Cerita Ke Siapa?

1 0 0
                                    

Hujan musim panas, cuaca panas di pagi hari hingga siang hari. Kemudian sore berubah jadi hujan deras yang mengepung banyak orang. Orang-orang di jalan yang ingin pulang, atau orang-orang di rumah yang ingin ke luar. Lampu rumah lagi-lagi mati, dan gelap menjadi lebih pekat karena hujan yang membantu. Aku duduk di pojok ruang tengah. Di atas kursi dengan meja bundar hijau muda, membiarkan kertas-kertas berserakan begitu saja. Percobaan ke-19, untuk mendapatkan pekerjaan yang tidak sesuai dengan pendidikan yang ditempuh selama 4 tahun lebih.

Rasanya dingin, tapi juga panas. Keringat terus berjatuhan di atas kulit. Gemuruh menelan suara musik yang sengaja aku putar. Hari ini berlalu dengan baik-baik saja, seperti sebelumnya. Sedikit menangis, sedikit tertawa, sedikit merasa sakit kepala. Ketika duduk sendirian, ada banyak hal yang terlintas di kepala. Kemudian berharap yang terpikirkan ini bisa dibagikan dengan seseorang. Ya, seseorang yang akan duduk berjam-jam dan mendengarkan omong-kosong yang begitu melelahkan.

Apa aku pernah bercerita pada orang lain? Mungkin. Dulu sekali, ketika bercerita tidak menjadi hal yang menganggu orang lain. Menceritakan kejadian lucu di jalan, atau sekedar mengingat kembali masa-masa di mana cerita ini terjadi namun belum sempat dibagikan. Tapi pada akhirnya cerita untuk hari ini, tidak ada lagi cerita. Aku masih duduk dipojok ruang tengah. Memandangi pintu utama dengan tatapan kosong. Kepalaku bergerak pelan tanpa alasan. Cukup tenang hingga kepala ini mulai berat.

Tidak ada siapa-siapa di rumah ini. Hanya aku yang tinggal dengan hawa tidak menyenangkan. Hingga ketika suara hujan mulai melemah, aku mulai bersuara. Ini hari ke tiga aku belum berbicara apapun. Satu suara keluar, hanya untuk memastikan jika aku masih bisa bicara. Tangan menjulur di atas meja, dan kepala berbaring di atas lengan. Memandangi tembok kuning sambil membayangkan seseorang ada di sana.

Bercerita itu butuh orang lain untuk mendengar. Bagaimana jika aku hanya punya diriku sebagai pendengar? Aku hanya punya diri sendiri untuk menanggapi setiap ocehan tidak bermakna. Orang-orang bilang aku terlalu kaku, terlalu tertutup, terlalu susah digapai. Ketika untuk pertama kali setelah sekian minggu bersarang di kamar, aku keluar dengan sedikit berpakaian rapi. Ikut kemana kaki melangkah, melihat dunia yang ternyata berubah secepat kilat. Rasanya kemarin masih ada bangunan tua yang berdiri kokoh di jalan itu, kini sudah rata dengan tanah. Toko kelontong milik sepasang suami-istri kini sudah meluas hingga dua gedung. Tempat makan yang menyediakan makanan manis kini tutup.

Tidak jauh dari sana juga ada orang tua dengan kacamata tebalnya menatapku dengan rasa penasaran. Katanya selama ini aku ke mana saja, tidak ada yang aku tuju. Rumah dan kamar selalu menjadi bagian dari hidupku. Baginya ini kali pertama dia melihat orang sepertiku. Tidak pernah terlihat, orang asing yang datang dari negeri antah-berantah. Lain waktu, ketika aku bertemu saudara dari perantauan dengan salah satu saudaraku. Mereka mengira diriku si bungsu keluarga, padahal kenyataannya aku adalah si sulung yang tidak punya tujuan.

Ketika aku pulang sendirian dari rumah di kampung halaman, menuju rumah yang menjadi persembunyianku. Orang lain akan bertanya, kenapa? Tidak ada lagi jawaban, karena semuanya tetap aku pendam sendiri. Bercerita dengan orang lain itu menyenangkan, tapi kini terasa sangat melelahkan. Bukan untukku, tapi bagi yang mendengarkan ceritaku. Aku mungkin hanya menggelengkan kepala, lain halnya saat di rumah. Aku mulai merebahkan tubuh di atas kasur. Menggapai sesuatu yang tidak ada. Mulai menatap dengan tatapan kosong dan bibir seketika bergerak, bercerita.

Kenapa pulang terburu-buru? Jika aku katakan, aku selalu terbayang wajah ibuku, kira-kira bagaimana? Jika aku katakan, setiap hari rasanya wajah memohon ibu yang diikat pada rantai di kaki itu menghantuiku. Sentuhan tangannya pada jemariku, ciumannya pada telapak tanganku, dan permintaan tidak masuk akalnya di telingaku masih terasa hingga sekarang. Apa itu baik-baik saja bagi mereka yang mendengarkan ceritaku?

Tidak, kan?

Aku hanya punya diriku sendiri. Bercerita sendiri, menangis sendiri, tertawa sendiri, dan mulai tertidur pulas karena lelah. Hari ini dan hari seterusnya akan berjalan seperti itu saja. Aku bercerita tentang keinginan untuk menyentuh hobiku lagi, ingin mencoba banyak hal lagi, ingin menjadi versi terbaik dari diri sendiri.

Aku pernah coba untuk berani. Berani bercerita tentang apa yang sebenarnya terjadi pada diriku, tapi aku tidak sanggup menerima tanggapan atas ceritaku yang bahkan belum selesai. Aku belum menyelesaikan ceritanya, ini masih di awal halaman, bahkan baru bercerita satu kalimat pembuka. Nyatanya, komentar tentang ceritaku lebih panjang dari buku novel yang dibeli saudaraku tiga tahun yang lalu. Mereka pernah marah karena aku tidak mengatakan apapun tentang diriku, tentang masalah yang aku punya.

Namun, aku bisa apa? Aku selalu diberi harapan pada jalan yang mulus. Ketika kakiku mulai melangkah jalannya jatuh, rusak, dan tidak bisa dilewati. Cerita yang aku punya begitu banyak, saking banyaknya berakhir jadi cerita dalam hati. Aku sering menangis karena bercerita dengan diri sendiri, betapa menyedihkan hidup yang tengah aku jalani. Menjadi dewasa, menjadi anak pertama dengan harapan tidak melakukan kesalahan dan kegagalan.

Kamu harus begini, kamu harus begitu, kamu ini jangan begini, jangan begitu. Terlalu banyak informasi yang aku terima. Terlalu banyak kalimat yang harus disimpan. Padahal aku tidak bisa menyimpan apapun lagi. Semuanya penuh dengan emosi terpendam yang mengakar dan membusuk begitu lama. Sesi bercerita dengan diri sendiri, kemudian menangis sendiri dan berakhir menghibur diri sendiri. Semua dilakukan sendiri sekarang. Jika suasana hatiku berada pada kondisi baik, aku akan duduk di depan cermin di kamar. Tersenyum lebar pada pantulan wujudku. Bertanya tentang kabarku, mengatakan kalimat penenang yang ingin aku dengarkan, dan terakhir memberi semangat.

Waktu itu umurku 15 tahun, masa-masa di mana anak remaja akan berontak dan merasa dirinya tidak diinginkan. Di umur itu, aku menangis sendirian di tepi jalan. Memandangi tiang lampu di tepi jalan, dan tiba-tiba memeluknya dengan erat. Menangis kuat, memeluknya begitu kuat. Aku tidak tahu, apakah ada orang yang melihatnya atau tidak. Tidak peduli dengan tatapan aneh dari orang yang tidak sengaja lewat di jalan yang sama. Penyebabnya, tidak ada. Aku bahkan tidak ingat, kenapa aku memeluk tiang itu. Itu berlangsung tidak lama, sepuluh menit, mungkin.

Di tahun lainnya, untuk pertama kali aku punya ponsel genggam. Belajar  mengetahui apa saja kegunaan ponsel itu, dan mengetahui jika ia punya yang namanya perekam suara. Untuk pertama kali, aku mencoba berbicara dengan direkam, bercerita panjang hingga satu jam. Kemudian mendengarkan kembali rekaman itu. Lucunya, aku menanggapi obrolan, seakan-akan itu adalah pembicaraan dua arah. Apa aku kesepian? Tidak. Aku hanya terbiasa dengan kesendirian dan sepi itu sendiri. Apa aku seorang yang pemalu? Jawabannya juga tidak. Lalu kenapa aku seperti ini? Karena aku menjadi dewasa dengan tidak tahu apa yang aku lakukan di usia dewasa ini.

Aku masih duduk di sudut rumah dengan mata tertutup dan kepala terkulai lemah di atas meja. Membayangkan sesuatu, namun dalam kepalaku hanya ada gelap yang mengisi. Seperti ruangan ini yang gelap tanpa cahaya. Suara rintikan hujan yang perlahan reda, bunyi kicauan burung yang bersarang di atas atap. Ditemani obrolan dua bapak-bapak di depan rumah, suara mereka besar dan keras, tapi tidak mengusik sama sekali. Bibirku bergerak pelan, bertanya bagaimana rasanya? Aku diam, mencermati pertanyaan itu dan tetap diam.

Dalam diam itu tetanggaku akan muncul dan bertanya kenapa aku tidak menyalakan penerangan, kenapa aku bergerumul dalam kegelapan, dan kenapa aku terlihat seperti tidak memiliki minat untuk hidup? Dilanjutkan dengan anak kecil berusia 9 tahun yang tiba-tiba muncul dan memarahiku karena bunyi musik yang terdengar dari ponsel milikku. Dia akan merengek menangis dan memintaku untuk mematikan musiknya. Aku tidak ingin mencari masalah, namun terkadang aku suka menaikkan volume musik dan membiarkan musik itu memekakkan telinga dan berakhir dengan tangisannya.

Ya. Lalu aku melanjutkan kembali cerita tentang diriku dan tentang banyak hal yang terjadi pada diriku sendiri.

Jalan Yang RusakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang