I

5.4K 444 11
                                    

1. Karena Sudah Terkabul, Maka Ubahlah!

Edith memaksakan diri agar bisa segera membuka mata, dan ia sangat amat bersyukur karena pemandangan pertama yang dirinya lihat adalah langit-langit kamarnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Edith memaksakan diri agar bisa segera membuka mata, dan ia sangat amat bersyukur karena pemandangan pertama yang dirinya lihat adalah langit-langit kamarnya.

'... Berhasil! Aku berhasil!'

Ini merupakan sebuah keajaiban.

Ya, bisa memutar waktu untuk merangkai ulang kisah hidupnya kembali merupakan keajaiban.

Tapi jangan anggap ini sebagai sebuah keberuntungan.

Sebab, kesempatan ini Edith membuatnya sendiri. Dia tidak beruntung, sama sekali tidak. Kesempatan ini adalah hasil dari tangis dan darahnya.

Jadi jangan beranggapan bahwa, "Wah, kau beruntung sekali! Kau bisa memperbaiki kesalahanmu dan menebus penyesalanmu dengan kembali ke masa lalu karena Tuhan sangat menyayangimu."

Bukan!

Edith membenci Tuhan. Sangat membenci-Nya karena ia selalu merasa ditinggalkan dan disakiti. Edith percaya bahwa hidupnya selalu pedih dan biru karena Tuhan tidak pernah adil kepadanya.

"Jika aku juga makhluk ciptaan-Nya, kenapa Dia jahat sekali kepadaku? Kenapa hidupku sengsara seperti ini?"

Pemikiran itu tidak pernah berubah. Edith masih konsisten sejak kematian orang tuanya hingga detik ini.

Sudahlah, Edith malas memikirkan soal Tuhan. Karena itu, lebih baik ia kembali pada tujuan utamanya saja.

Karena sudah terkabul, maka ubahlah!

Oleh sebab itu, dengan tergesa Edith turun dari ranjang tempat tubuhnya berbaring kemudian berjalan cepat meninggalkan kamarnya.

Ia tidak peduli sekarang tanggal, bulan, atau tahun berapa. Ia tidak peduli ia telah kembali ke masa lalu bagian apa dan ini hari apa.

Daripada memusingkan seberapa banyak hal-hal yang harus dirinya ubah sebelum malapetaka pecah, untuk saat ini ia hanya memikirkan hal mendasar yang paling sederhana.

Tujuan kakinya melangkah hanya satu, yaitu untuk menemui suaminya. Tidak peduli akan ada di mana pria itu sekarang, sekalipun ada di ujung benua, Edith tidak akan ragu untuk menghampirinya.

***

"Tuan Count berkata jika beliau sedang sibuk, Nyonya. Jadi, lebih baik anda kembali."

Selama ini Edith selalu menghiraukan eksistensi Julian. Ia bahkan selalu berusaha menghindarinya sebab ia terlalu membenci suaminya itu. Oleh karena itu, Edith tidak pernah tahu jika ternyata suaminya juga sama-sama menghindarinya.

Edith menatap juru bicara Julian—sekretaris pria itu—dengan mata menyipit, tidak percaya.

"Aku tidak akan banyak menyita waktunya. Hanya lima menit. Ini penting," ujar Edith.

Pria itu, Bastian White, menatap istri tuannya dengan ragu-ragu, bingung harus bagaimana. Kata-kata siapa yang harus ia patuhi? Sang Countess atau Tuan Count?

Bastian merupakan salah satu pekerja manor yang berharap jika kedua majikannya memiliki hubungan pernikahan yang harmonis.

Karena itu, melihat sang nyonya rumah memiliki inisiatif untuk menemui suaminya lebih dulu membuatnya sedikit bergembira.

Namun, kegembiraan itu langsung sirna ketika Bastian kembali mengingat kejadian dua bulan lalu.

Kala itu Edith menerobos masuk ke ruang kerja Julian lalu melemparkan surat cerai. Namun, karena Julian menolak menandatanganinya bahkan mengusir Edith dari ruangannya, Edith kemudian membuat keributan besar.

Adu argumen sengit keduanya berujung pada Edith yang mengamuk. Entah ada berapa banyak guci mahal yang pecah dan furniture yang hancur karena luapan emosi wanita itu.

Jika sekarang Bastian mengabaikan kata-kata Julian dan mempersilakan Edith masuk ke ruang kerja, apakah ada jaminan jika insiden itu tidak akan terulang lagi?

Karena selama ini Bastian tidak pernah melihat Edith ingin akur dengan suaminya. Sebaliknya, wanita itu justru selalu marah pada Julian apa pun alasannya, sekalipun pria itu tidak melakukan kesalahan kepadanya.

"Kekhawatiranmu tidak akan terjadi. Aku berjanji."

Isi kepala Bastian tergambar jelas melalui raut wajahnya, jadi mudah bagi Edith untuk mengetahuinya.

"Aku hanya ingin minta maaf kepadanya, dan menyampaikan beberapa hal penting," imbuh wanita itu lagi, membujuk Bastian.

Kalimat persuasif itu berhasil mengenai sasaran. Karena hampir tidak pernah mendengar Edith berbicara dengan nada yang halus kepadanya, seperti saat ini, Bastian pada akhirnya jadi terbujuk.

"... Saya akan membukakan pintunya."

Bersamaan dengan Edith yang mengangguk, Bastian pun merealisasikan kata-katanya—membuka pintu ruangan yang semula ia punggungi.

Namun, tiba-tiba pintu ruangan itu tidak bisa dibuka.

"N-nyonya ..." Bastian melirik Edith dengan nyali mendadak ciut.

Sebelum Edith datang, Bastian ada di dalam ruang kerja bersama majikannya. Dan ketika Edith tiba, barulah Bastian keluar untuk menanyakan maksud kedatangan Edith.

Itu baru beberapa menit yang lalu.

Karena Bastian tidak merasa pernah mengunci pintu apalagi sang Count masih berada di dalam sana, itu berarti, pasti Julianlah yang mengunci dirinya sendiri dari dalam.

"... Pintunya terkunci," imbuh Bastian lagi, mencicit takut-takut.

Kalimat singkat itu membuat Edith tertegun ketika mendengarnya.

'Sebesar itukah keinginannya untuk tidak bertemu denganku? Aku tidak pernah tahu kalau Julian membenciku.'

Lamunan itu tidak berlangsung lama karena beberapa detik setelahnya Edith berjalan melewati Bastian kemudian buru-buru mengetuk pintu di hadapannya.

"Julian, buka pintunya! Aku ingin bicara," ujar Edith lantang, berharap suaranya bisa terdengar hingga ke telinga pemilik nama.

Tidak terdengar sahutan dari balik pintu, tapi hal itu tidak serta-merta membuat Edith menyerah. Ia terus mengetuk pintu besar di hadapannya seraya tak bosan-bosan mengubar kata-kata persuasif agar Julian mau membukakan pintu untuknya.

"Kumohon, Julian. Sebentar saja. Ya?"

Bahkan setelah nada bicara Edith melunak, Julian masih belum juga menanggapi.

Sebenarnya, Edith bukan orang yang bisa bersabar. Ditambah lagi ia pernah membenci Julian setengah mati. Karena itu, pengabaian ini benar-benar menyakiti harga dirinya dan memangkas habis kesabarannya hingga tak tersisa.

Menahan diri untuk tidak memaki Julian selama lima menit adalah pencapaian terbesar Edith sejauh ini, itupun dirinya sudah bersusah payah.

Karena itu, sekarang ia tidak mau menahan dirinya lagi. Persetan dengan jalur damai! Kalau Julian tidak bisa diajak bicara baik-baik, Edith akan kembali ke setelan awal.

Sembari mendengus kasar, Edith mulai menggedor-gedor pintu ruang kerja Julian dengan berapi-api kemudian berteriak.

"JULIAN, KUBILANG BUKA PINTUNYA, SIALAN!"

Namun, sang pemilik nama tetap konsisten—tidak menghiraukan istrinya itu.

Dan hal ini terus berlangsung selama beberapa waktu sampai akhirnya Edithlah yang menyerah lebih dulu.

.

.

Bersambung.

Won't Get Divorce!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang