Menerima

72 18 3
                                    

Sebuah hangat yang biasa Hasta impikan, kini tak akan pernah hadir. Waktu demi waktu ia tunggu hanya sekedar menunggu kehangatan yang setidaknya hinggap dihatinya. Dan dihari itu, Hasta menyadari bahwa itu semua hanya angan-angan lama yang tak kunjung tergapai.

Menikmati hembusan angin malam yang lewat menyapa permukaan kulitnya, Hasta dengan pikirannya duduk termenung disebuah kursi panjang yang memang sengaja Hendra letakkan dibelakang rumah.

Hasta merasa nyaman berada di sana, walau rumah Hendra masih terasa asing bagi Hasta, ia suka dengan suasana rumah Hendra yang tenang dan sepi.

Untuk kaum yang lebih menyukai tempat sepi seperti Hasta, rumah Hendra mungkin menjadi rumah kedua bagi Hasta setelah kamarnya dirumah.

Pada gelapnya malam yang dipenuhi beribuan bintang, terbentang dilangit dengan penuh cahaya yang bergemerlapan menyinari sorot mata laki-laki dengan kemeja putih dan kancing terbuka yang tak ia tautkan. Menikmati secangkir kopi hitam buatan Hendra yang duduk disebelahnya termenung didepan kolam.

"Hasta, Om boleh bicara?" ucap Hendra membuka percakapan disamping Hasta yang tengah menatap langit yang gelap.

"Boleh," Hasta tersenyum tipis menatap manik Hendra, dari sorot mata Hendra yang tampak sedih dapat Hasta tau, bahwa Hendra akan bercerita tentang hal yang menyakitkan.

Sebelum Hendra berucap, Hasta menarik nafasnya pelan, menghindari kontak mata dari pria yang lebih tua darinya. Kaki jenjangnya ia ayunkan sedikit dengan tangan kedua tangan yang ia genggam dihadapan perutnya itu.

"Mungkin Hasta kira Hasta anak tunggal, ya? Dulu, saat Hasta dilahirkan, Hasta lahir bersama Hesa, Hasta lahir lebih cepat dari Hesa, dan disaat itu juga, Istri om melahirkan anak tapi ia mendahului om dan tante. Disaat saat itu rasanya semesta gak berpihak lagi ke om, hati om... Hancur sekali... Saat om mau pergi menenangkan diri, om ketemu bapak kamu, Ta. Bapak kamu bingung, ekonomi keluarga nya cukup buruk, tetapi Tuhan memberikan mereka dua anak. Lalu, om menawarkan untuk merawat salah satu dari anak mereka, dia Hesa, Ta. Adik kembar 5 menit dari kamu," Hendra menarik napas panjang setelah berucap panjang lebar, matanya berlinang air mata yang mungkin dalam sekedipan pipi kering itu menjadi basah oleh air mata Hendra sendiri.

"Maafkan om, Hasta." Tangan berurat itu memegang lengan Hasta yang masih sibuk memandangi gemerlapnya langit malam, Hasta tak bisa berkutik ditempatnya, ingin menangis juga bukan haknya, ingin meraung marah juga bukan haknya.

"Om tau gak kalau selama 18 tahun Hasta hidup, aku gak pernah diucapin selamat ulang tahun sama ibu, bapak. Hasta gak tau arti bahagia yang sebenarnya om." Dunia yang setibanya tampak sedikit berwarna kini telah hilang warna nya, Hasta ingin pelukan untuk menemani hari-harinya.

Sekali saja, peluk dia untuk sekali ini. Hasta sudah tidak kuat dengan semua tantangan hidup yang ia hadapi. Katanya bila diberi ujian hidup yang berat, dia akan menjadi kuat. Bohong, Hasta tidak sekuat itu, Hasta juga manusia, ia juga membutuhkan sosok orang yang selalu mendengar keluh kesah, memberikannya pelukan ditiap-tiap detik yang ia laluinya, hanya untuk sekali saja.

Kopi yang semulanya panas pun mulai menjadi dingin setelah obrolan dimalam hari itu, juga dengan Hasta yang sedari tadi tidak bisa tidur pun kini rasa kantuk menghampirinya.

Dengan tangan yang masih sibuk bermain jemari tangannya, Hendra menepuk pundaknya, memberi isyarat untuk segera mengikutinya. Hasta sendiri tidak tau apa tujuan Hendra, tetapi ia hanya bisa ikut karna tidak tau apa yang ada diisi pikiran lelaki tua dihadapannya ini.

Hasta melangkahkan kakinya hingga sampailah ia disebuah kamar dengan nuansa monokrom yang entah terasa sangat asing bagi seorang Hasta, meminggalkan Hasta seorang diri, Hendra berjalan keluar dari ruangan itu.

Cerita HastaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang