Gerimis kala itu

77 17 0
                                    

Hasta terbilang sudah tinggal dirumah Hendra selama satu minggu, dan selama satu minggu itu ia tak bisa mendekati saudara kembarnya itu. Entah mengapa, seolah Hesa membentangkan tembok besar yang Hasta sendiri tak bisa menggapainya.

"Kita 'kan saudara, Sa."

"Gua masih butuh waktu, Ta."

Waktu? Perlu berapa lama agar Hasta sembuh? Semuanya berawalan dari terpaksa, dan mulai terbiasa. Setidaknya berikanlah satu titik harapan bagi Hasta agar dapat lebih dekat pada saudara kembarnya.

Seperti pagi ini, Hasta pergi kesekolah dengan sepeda yang baru dibeli Hendra kemarin, tetapi Hendra dan Laras pergi keluar pagi-pagi tanpa memberitahu mereka berdua.

"Hesa, gua pamit sekolah dulu ya." Hasta mendirikan tubuhnya setelah berjongkok sebentar menali sepatunya, Hesa yang masih sibuk memakai seragam hanya melirik sinis tanpa berucap sepatah kata pun.

"Mau lo ada gak ada kek gak bakal berubah, Ta." Hesa menatap tajam kearah sang saudara dengan tatapan meremehkan, lalu ia beranjak pergi dari sana meninggalkan Hasta sendirian.

Hasta hanya terdiam ditempatnya, memang sakit... tapi Hasta juga menyadari bahwa kehadirannya juga luka bagi orang lain, hanya satu kata yang dapat Hasta keluarkan dari bibirnya, "Maaf."

"Maaf lo gak bakal merubah keadaan," jawab Hesa dari belakang tanpa menoleh sedikitpun kearah Hasta yang berdiri tegap dibelakangnya.

Hasta memilih segera pergi, untuk apa ia keluarkan maaf bila tak ada yang memaafkan? Untuk apa ia merasa ada padahal tak dianggap? Untuk apa ia merasa beruntung padahal kehadirannya luka bagi orang lain? Untuk apa ia memilih banyak masa depan padahal ia tak diharapkan lahir?

Tak ingin memperpanjang masalah, Hasta mengayunkan kakinya dengan lihai setelah berpamitan juga pada asisten rumah tangga Hendra.

Menikmati udara pagi, hangatnya sinar mentari, burung yang berterbangan sana-sini, angin yang berhembus menerbangkan rambut tebal Hasta diatas sepeda.

Bangunan SMA Hasta sudah terlihat dari tempatnya berada, banyak pemuda yang masih asik duduk didepan sekolah, berbincang dengan satpam, dan banyak juga anak muda yang saling menjemput satu sama lain. Walau tak pernah merasakan, Hasta senang berada di SMA Birusa, setidaknya ia dianggap disana.

Sepeda itu ia parkir dipojok jauh dari sepeda-sepeda murid lain, sengaja agar ia mudah menemukannya dari kerumunan sepeda siswa-siswi.

Dari sudut matanya, tampak seorang pemuda yang berdiri didekat gerbang menatap lekat manik Hasta.

Sorot mata anak itu tak bisa Hasta artikan, tatapan asing yang belum pernah Hasta temui sebelumnya, anak itu semakin memajukan langkahnya mendekatkan dirinya pada tempat Hasta.

"Has," Anak itu menyeret tangan Hasta pergi dari sana, Hasta hanya mengikuti langkah kemana anak itu membawanya, hingga ia terhenti disebuah taman sepi yang jarang dilewati oleh murid sana.

"Lo ...., tinggal dimana sekarang?" tanya pemuda itu yang membuat Hasta terdiam sebentar sebelum bibirnya kembali berucap, "Lo gak perlu tau, Rak."

"Kenapa gua gak boleh tau hidup lo?" Raka meninggikan suaranya dihadapan Hasta yang menatap sayu maniknya, anak itu merapatkan bibirnya. Raka mengelus bahu Hasta, hanya Raka yang mengerti keadaan Hasta saat ini.

Bila dapat Hasta ceritakan, Hasta itu bagai teman terbaik. Sayangnya, ia jarang berada disamping Hasta saat terpuruk. Tidak, Hasta tidak menyukainya, Hasta mengerti keadaanya dengan Raka itu berbeda.

Raka menderita penyakit yang sering menjadi alasan ia jarang masuk sekolah, berbeda dengan Hasta—hingga mereka pun jarang berkomunikasi.

Hasta memilih menghiraukan pertanyaan Raka dan melangkah mundur menjauh dari tubuh si pemuda. Bahu tegap itu tampak tak bersahabat dengan mental Hasta, setegap apapun, Hasta tetap runtuh, ia tak akan bisa bangkit.

Cerita HastaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang