Chapter 2 - Jebakan

122 12 1
                                    

Sinar matahari pagi yang hangat menyapa wajah Maissa, membangunkannya dari tidurnya di Sabtu pagi yang cerah. Ia menggeliat di atas kasur, merasakan semangat untuk memulai akhir pekan yang baginya mungkin akan menyenangkan. Hari ini, ia memiliki rencana untuk menemani ibunya untuk mengikuti acara reuni di salah satu restoran di bilangan Jakarta Pusat.

Maissa beranjak dari tempat tidur dan bersiap untuk pergi makan bersama ibunya. Ia memilih pakaian terbaiknya, ingin tampil dengan penampilan terbaik. Karena Maissa tidak ingin mengecewakan sang Ibu saat bertemu teman-temannya. Sebagai satu-satunya anak yang belum menikah, ia harus memberikan penampilan terbaik, agar orang-orang tua itu tidak berpikir bahwa Maissa tidak laku. Bukan tidak laku, tapi memang belum mau.

Hari ini Maissa membayangkan akan menghabiskan waktu yang berkualitas dengan Ibunya, senda gurau bersama orang-orang tua, mungkin sesekali bercerita tentang berbagai hal. Ia hanya berharap tidak ada satu pun hal yang akan membuat harinya menjadi bencana.

"Mbak Issa, ayo jalan mbak." Seru sang Ibu dari bawah tangga. Maissa mendengar panggilan itu, panggilan dengan intonasi yang membuatnya sedikit panik. Membuatnya merapikan isi tasnya dan bergegas turun menghampiri sang Ibunda.

"Sabar dong mih. Aku kan tadi lagi pake makeup. Nanti kalo aku jelek, kan mamih yang malu." Ucapnya dengan raut wajah yang menunjukkan kejengkelan.

"Abis kamu lama banget mbak. Mamih ini bisa telat. Kalo telat kan malu. Masa istri tentara telat, padahal anaknya yang memang lambat." Jawab sang Ibu sambil berlalu menuju mobilnya diikuti Maissa. Mereka duduk di bangku belakang, seorang supir yang bernama Fahmi kini terlihat rapi dengan baju safarinya mengemudikan roda empat itu dengan hati-hati.

Sesampainya disana, mereka menjadi tamu pertama yang datang pada acara. "Nah kan liat nih, kosong. Emang mamih aja yang lebay. Udah buru-buru malah yang lain lebih lelet dari siput." Maissa menghentakkan kakinya menunjukkan rasa kesal pada sang Ibu.

"Hush mbak jangan kaya gitu, malu. Tuh liat ada bu Rahman, ayo kesana." Masih dengan rasa kesal yang meradang, Maissa mengikuti keinginan Ibunya untuk menghampiri bu Rahman dan bertegur sapa. Saat berjalan Maissa melihat seorang pria yang ia kenali sedang duduk di sebelah perempuan paruh baya yang terlihat anggun mengenakan baju kemeja putih dengan bordiran berwarna merah muda. Maissa menghentikan langkahnya saat dia mengingat siapa pria itu.

"Mamih, itu ada Bang Rasyid. Mamih sengaja ya? Katanya gak ada? Mih, tolong mih aku gak mau di jodohin. Aku bisa cari pasanganku sendiri." Maissa menahan lengan sang Ibu menghentikan langkah mereka.

"Mbak, mamih beneran nggak tau ada Rasyid disini. Mamih nggak ada niat jodohin mbak sama Rasyid lagi. Tapi mumpung disini, ayo kita ngobrol-ngobrol aja mba. Mungkin pandangan kamu tentang dia sudah berbeda." Ucap sang Ibu dengan lembut diiringi usapan di punggung sang anak perempuan tercinta. Setelah helaan nafas yang panjang, mereka melanjutkan langkahnya untuk menghampiri meja.

Pria itu berdiri dengan semangat, senyuman yang lebar dari kedua ujung bibirnya terlihat nyata. Ibu Rahman menghampiri Ibu dari Maissa. Mereka bertukar sapa, menempelkan pipi kiri dan kanan layaknya sosialita. Hal serupa dilakukan pada Maissa.

Rasyid melihat keakraban itu dengan penuh suka cita. Ia mengulurkan tangannya, menjabat tangan Maissa dengan usapan di lengannya.

"Saira, sudah lama nggak ketemu. Masih ingat sama abang?" Ucapnya dengan senyuman.

Pria itu berdiri mengulurkan tangannya. Potongan rambutnya cepak yang rapi dan bergaya, dengan bagian samping dan belakang dipotong pendek, sedangkan bagian atas dibiarkan lebih panjang dan disisir rapi.

Badannya tinggi tegap, otot lengan terlihat jelas dibalik polo shirt warna putih yang ia kenakan. Sudah empat tahun mereka tidak bertemu. Mungkin pria ini sudah berpangkat Mayor, sama seperti kakak pertama Maissa.

Show Me The WayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang