Bab 8 : Akhir Tragis Paman Ganda

547 42 7
                                    

Warga terperangah sewaktu seorang lelaki muda menerobos kerumunan dengan baju basah dan tubuh kotor penuh tanah liat. Ia berlari seraya memanggil bapak dengan wajah cemas. Rupanya ia adalah salah seorang penggali kubur yang disuruh selekasnya ke rumah duka oleh penggali kubur lainnya 

“Ada apa?” sahut bapak dengan dahi mengernyit. 

Kulihat keadaan bapak berantakan, wajahnya kusut dan badannya kotor. Sepertinya bapak belum mandi sejak menyelamatkan tante Mirah tadi pagi. 

“A-anu, paman. Sudah tiga lubang kubur kami gali, semuanya sama saja. Air tiba-tiba keluar dari dalam tanah. Jika disuruh menggali lagi, kami sudah tidak sanggup. Empat orang takkan kuat, kecuali gantian,” keluh pria tadi sambil menyeka keringat di dahi. 

Bapak menoleh pada paman Yandi dan Atuk yang sudah berdiri di samping. Mereka lalu berunding dan bapak akhirnya buka suara. 

“Kalian timba saja salah satu lubang kubur itu. Nanti upahnya kutambah satu ekor babi. Lakukan secepatnya, sebentar lagi jasad mendiang akan dikuburkan,” lanjut bapak. 

Lelaki muda tadi masih hendak membantah tapi mengurungkan niat melihat bapak melotot. Ia lantas putar badan, melangkah terburu menuju pemakaman. Bapak dan paman kemudian pulang ke rumah masing-masing untuk ganti pakaian sementara aku dan mamak menanti di rumah duka. 

*****

Sekitar pukul 10 siang, ketua umat memimpin doa agar pemakaman paman Ganda berjalan lancar. Warga terlihat hikmat sedangkan mamak terisak. Setelah itu warga lalu bahu membahu menggotong peti mati paman Ganda menuju pemakaman. Mereka bergerak terseok-seok melintasi jalan desa yang tak rata. Jalan yang licin akibat tergerus ujan membuat para pengusung mesti melangkah hati-hati. Beberapa kali terdengar pekikan sewaktu kaki pengusung selip dan hampir jatuh. 

Mamak dengan sabar menemani tante Mirah yang masih terkulai lemah di dalam kamar. Atas alasan kesehatan, tante Mirah pagi itu tidak bisa mengantarkan jasad sang suami ke liang lahat. Hanya anak-anaknya saja yang sepanjang jalan menangis sesenggukan meratapi kemalangan keluarga mereka. 

“Kasihan, ya, anak-anaknya mendiang. Bapaknya meninggal tak wajar, ibunya malah kesurupan dan hampir mati,” bisik seorang ibu. 

“Iya, sungguh malang nasib mereka. Tidak kuat aku membayangkan seperti apa nasib mereka setelah ini. Pastilah berat…sangat berat,” timpal ibu lainnya dengan suara lirih. 

Para pengusung kemudian berbelok ke kanan, meninggalkan jalan utama lalu melewati jalan sempit menuja area pemakaman. Warga berjubel bagai bebek berbaris, berdesakan di jalan lebarnya tak lebih dari setengah meter. Jerit demi jerit ibu-ibu bergemuruh karena beberapa orang terjatuh. Selain licin, banyaknya akar, dedaunan serta rumput membuat kaki tak bisa berpijak dengan sempurna. 

Warga seketika menengadah ke langit karena hari yang cerah mendadak gelap. Di atas sana, awan hitam telah menggulung pertanda akan hujan. Angin yang entah datang dari mana bertiup kencang menggoyang ranting-ranting dan dedaunan. 

Petir dan kilat sekonyong-konyong sambar menyambar membuat langit bergemuruh seakan hendak runtuh. Wajah warga mendadak pucat. Mereka saling lirik dengan ekspresi cemas karena sadar ada yang tak beres. 

“Ayo, cepat! Hari ini harus selesai. Apapun yang terjadi, Ganda harus dimakamkan hari ini!” teriak bapak yang tergopoh memanggul peti mati. 

Para pengusung mempercepat langkah diiringi riuh para pengiring. Kulihat bapak meringis, peti yang ia bawa sepertinya bertambah berat. Langkahnya terhuyung karena hampir tak sanggup menahan beban. 

“Aduh…gantianlah!  Bahuku mau lepas,” teriak bapak. 

Selain bapak, para pengusung lain juga bergantian. Kepanikan melanda karena angin yang bertiup semakin kencang. Langkah para pengusung peti mati kian cepat seiring gerimis yang mulai jatuh diiringi gelegar petir yang bertubi-tubi. Sebagian warga berlari berhamburan kesana kemari mencari tempat berteduh di bawah pepohonan. 

Sumpah Adat Berujung MautTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang