Dari atas pohon mangga, aku melihat bapak sudah tiga kali keluar masuk rumah paman Ganda. Ia muntah-muntah di pojokan, tak kuat menahan mual. Rumah paman Ganda memang berbau busuk yang menyengat. Lebih busuk dari bangkai tikus yang tersembunyi di sudut plafon. Bahkan baunya tercium hingga keluar rumah, menusuk hidung dan menembus otak.
Sekitar 30 menit kemudian, bapak telah selesai dengan ritualnya. Ia lantas memanggilku untuk segera pulang. Di perjalanan, sudah tiga rumah kami lewati tapi bau busuk dari rumah paman Ganda masih tercium juga.
Karena penasaran, aku memberanikan diri bertanya pada bapak. “Pak, paman sakit apa? Kok bau busuk sampai keluar rumah.”
“Entahlah…aku jadi kasihan melihat keadaannya. Kakinya membengkak mengeluarkan cairan lendir berbau busuk. Nanah bercampur darah.”
“Loh, kok bisa, pak? Terakhir ketemu paman, dia masih bisa jalan meskipun harus pake tongkat.”
“Entahlah, aku juga tidak tahu. Nanti, kalau kamu sudah besar, jangan sekali-sekali mengambil hak orang lain. Jangan pernah berdusta sekalipun kalau tak mau seperti Ganda. Walau miskin, pantang bagi bapak berbuat culas.”
Aku mengangguk mendengar nasehat bapak. Kami terus melangkah di bawah senja yang mulai merah kekuningan. Di sekitar hutan, jangkrik dan binatang malam mulai bersahutan menyambut datangnya malam.
Aku terlonjak kaget sewaktu bapak berhenti mendadak. Tubuhnya gemetar dengan tinju terkepal erat. Aku merasa takut karena bapak tiba-tiba dipenuhi amarah.
Ternyata beberapa meter di hadapan kami ada paman Gundi, iparnya paman Ganda. Kepadanyalah paman Ganda menyerahkan tanah milik bapak tanpa persetujuan. Melihat bapak di tengah jalan, lelaki itu lantas putar arah lalu melangkah terburu ke jalan setapak menuju ke dalam hutan.
*****
Setibanya di rumah, mamak langsung nanya ke bapak tentang keadaan paman Ganda. Bapak hanya bilang bahwa paman Ganda sakit kaki lalu tak bisa berjalan selama beberapa minggu ini. Bapak tidak cerita kalau keadaan paman Ganda mengeluarkan bau busuk.
“Apa memang seperti itu, bang, penyakit orang yang terkena sumpah?” tanya mamak seraya menyeduh kopi untuk bapak.
“Entahlah, aku kurang tahu pasti. Bisa iya, bisa juga tidak. Aku belum pernah menyaksikan langsung kejadian seperti itu. Yang aku tahu, orang yang termakan sumpahnya akan sakit dalam waktu yang lama kemudian meninggal. Semoga saja dia bisa sembuh. Biar tobat dulu.”
Mamak mendekati bapak sembari membawakan kopi yang masih panas. Ia lalu menatap wajah bapak yang penuh keringat dengan sorot mata sayu.
“Mana si Gundi? Kenapa bukan dia yang melakukan tenong untuk si Ganda?”
Bapak menggeleng lemah. Ia hanya cerita tadi sempat ketemu di jalan tetapi ipar Ganda itu justru menghindar. Aku tahu, jauh di lubuk hati, bapak mungkin bisa memaafkan paman Ganda, tapi tidak dengan paman Gundi. Perseteruan bapak dan paman Ganda sebenarnya karena ulah paman Gundi.
Kata mamak, kejadian ini bermula bertahun-tahun lalu, kala aku baru belajar berjalan. Ceritanya bapak dan paman Ganda mendapat warisan berupa tanah yang luas. Tanah itu kemudian di mereka kelola bersama untuk berladang. Sebelum berladang, tanah itu sudah dibagi rata sama panjang dan luas. Selama itu tidak masalah antara bapak dan paman Ganda. Semua berjalan baik-baik saja.
Lalu, paman Gundi datang ke kampung kami untuk memulai hidup baru. Kalau tidak salah ia diusir dari kampungnya entah ada masalah apa. Ia kemudian meminjam tanah ke paman Ganda untuk membangun gubuk sebagai tempat tinggal sementara bersama istri dan anak anaknya. Anaknya paman Gundi ini banyak. Lima orang laki laki dan tiga perempuan. Jadi total mereka dalam satu rumah ada 10 orang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sumpah Adat Berujung Maut
HorrorTak terima dituduh sebagai pelaku racun, Andung menantang sepupunya untuk melakukan ritual sumpah adat. Tak disangka, sumpah sakral tersebut merenggut korban nyawa dan sesosok hantu mulai bergentayangan menebar teror.