~01~

16 3 0
                                    

"Bunuh dirimu."

Perlahan mata Amarie terbuka, penglihatan yang kabur pun mulai semakin jelas.

"Di mana ini, gimana bisa aku tiba-tiba di sini??" terucap olehnya dengan sakit kepala yang membuatnya sempoyongan.

Dalam keadaan panik, Amarie memandang sekelilingnya dengan kebingungan yang tak terkira. Di segala penjuru, api menyala dengan maraknya, gedung-gedung yang megah runtuh berkeping-keping, asap tebal menyelimuti langit, dan puing-puing berjatuhan menandai kehancuran. Orang-orang berlarian dengan kecepatan yang tak terbayangkan, seolah-olah mereka merasakan bahwa dunia ini akan hancur berkeping-keping hanya dengan getaran kecil.

"Apa yang terjadi di sini?"

Seperti kabut yang menyelimuti pikirannya, Amarie terperangah dalam kebingungan yang menggelegak. Emosinya berkelana liar diantara perasaan bersalah yang menggerogoti, ketakutan yang melilit, dan kemarahan yang membara. Kesedihan merayap di tepian matanya, mengalir sebagai sungai air mata yang menandai kehancuran yang teramat dalam di dalam dirinya.

"Apa ini?, kenapa tanganku berat...? Apa yang--"

Terperangkap dalam kebingungannya, Amarie terdiam, mata terpaku pada pemandangan yang mencekam. Ia menyentuh sosok di dekatnya, sosok yang seolah-olah tiba dari alam kelam dengan rambut abu-abu yang memudar, kulit pucat yang hampir tak bernyawa, dan luka-luka yang berdarah menyebar diseluruh tubuhnya. Dengan genggaman yang gemetar, Amarie memegang sesuatu yang menyerupai bilah pisau, yang terperangkap dalam tubuh kaku tersebut.

Kemudian, dunia sekitarnya berhenti bergerak dan waktu melambat. Tubuh Amarie membeku, terperangkap dalam momen yang kelam. Ditengah keheningan mencekam, dia mendengar teriakan memanggil namanya, sebuah seruan yang terdengar seperti jeritan yang mencoba mencapai jiwanya yang terjebak dalam keadaan yang tak bergerak.

"Dell... Dell? Bangun.., Amarie Adelia! Bangun!" Teriak Rania panik karena melihat sahabatnya seperti sedang mengalami mimpi buruk.

"Hah?! di mana ini? halo?" ucap lantur Amarie yang masih setengah tidur dengan muka pucat serta air mata yang mengalir.

"Hey tenang, kamu ada di kelas, ada apa? mukamu pucat lho, kamu sakit?" Rania dengan khawatir bertanya.

"Woi bodoh, jangan diganggu, orang lagi enak tidur tuh, liat aja sampe tumpah gitu liurnya HAHAHA," ejek salah seorang anak di kelasnya.

"Ini di mana... hah... Lucu banget! kalian liat ngga ekspresinya tadi?" saut seorang murid lainnya.

Suasana kelas dipenuhi tawa yang memperolok, membuat Amarie merasa malu sampai membuatnya lari meninggalkan kelas dengan cepat.

 Brak! pintu kelas dibanting menyisakan retakan pada dinding.

.

.

Dari atap gedung, Amarie melihat ke area sekolahnya dengan tatapan yang penuh renungan. Sambil bergumam, ia memperhatikan murid-murid sedang bermain dan mengobrol dengan penuh antusiasme, yang terlena dalam keseruan mereka.

"Kehidupanku di luar sekolah tidak berbeda ketika di dalam sekolah," gumam Amarie.

"Demi apapun, jika aku punya sesuatu yang membuatku meninggalkan kehidupan ini, akan kulakukan itu jika itu bisa membuatku terbebas," ucapnya sambil memandang sedu ke arah dimana anak-anak lainnya bermain. "Yang kuinginkan hanyalah hidup dengan tenang tanpa gangguan, apa yang salah dengan rambutku yang putih sebagian, gelang tua ini juga pemberian nenek apa salahnya dengan itu? seperti mereka tidak mempunyai hobi lain saja," lanjutnya dengan nada kesal.

"Nek... kalau nenek melihatku dari atas sana, harus apa aku sekarang? Janjiku hanya menjaga gelang ini, sampai kapan? aku ingin mati saja bertemu denganmu dan bermain di atas sana," ucap pelan Amarie sambil menangis memeluk pergelangannya.

terjerumus dalam kesedihan Amarie pun merasa ada yang janggal, apa yang dia lihat ketika tertidur. Apa itu benar-benar hanya mimpi? renungan itu terus bertebaran di pikirannya seperti buih air mendidih yang meluap keatas permukaan. Mendengar kata "WOY," membuat Amarie hampir terjatuh dari atap.

"Adel!! Kamu ngapain! bikin jantungan aja, ayo ke kelas!" teriak sahabatnya. "Kamu nangis?? kenapa matamu merah?"

"Ngga..., kemasukan badak, terimakasih sama seseorang aku hampir meet and greet sama nenekku, ngga usah khawatir Ran, ayo ke kelas aja," balas Amarie.

"Beneran?" tanyanya dengan ragu.

"Beneraaaaann... "

"Tapi kalo ada apa-apa harus cerita ya!" ucap sahabatnya.

"Iya-iya, okee."

Rania, dia sahabat Amarie hanya dia yang memanggilnya Adel, entah mengapa dia mau berteman dengannya disaat yang lain tidak ingin mendekatinya, Tidak terlihat apa motifnya atau hanya kepolosan semata. Indahnya pertemanan, tidak peduli dia siapa dia itu temanmu, bela atau khianati adalah kalimat yang menggambarkan persahabatan.

Begitulah adanya, angin dengan cepat menghembus, seolah membuang jauh semua masalah yang menghantui pada hari itu.

.

.

Waktu berlalu terlalu cepat, tiba-tiba Amarie sudah duduk di kelas esok harinya, apa-apaan ini,

Dan siapa itu yang berdiri di sebelah pak Anton, terlihat familiar...

Murid baru? yah paling tukang buli lainnya.

"Hey anak baru itu penuaan dini ya? rambutnya abu-abu Ahahaha" ejek salah seorang teman kelas

"Ternyata aku salah, korban lain telah masuk ke kandang hyena...," dalam benaknya.

Rambutnya abu abu?

________________________
makasih:)
-Riz

KARDIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang