~02~

9 2 0
                                    

Suasana sekolah menengah atas yang begitu tenang, dihiasi oleh hembusan angin sejuk yang membawa daun-daun terbang dan menari-nari di sekitar taman. Murid-murid berlari masuk kelas masing-masing seiring dengan bunyi bel yang menandakan sudah waktunya untuk memulai pelajaran.

"Anak-anak, duduk semuanya. Bapak ingin memperkenalkan teman baru kepada kalian, silahkan nak perkenalkan diri," ucap pak Anton.

"Hai, kenalin namaku Fariz Luca, panggil aja Luca, salam kenal ya semua."

"Baru sekolah diumur segini? ngga telat?, rambutmu sudah ubanan semua, ngga naik kelas berapa tahun tuh? ahahaha," ejek Peter sambil tertawa terbahak-bahak.

"Maaf, kalian bisa mengabaikannya, atau... copot aja mata kalian, ngga akan terganggu lagi kan," Luca mengatakannya sambil tersenyum.

Satu kelas pun terdiam, ucapan sarkan Luca sambil tersenyum membuat seisi kelas merinding, entah apa yang ada dipikiran teman kelasnya. tapi satu hal yang pasti, senyum Luca yang menawan dibumbui oleh sedikit tatapan tajam yang menusuk telah merubah drastis suasana kelas.

"Sudah-sudah, Kamu bisa duduk di bangku kosong belakang Amarie sebelah sana," ucap pak Anton menyudahi percakapan.

Luca berjalan melangkah menuju tempat duduknya sementara murid lainnya membicarakannya, mereka penasaran tentang dirinya, tetapi mereka ragu akan hal itu. Sementara pelajaran berlanjut seperti rutinitas yang membosankan.

Amarie menatap sekilas Luca yang berjalan di sampingnya, merenung  sesaat merasakan deja vu "Abu-abu? seperti tidak asing," pikirnya.

"Hey, jangan bahas rambut terus dong, kita bahkan belum saling kenal," ucap Luca dari belakang.

Amarie kebingungan dengan ucapan Luca, bagaimana tidak? Bisa mengetahui apa yang ada dipikiran Amarie dan membalas pikirannya. Amarie menatap aneh ke arah Luca, melotot sambil mengerutkan dahi. Serius, mukanya aneh sampai kalian mungkin tidak ingin membayangkannya.

"Hah? apa maksud dia? ngga mungkin yang dia maksud itu aku kan... ngga mungkin ada yang bisa baca pikiran kan," Amarie berpikir tidak mungkin ada yang bisa membaca pikiran, mungkin saja kebetulan pikirnya.

"Sudah kubilang untuk ngga berisik tentang diriku," balas Luca.

Dengan kalimat balasan yang terlontar darinya, Amarie yakin Luca memang bisa membaca pikiran entah bagaimana caranya. Amarie pun terdiam saja menatap Luca beberapa saat.

"Ekhem..., Amarie, kalo suka bilang, Pelajaran sedang berlangsung di sini!" Seru pak Anton.

"Eh? Baik pak!"

Seruan pak Anton membuat mereka kaget lalu berbalik untuk fokus kembali ke pelajaran.

.

.

Lucu, melihat bagaimana waktu berlalu begitu cepat. Bel menunjukan waktu untuk jam istirahat. Luca tampaknya sangat mudah bergaul, entah karena caranya berbicara atau karena dia yang berani untuk mengintimidasi pembuli. Tapi dilain sisi tampaknya dia tidak begitu senang mendapatkan perhatian yang begitu banyak dalam satu waktu. Justru, minatnya selalu mengarah kepada Amarie yang terlihat berbeda ketika Luca melihat Amarie sendirian.

Rasa penasaran Luca tidak tertahankan. Begitu ia melihat Amarie yang berjalan sendirian menyusuri lorong sepi dan pergi mengarah ke tempat yang ia tidak ketahui, ia pun mengikutinya dari belakang dengan menjaga jarak. Lorong demi lorong terlewati, sayangnya Luca dihadang oleh kelompok siswi yang mengajaknya berkenalan. Frustasi dengan itu, Luca pun kehilangan jejak. Namun, ditengah pencariannya Luca berpapasan dengan Rania dan tanpa sengaja mendengarkan isi pikirannya. 

KARDIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang