"Emi!"
Dan aku tau apa yang akan terjadi selanjutnya.
Sebuah tangan merangkulku, yang menbuatku berjengit. Hanya satu orang di dunia ini yang masih saja melakukannya padahal dia sudah tau. Bahwa merangkulku hanya akan menyalakan sensor bahaya karena aku yang tidak suka dengan kontak fisik.
Siapa lagi kalau bukan Rasti, temanku.
Dan satu lagi.
Jangan pernah berpikir namaku yang sesungguhnya adalah Emily, sehingga orang-orang lebih suka memanggilku Emi. Nama itu terlalu kebule-bulean untukku yang berwajah lokal asli 100% Indonesia. Yah walaupun sekarang juga banyak orang tua yang memberi nama anaknya dengan julukan barat. Pengen go internasional juga mungkin? Entahlah.
Masa bodoh dengan nama go internasional.
Orang tuaku sama sekali tidak terpengaruh akan hal itu.
Yah namaku, K. Laksani. Dan tolong jangan tanya lagi apa kepanjangan K di situ.
Tolong
Jangan
Tanyakan lagi.
Oh tapi daripada aku dicap pembunuh karena membiarkan orang mati penasaran, lebih baik kuberi tahu saja.
Dan berjanjilah untuk tidak tertawa ataupun mengernyit keheranan. Lelah aku menghadapi respon semacam itu saat aku memberi tahu nama lengkapku yang sebenarnya kepada orang lain.
Jadi, namaku Kemilau Laksani.
Sesimpel itu? Memang. Tapi lihat kata pertama dalam namaku. Kemilau? Apanya? Wajahku? Ahahaha.
Namaku dan wajahku sama sekali tidak ada kaitannya. Wajahku biasa saja, tidak melebihi wajah seorang model remaja di cover majalah. Namun aku sepertinya mempunyai suatu kelebihan. Kelebihan hormon, sayangnya. Hal itu membuat ada saja jerawat yang seenaknya nangkring di mukaku.
Hal yang kuhindari selanjutnya yaitu ketika ada orang bertanya padaku, darimana nama Kemilau berasal. Masalahnya aku sama bingungnya dengan mereka.
Versi pertama, dari ibuku. Katanya saat aku lahir di malam hari, ibuku melihat ke luar jendela. Dan saat itu beliau melihat bintang yang berkilau dan berkelap-kelip di langit (yang akhirnya kuketahui bahwa itu bukan bintang asli. Itu hanya planet Jupiter yang memantulkan cahaya matahari). Akhirnya ibuku memberiku nama Kemilau agar aku bisa bersinar indah walau ada di kegelapan.
Versi kedua, menurut ayahku. Saat itu beliau mendampingi ibuku yang melahirkanku. Katanya waktu itu ibuku menunjuk cincin seorang suster yang lewat untuk membantu persalinan pasien lain. Menurut pendengaran ayahku, sambil menahan kesakitan ibuku menunjuk-nunjuk sambil berucap "Kilau.. Kemilau..". Ayah yang saat itu malah mengira bahwa ibu menginginkan cincin itu hanya mengangguk-angguk paham. Baru saat ibu mengusulkan nama Kemilau, ayah sadar. Mungkin ibuku menginginkan anaknya bisa berkilau seperti perhiasan yang selalu dicari semua orang.
Nah sampai sekarang baik ayah maupun ibuku, tidak mau mengalah ketika aku bertanya versi mana yang benar.
"Ibu yang mengusulkan namamu, Nak. Tentu saja versi ibu yang benar. Agar kamu selalu ingat filosofi bintang yang bersinar di kegelapan." Kata ibuku.
Ayahku tidak mau kalah rupanya.
"Hei tapi ayah yang melihat sendiri ketika ibumu menunjuk cincin sambil berkata Kemilau. Dan karena ayah kepala keluarga, jadi punya ayah yang benar."
(Penjelasan ayah agak nggak nyambung sebenernya. Apa hubungan nama dengan kepala keluarga?)
Ibu menyangkal, ayah membela. Selalu saja berdebat. Namun akhirnya mereka berbaikan dengan makan berdua keluar meninggalkan aku sendirian di tengah badai kebingungan.
Yaah begitulah akhirnya.
Nama Kemilau terlalu aneh buatku. Dipandang dari mana saja nama itu terlalu 'tidak normal' buatku. Dari sejarahnya, sampai wajahku yang benar-benar tidak cocok benar-benar membuatku frustasi.
Tapi aku percaya sesuatu.
Apalah arti dibalik sebuah nama?
KAMU SEDANG MEMBACA
Kemilau Cakrawala
Teen FictionAntara langit dan kilau bintangnya. Banyak tergantung mimpi dan asa dari seluruh makhluk di bumi. Inilah cerita dari seseorang yang menginginkan kehidupan normal. Walaupun ia tahu dirinya mempunyai nama yang memperlihatkan sisi ketidaknormalannya.