Titik Waktu #02

8 3 1
                                    

Setelah itu, Alan selalu menghindar saat aku mendekat—hanya mendekat, bukan mengajaknya berbicara. Dia bahkan terlihat membuang muka saat melihatku. Tentu saja aku merasa risih dengan sikapnya itu. Tapi kabar baiknya, rundungan dan cibiran dari teman-teman sekelas juga ikut berkurang. Terlepas dari sikapnya itu atau karena mereka ingin tobat.

Di sisi lain, aku benar-benar ingin bicara dengannya. Tentu saja tentang sikapnya yang berbanding lurus dengan apa yang terjadi padanya. Tatapannya bukan tatapan canggung, tapi tatapan kesal. Dia jadi lebih sering memperbaiki posisi kacamatanya, kapanpun dan dimanapun seakan dia mulai tidak nyaman dengan kacamata itu.

Saat aku datang kepagian, aku melihat Alan sedang menyiram tunas anehnya dengan tetes air. Dengan tidak tahu diri, aku berdiri di sampingnya dan mulai berbicara.

"Kamu sayang banget, ya, sama tanaman ini?" Celetukku. Alan tampak terkejut. Dia menutupinya dengan segera menegakkan tubuh dan memperbaiki posisi kacamata, "i-iya."

"Kalau boleh tahu, tunas tanaman apa itu?"

"K-kamu tidak perlu tahu," Alan menjawab ketus, kemudian segera berlalu setelah berujar, "j-jangan c-coba-coba me-menyentuhnya."

Tiba-tiba aku begidik mendengar suara laki-laki itu begitu dalam dan penuh ancaman. Aku berusaha menetralkan degup jantung yang berdisko ria karena terlalu khawatir. Selama ini aku maupun anak-anak lain tidak pernah mengganggu tanaman itu mengingat betapa anehnya makhluk itu.

Namun, bencana besarnya malah datang saat pulang sekolah.

Hari ini adalah jadwal piketku. Bersama tiga anak lain, kami mulai membersihkan papan tulis dan menyapu kelas. Saat melewati jendela tempat Alan meletakkan tanamannya, aku berhenti untuk memperhatikan lebih detail tanaman itu.

"Ater! Segera selesaikan piketmu! Kita akan ketinggalan bus!" Hellen berteriak dari depan pintu. Aku membalikkan badan dan berseru mengiyakan.

PYAAAAR!

Saat akan melanjutkan menyapu, lenganku tidak sengaja menyenggol tanaman itu dan membuatnya terjatuh. Pot kacanya pecah, tanahnya berhamburan di lantai, dan tanaman itu patah. Semua anak yang masih ada di kelas langsung menaruh atensi padaku. Tak terkecuali Alan yang ... menatapku murka.

"APA YANG KAMU LAKUKAN?!?!" Teriakan Alan mengejutkan seisi kelas. Kami semua terdiam. Alan berjalan menghampiriku.

"Aku sudah memperingatkanmu untuk tidak menyentuhnya," kulihat wajah Alan mulai memerah dan tangannya mengepal, "lihat ulahmu!! Bagaimana kamu akan bertanggung jawab?!?! Asal kamu tahu aku memeliharanya susah payah! Aku bahkan tidak bisa menumbuhkannya di rumah, dengar!!!"

Aku merapat ke dinding dengan muka ketakutan. Aku ingin sekali meminta maaf pada Alan, tapi lidahku sudah kelu dan pikiranku hanya fokus untuk tidak menangis. Kerena, sumpah, sikap Alan barusan benar-benar di luar dugaan. Aku yakin sekali laki-laki itu ingin memberiku bogem mentah. Tapi alih-alih begitu, dia memungut tanamannya dan menyimpannya di selembar sapu tangan sebelum pergi meninggalkan kelas.

"Wah, kalian lihat dia? Benar-benar menakutkan. Seharusnya dia menunjukkannya lebih awal." Celetukan Arthur barusan cukup mencairkan suasana. Tapi aku tidak mendengarnya. Dengan sigap aku mulai membersihkan pecahan pot dan tanah yang berserakan. Tanpa sengaja, aku melihat butiran-butiran putih di antara tanah yang kubersihkan. Dengan penasaran, aku memungutnya satu persatu dan memperhatikannya. Biji-biji.

Mendengar Hellen kembali memanggilku, aku buru-buru menyelesaikan piketku dan menyimpan biji itu.


***

ALAN & ARTHUR

Biological experiments new discoveries medicinal plants (BEND) diadakan sebagai ajang mencari ilmuwan muda terutama di bidang biologi. Setiap tahun, tema yang diangkat berbeda. Tahun sebelumnya, misalnya,  BEND mengangkat tema new discoveries of engineering fungus. Tema yang sangat menarik. Namun, Arthur masih dalam keegoisannya sehingga belum mendapat partner yang tepat. Namun, hari ini Arthur mengapresiasi dirinya sendiri karena telah merekrut Alan secara tidak resmi.

Pada awalnya, mereka memang sedikit bentrok dengan soal-soal esai tentang tanaman herbal sebagai babak penyisihan. Namun, meski bukan urutan pertama, mereka berhasil lolos ke tahap tanya jawab dan presentasi. Di sesi ini pun, mereka seolah berdebat sendiri dalam menyampaikan jawaban. Para juri hanya mengeluarkan dua pertanyaan. Tapi keduanya menjawab bak seratus pertanyaan. Kabar baiknya, juri memutuskan mereka keluar sebagai tim dengan skor tertinggi dan mendapat babak eksperimen khusus selama 3 hingga 7 hari.

"Setelah kupikir, kamu nggak buruk juga." Arthur menyeletuk saat keduanya mencuci tangan sesuai meletakkan potongan hasil kultur di tempat inkubasi. Eksperimen hari ini selesai. Mereka masih punya empat hari tersisa.

"Makasih. But, however, you're better." Alan menjawab santai. Setelah hampir dua minggu bergaul, Arthur dan Alan bisa lebih santai dalam mengobrol. Meskipun lebih didominasi debat.

Arthur tertawa kecil. Mendengar Alan berbicara campur aduk, kadang pakai bahasa Indonesia, Inggris, bahkan sesekali bahasa praaksara yang membuat Arthur melempar alas kakinya pada Alan, masih terasa asing di telinga Arthur. Pada akhirnya, mereka juga tertawa.

"Anyway, I'm curious about your 'bud'? Yang di kelas itu, what's the plant? It seems very important for you." Arthur sudah tidak tahan ingin menanyakan tentang hal itu.

"Aku jelasin pun, bakal s-susah dipahami. Intinya, itu bukan tanaman asli. Rekayasa genetik tapi dilakukan oleh alam. Alam secara alami membentuk pertahanannya sendiri. Itu salah satu produknya. Kalau sampai salah tumbuh, bisa berbahaya," Alan terdiam, menunduk sembari menatap air yang mengalir ke dalam wastafel, "aku khawatir ji-jika ada yang membersihkan tanah dan potnya."

"Ater yang membereskannya. Is there something wrong?" Arthur mulai tertarik dengan 'alam' Alan.

Laki-laki itu tampak terkejut. Dengan menghela nafas berat, dia menggeleng. Namun Arthur bisa melihat raut cemas di wajah Alan. Arthur menyusun kesimpulan sendiri seenak jidat, bahwa ada yang tidak beres dengan gadis itu.

"Eucalyptus deglupta, aku cukup thu tentang tumbuhan itu. Mungkin satu spesies dengan tanaman anehmu itu. Tapi yang kutahu, tumbuhan itu sama sekali tidak berbahaya, bahkan banyak yang menjadikannya tanaman hias. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan." Arthur berusaha bicara, meskipun nada bicaranya juga menyiratkan jika dia juga ikut khawatir.

Alan mengangkat wajahnya, menatap Arthur tajam, "k-kamu tahu betul maksud dari 'rekayasa genetik', kan?"

Kali ini, Arthur menarik sebelah bibirnya, mendecih,  "kalau begitu, kenapa tidak sekalian kamu jelaskan tumbuhan aneh itu? Kenapa yakin sekali jika tanaman itu berbahaya? Only read a bullshit science journals or have you proven it?"

Alan tampak menggeram kecil. Tapi dia buru-buru mengontrol emosinya dan menjawab datar, "someone will prove it."

***


Mari senam jempol dengan menekan tanda bintang di bawah ini (⁠。⁠•̀⁠ᴗ⁠-⁠)⁠✧

NATUREXILETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang