang dikatakan Mama saja.

Sebuah ojol sudah mendekat kearahku, sebelum Mama keluar dari rumah aku memang sudah memesannya. Tukang Ojol itu akhirnya berhenti dan menyapa kita berdua, kemudian menyerahkan sebuah helm khas berwarna hijau. Aku pun berangkat kesekolah dengan pikiran melayang memikirkan Raga. Apakah dia baik-baik saja setelah pertengkaran dengan Ayahnya semalam. Entahlah, yang aku ingat hanyalah sorot mata sendunya yang selama ini menjadi tanda tanya terbesarku. Pembahasan tentang Gara semalam juga mungkin membuatnya semakin kacau.

Sesampainya disekolah aku langsung membayar tagihan Ojol dan bergegas menuju keruang kelas Raga, ku cari dia namun tidak ada batang hidungnya disana. Hingga seseorang menyentuh pundakku, refleks aku memutar badanku dan sesosok laki-laki yang mungkin aku kenal sudah berdiri dihadapanku. Kalau tidak salah namanya Daniel, teman sekelas Raga.

"Nyari Raga?" mendengar nama Raga disebut aku langsung semangat menganggukkan kepala.

"Di kantin, barusan sih bilangnya gitu. Kayaknya belum sarapan deh tu anak. Padahal orang Ibu kota seharusnya sarapan roti dirumah aja cukup kan ya, tapi kok bisa-bisanya Raga malah belum sarapan. Apa..." belum selesai Daniel bicara aku langsung memotongnya.

"Terima Kasih, Niel." Ujar ku sembari berlari kearah kantin, samar-samar aku juga mendengar Daniel berteriak membenarkan nama panggilannya kepadaku.

"Daniel, Luna. Bukan Niel." Teriak Daniel. Padahal tidak ada yang salah dengan penyebutanku barusan, hanya saja dua huruf pertama di namanya tidak aku sebutkan saja, terlalu pangjang menurutku.

Sesampainya di kantin, tanpa susah payah aku langsung menemukan dimana keberadaannya Raga. Aku lalu bergegas mendekat kearahnya yang sedang makan soto Ayam khas sekolahku, dengan porsi sedengan dengan harga yang juga sedengan dikantong siswa SMA seperti kita-kita ini.

"Raga kenapa nggak nungguin Luna tadi?" Ujarku tanpa basa-basi, sementara Raga malah hanya menaikkan alis kirinya seakan bertanya-tanya.

"Kapan?" Tanya Raga tanpa rasa bersalah.

"Ihh Raga, tadi pagi lah, Raga nggak nungguin Luna, padahal Luna nungguin Raga didepan rumah." Cerocosku tiada henti, sementara Raga masih meneruskan aksi sarapannya sembari memperhatikanku bicara tiada henti.

"Emang kita janjian ya?" Jawabnya datar.

"Nggak sih." Jawabku pasrah.

"Ya udah, gua nggak salah dong, kecuali gua buat janji untuk antar jemput lo mah nggak apa-apa." Raga kembali meneruskan satu suapan sotonya sebelum ia berdiri hendak pergi dari kantin.

"Lo kan udah punya nomer gua, jadi chat aja kalau emang mau bareng gua berangkatnya." Ini nggak salah Raga bilang kayak gitu? Raga beneran mau nawarin tumpangan. Demi apa? Aku sudah tidak bisa lagi menahan rasa gembiraku. Bahkan aku tidak sadar jika Raga sudah tidak ada disisiku. Dia sudah pergi menjauh dari kantin, namun rasa bahagiaku masih tersisa bahkan semakin buncah.

"Ahhhhhhh INI BUKAN MIMPI KAN?" Teriakku hingga membuat satu kantin memperhatikanku yang heboh sendiri.

"Neng, sehat kan neng?" Ujar mamang penjual soto yang sedang mengambil mangkok sotonya di meja yang sedang aku tempati ini.

"Eh mamang, lagi enggak sehat mang. Pikirannya Luna dibawa Orang." Ujarku dengan penuh keceriaan dan kebahagiaan. Namun bukan mamang penjual soto yang menjawab, tetapi para siswa siswi yang sedang makan disana. Mereka serentak mengatak "Dasar Bucin" sembari berteriak, setelah itu mereka kembali melakukan aktifitas mereka menghabiskan makanannya.

***

"Kamu dicariin Luna tadi." Ujar Daniel saat melihatku tengah duduk dibangku tempatku biasanya duduk.

"Iya udah, tadi udah ketemu di Kantin."

"Sebenernya kamu ke Luna itu gimana sih, Ga?" Tanya Daniel yang semakin penasaran dengan perasaanku terhadap Luna.

"Sebenarnya gua juga bingung sih, Dan. Tapi semakin kesini semakin gua nyaman sama dia, dia kayaknya bener-bener tulus sayang dan suka sama gua. Dibalik gua benci sama dia, tiba-tiba timbul benih itu, Dan."

"Ya udah sih tinggal jadian aja, Raga." Ujar Daniel seenak jidatnya saja.

"Nggak segampang itu, Daniel. Butuh proses, ini kita lagi mau jalin hubungan bukan lagi beli somay yang tinggal pilih mau pakai saos kacang pedas atau nggak. Ribet." Daniel hanya menganggukkan kepala pura-pura mengerti apa yang aku katakan.

"Ya intinya jangan kelamaan ntar kamunya nyesel. Keburu dia diambil orang." Sekali lagi Daniel sok mengerti akan cinta, namun pada nyatanya pernyataan Daniel ada benarnya. Tidak sepenuhnya dia salah.

"Nantilah gua atur, tapi nggak bakalan kehilangan dia juga sih gua, soalnya kan Luna cinta mati ke gua," ledekku kepada Daniel.

"Dah mulai muka kepedeannya muncul." Sinis Daniel

"Loh seriusan ini mah."

"Terserah kamu dah Raga, gua ngalah biar mental aku aman."

Entah apakah aku akan berani menyatakan perasaan itu, namun ingin sekali aku mengatakannya, namun apakah aku akan diterima secara selama ini perlakuanku dengan Luna sedikit tidak mengenakkan hati. Apa dia masih mencintaiku, apakah rasa itu masih ada dihati Luna. Entahlah, kenapa aku menjadi over Thinking gini dah.

Ku lupakan dulu permasalahan ini, ku keluarkan materi catatanku sebelum akhir gurunya masuk kedalam kelas. Namun siapa yang menduga ternyata dari balik jendela kelasku ada sosok yang tidak kutahui keberadaannya sejak kapan disana, sosok yang esok akan merubah kisahku setelah ini, entah akan berakhir bahagia atau sebaliknya.


RagalunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang