Mati lampu, #Magil.

940 84 8
                                    

Ada hal yang Kawamura Agil benci, yaitu hujan deras dengan petir yang menyambar.

Kalau hujan deras, pasti jaringan internet akan terganggu. Apalagi kalau ada petirnya!

Pemadaman listrik akan terjadi, dan membuat Agil gabut setengah mati. Seperti sekarang, hujan deras dengan petir menyambar membuat pemadaman listrik terjadi.

Agil cemberut, ia malas dan semakin malas karena sekarang ia tak tahu harus berbuat apa.

Jaringan tak ada, listrik mati. Ah, Agil ingin memaki rasanya.

Gelap. Netra Agil menelisik kamarnya, dengan langkah gontai menuju meja kaca. Dengan cepat, ia menyalakan senter dari ponselnya. Ia mengarahkannya ke laci.

Agil mengobrak-abrik isi laci itu, mencari lilin. Tak mungkin ia memakai senter ponselnya terus menerus sedangkan ponselnya hanya memiliki sisa baterai 10%.

"Cari apa, sih?"

Suara khas kekasihnya membuat Agil mendongak dan melompat kaget. Membuat kekasihnya, Makoto Takuma, tertawa terbahak-bahak.

Bagaimana bisa Agil tak akan kaget dan gemetar takut sementara kekasihnya menyenteri wajahnya sendiri. Dengan senter di arahkan ke dagu, membuat Agil mengira itu setan yang menyamar menjadi kekasihnya.

Duh, jangan percaya dengan Agil.
Ia hanya melebih-lebihkan, alay.

"Gila kali, itu ngapain nyenterin mukamu! Aku kaget," seru Agil, mengelus dadanya sabar.

Makoto terkikik, membuat Agil gemas.

"Penakut," ujar Makoto, menaruh lilin yang ia bawa di meja dan mematikan senter yang dipegangnya.

"Kamu yang penakut." sewot Agil, ia duduk kembali dan mematikan senter di ponselnya. Hemat baterai ponsel.

Sekarang hanya cahaya lilin yang menerangi kamar Agil dengan Makoto yang duduk di sebelah Agil, jendelanya dibiarkan terbuka. Lagipula hujannya tak akan masuk.

"Hawanya enak tau, Ay." ujar Agil sembari memeluk pinggang kekasihnya.

Makoto menengok kearah Agil kala pinggangnya dipeluk dari samping olehnya.

"Dingin," ujar Makoto, "tapi lumayan, suasananya tenang."

"Kalau menurutku sepi," ujar Agil.

Makoto berdecak. Ia menjambak surai milik Agil, membuatnya mengaduh sakit.

"Itung-itung Quality time, Gil." ujar Makoto sembari mengelus surai Agil.

Agil menutup matanya dan mengangguk tipis, membuat Makoto terkekeh geli.

"Tadi waktu belum mati lampu, aku buat toast. Kamu laper, 'kan?" tanya Makoto, membuat Agil mengangguk.

Agil membuka matanya dan beranjak dari kasur, membuat Makoto berdecak kala ia merasa digendong.

Agil menggendong Makoto ala bridal, dengan perlahan menuruni tangga. Sebenarnya Makoto ingin memarahinya, tapi dirinya saja sudah merona.

Setelah diturunkan di lantai bawah, barulah Makoto mengomel seperti ibu-ibu.

"Kamu ini, kalau mau gendong bilang-bilang! minimal izin, tau gak?" omel Makoto, membuat Agil dengan malas memeluk pinggang Makoto dari belakang. Dagunya bertumpu di pundak kanan milik Makoto.

"Iya. Mana toast-nya, sayang? suapin, please." ujar Agil.

Makoto merona merah, sangat merah.

"Apa, sih? kamu bisa makan sendiri, 'kan?" amuk Makoto, mencubit perut Agil membuatnya tertawa terbahak-bahak.

Makoto berdecak kesal, mulai berjalan menuju dapur. Tentunya dengan Agil yang masih memeluk pinggangnya.

"Gil, minggir dulu."

Agil abai, masih memeluk pinggang Makoto dengan santai.

"Agil." peringat Makoto, tangannya sudah siap untuk mencubit kekasihnya itu.

"Gelap, sayang. Aku takut,"

Gumaman Agil membuat Makoto berdecak kesal, ia mengambil sepiring toast dengan cemberut.

"Duduk dulu, nanti baru peluk lagi." ujar Makoto tajam, membuat Agil segera duduk.

Cengiran milik Agil membuat Makoto ingin menonjok rahang kekasihnya itu, ia menaruh piring berisi toast ke meja ruang tengah.

Jangan heran kenapa mereka bisa mesra-mesraan, bahkan Agil bisa gendong Makoto. Di dapur ada dua lilin yang menyala, dengan senter menghadap ke arah tangga lantai kedua. Sementara di ruang tengah ada dua lilin di meja, dengan dua jendela terbuka.

Suasana mulai tenang kala Agil fokus makan dan Makoto fokus dengan ponselnya. Selesai makan, Agil langsung tiduran dengan paha Makoto sebagai bantalan. Tentunya membuat Makoto berdecak malas.

"Kamu tuh abis makan, duduk dulu. Gak bagus, Gil." tegur Makoto, membuat Agil yang akan memanggil kekasihnya dengan nada lembut itu terhenti.

"Iya, ntar. Liat aku dong, Yang. Cantikku, sayangku," ujar Agil, membuat Makoto menunduk menatapnya dan mematikan ponselnya.

Agil tersenyum tipis, mencuri ciuman di bibir milik Makoto. Makoto melirik sinis, dengan rona merah tipis di pipinya.

"Aku bersyukur banget aku punya kamu, kenapa? karena kalau liat kamu tuh, aku ngerasa kuat lagi waktu aku lemes. Terus, I found a reason to be myself. Karena aku dicintai,"

Bisikan Agil yang lembut membuat Makoto tak jadi mengamuk, ia menatap kekasihnya yang menatap lembut wajahnya. Pipi Makoto memerah, hatinya berdebar.

Tahu tatapan orang yang sedang kasmaran? Ya, seperti itu tatapan Agil sekarang.

"Kamu perfect banget, aku bahkan sempet overthinking kalau semisal aku ditolak kamu. Kamu itu baik, manis, cakep. Duh, aku gak ada alasan buat cintai kamu, soalnya alasannya tuh banyak kalau dijabarkan." ujar Agil, ia terkekeh kecil kala melihat kekasihnya terdiam dengan pipi yang merona.

"Kayak kata Andra and The Backbone, Di mataku kau begitu indah. Kau membuat diriku akan selalu memujamu." lanjut Agil, mencium kening Makoto, lalu bangkit dan berjalan ke dapur untuk menaruh piring.

Sementara Agil menaruh piring, Makoto menutup mukanya yang sudah merah seperti kepiting itu.

"Agil, kalimatmu kayak buaya jamet, tau gak!" seruan Makoto dari ruang tengah membuat Agil tergelak.

Ini salah satu hal yang Agil suka kalau mati lampu, soalnya ia bisa mengisengi kekasihnya dan melihat wajah kekasihnya yang merona dengan cahaya lilin. Indah banget.

Jadi kalau mati lampu, ia tak akan feeling lonely, karena ia akan sepenuh hati mendekap tubuh kekasihnya dengan erat sampai Makoto mengamuk dengan pipi meronanya.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Love.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang