Bab 1 : Hasutan Paman Ganda

1K 49 7
                                    


Cerita yang teramat membekas ini terjadi sekitar  tahun 2001 atau 2002, lupa persisnya. Seingatku waktu itu aku masih berusia sekitar 10an tahun dan duduk di kelas 4 SD. Saking membekasnya, cerita ini masih terbayang hingga aku dewasa dan telah berkeluarga. Sebuah peristiwa aneh, ganjil, sekaligus mengerikan hingga merenggut nyawa dan membuat gempar orang satu kampung. 

Tragedi merenggut nyawa ini bermula dari ulah seorang warga yang angkuh, yang begitu lancang mengucapkan sumpah palsu di hadapan tetua adat. 

Waktu itu aku tinggal di sebuah desa terpencil di pedalaman kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. Jumlah penduduknya teramat dikit, hanya 40 KK. Selain itu, jarak desa dari ibukota kabupaten lumayan jauh. Melalui jalur darat harus ditempuh sekitar 6 jam. Itupun kalau cuaca cerah. Tapi kalau hujan, bisa-bisa harus menginap di hutan lantaran permukaan jalan telah berubah menjadi bubur tanah liat. 

Melewati jalur sungai lebih gila lagi. Bisa belasan jam menggunakan kapal bandong yang bak rumah berjalan di atas sungai. Belum lagi harus transit beberapa kali serta berjalan kaki seharian dari kampung terakhir dimana kapal menurunkan penumpang. Bisa dibayangkan betapa terpelosoknya kampungku kala itu. Maka tak heran adat istiadat masih kental di tempat kami. 

Kejadian nahas ini bermula dari suatu sore yang cerah. Sebagai anak perempuan tertua, aku membantu mamak beres-beres rumah. Sedangkan kedua adik tengah asyik bermain mainan yang dibuat sendiri oleh bapak dari potongan kayu dan papan. 

Sebenarnya aku masih punya dua orang kakak, satu laki-laki dan satu perempuan. Namun mereka sudah berkeluarga. Kakak laki-laki bekerja di kota dan kakak perempuan ikut suaminya di kampung lain. 

Sore itu bapak belum pulang. Sudah seharian ia pergi ke hutan mencari kayu bakar, karena kami masih menggunakan tungku untuk memasak. 

Aku dan mamak yang sedang sibuk tiba-tiba dikagetkan dengan suara menggelegar dari luar rumah, memanggil-manggil bapak. Mamak bergegas ke depan, ternyata paman Limin, tetangga kami. 

“Bik, mana paman Andung? Mau numpang motong ujung parang,” seru paman Limin. 

“Suamiku sedang pergi cari kayu bakar, sekalian periksa jerat. Kalau mau, kau potong saja sendiri. Perkakasnya di samping,” sahut ibu. 

Paman Limin beranjak ke samping rumah, mencari alat pemotong di antara tumpukan besi yang berserakan. Memang dahulu bapak adalah penempa besi yang lumayan punya nama. Kecuali keris, semua benda tajam di rumah ditempa sendiri oleh bapak. Mulai dari pisau, parang, hingga mandau. Namun itu dulu, sewaktu bapak masih kuat menempa. Sekarang pisau dapur pun terpaksa beli. 

Dari dalam rumah terdengar suara paman Limin sedang membongkar alat kerja bapak serta denting besi dipindah. Tapi rupanya tak lama, paman Limin kembali teriak di depan rumah. 

“Aku pulang, bik. Terima kasih,” pekik paman Limin. 

Mamak yang baru selesai beres-beres, tergopoh ke pintu depan. 

“Kok cepat ? Gak jadi nempa parang?” tanya mamak heran. 

“Nanti aja, bik. Nunggu paman ada dirumah. Besok atau lusa, aku kesini lagi. Permisi bik.”

Paman Limin lantas beranjak pulang, sementara aku dan ibu hanya menatap punggungnya yang menjauh di antara rindang pepohonan. 

Sekedar info, paman Limin adalah tetangga yang jarak rumahnya paling dekat. Selain beliau masih ada satu tetangga lagi di seberang jalan desa yang berupa tanah liat. Tetangga lainnya jaraknya jauh-jauh, apalagi rumah kami berada di ujung kampung. 

*****

Bapak pulang ke rumah saat matahari telah tenggelam. Wajahnya terlihat lelah dengan beberapa potong kayu bakar di tas rotan yang ia panggul. Ia juga mencanting beberapa ekor burung kecil hasil menembak sebagai tambahan lauk makan malam. 

Sumpah Adat Berujung MautTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang