07. Hutan Naga Putih

145 42 80
                                    

"Gue lapar, Lya, katanya tadi pengen cari seblak," umpat Roy yang nampak sedang mengalihkan pembicaraan, berharap Zalya mengurungkan niatnya untuk masuk ke dalam hutan itu.

"Kalo gitu, lebih baik kita masuk ke hutannya sekarang." Gadis itu segera beranjak dari duduknya, melenggang pergi memasuki hutan yang dipenuhi pepohonan rindang.

Tidak ada pilihan lain selain mengikuti gadis itu pergi. Mereka mulai memasuki area hutan, cahaya dari sinar matahari mulai terasa redup ketika sudah berada di bawah pepohonan rindang. Hanya ada beberapa cahaya yang menerobos masuk pada sela-sela pepohonan.

Rumput beserta bunga-bunganya nampak mengayun anggun mengikuti arah angin, seolah menyambut mereka yang tengah berjalan di tengah-tengah jalanan setapak yang berbalutkan kerikil kecil di sepanjang jalanan tersebut. Sungguh tempat yang menenangkan bagi Zalya, desir angin yang sejuk, kicauan merdu burung-burung, serta suara aliran sungai yang tenang.

"Mereka ... mereka menyambut kita, mereka menundukkan kepalanya," ucap pelan Zalya sembari menunjuk ke arah kiri kanannya.

Tidak asing lagi bagi Roy mendapati sikap Zalya seperti tengah berhalusinasi, yang dengan jelas dia punya kemampuan untuk melihat sesuatu yang tidak bisa sembarang orang melihatnya.

"Mereka yang maksud kamu itu, siapa?" tanya Roy yang kini mulai menggidik ngeri.

"Banyak sekali, mereka baik. Ada yang lebih besar dari kita dan ada pula yang sebaliknya, anehnya ketika kita berjalan di tengah-tengah mereka, mereka menepi seolah memberikan jalan buat kita, lalu mereka menundukkan kepalanya!" jelas Zalya.

"Bukan hanya kali ini, tapi dulu ... dulu juga seperti ini, disaat aku di ajak kakek jalan-jalan ke hutan ini, aku mendapati mereka yang bertingkah sama seperti sekarang, berlagak sopan dengan menundukkan kepalanya!" Lanjutnya.

Langkah demi langkah, membawa mereka sampai ke tempat yang mulai kembali tersorot cahaya matahari setelah perjalanan singkat tadi yang sedikit gelap akibat tertutup banyaknya pepohonan rindang.

Hanya kumpulan batu, entahlah— semua itu nampak seperti bangunan besar yang hancur. Corak bebatuan yang cukup unik dengan berbagai ukiran yang yang sudah tak berbentuk, berlumut dan bahkan hancur berkeping-keping.

"Ini tempat yang kamu maksud itu?" tanya Roy, matanya menelisik sekitar dengan heran. Di mana letak keindahan dan ketenangan yang Zalya maksud? itulah pertanyaan yang tengah memenuhi relung kepala Roy.

"Aku merasakan berbagai ketenangan, kebahagiaan dan ... entahlah, rasanya tidak bisa dijelaskan melalui kata-kata." Gadis itu berjalan beberapa langkah untuk sampai pada reruntuhan batu tersebut, duduk di salah satu batu dan memejamkan matanya.

Tak lama, lelaki bermata elang itu ikut duduk di sebelah Zalya, menatap heran gadis di sebelahnya yang tengah duduk dengan mata yang terpejam— seperti orang zaman dulu yang tengah bertapa.

"Kerajaan Cahya Tunggal sangat mengganggu kerajaan Raksa Bumi kenapa harus berdiri di atas wilayah kami! Itu sangat mengganggu kerukunan kami. Kehancuran menanti Cahya Tunggal, kita anggap semuanya sebagai hutang. Bukankah nyawa harus dibayar nyawa, kehancuran harus dibayar dengan kehancuran juga. Dan satu lagi ... ingat! Setelah hari itu tiba, mau tidak mau salah satu keturunanmu akan saya ambil untuk dijadikan ...."

"Zalya ... Zalya ... bangun anjir!" ucap Roy seraya menepuk pelan pipi Zalya, gadis itu ternyata tertidur dengan kepala yang menyender pada pundak Roy.

"A-apa? Siapa?" gumam Zalya yang kini memegang kepalanya yang terasa berdenyut nyeri.

"Gila lo, bisa-bisanya ketiduran di hutan menyeramkan seperti ini," maki Roy.

ELLEZALYA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang