Hujan deras yang turun semenjak matahari terbenam lalu belum menunjukan tanda akan mereda. Hembusan anginnya semakin kencang. Petir dan kilat bersahut-sahutan memecah keheningan hari yang telah semakin larut.
Sudah lewat tengah malam.
Moon Minhyuk, bocah laki-laki berusia empat tahun, terbangun dari tidur lelapnya. Bukan hanya karena suara petir dan hujan yang membuatnya sedikit takut. Tidak biasanya, ia mendengar keributan di dalam rumah di waktu selarut ini.
Dari dalam kamarnya, samar-samar Minhyuk dapat mendengar suara rintih kesakitan. Suara yang familiar, namun juga terasa asing. Mungkin karena ia tidak pernah mendegar suara rintihan seperti ini sebelumnya.
Sesekali, derap kaki juga terdengar melintas. Lebih dari satu orang, dan sepertinya terburu-buru.
Rasa penasaran mendorong bocah itu keluar dari kamarnya. Ia menelusuri lorong yang minim
penerangan, mencari dari mana suara itu berasal.Kaki kecilnya berhenti di ujung lorong yang menuju ke kamar utama. Dari sini, ia bisa melihat ayahnya berjalan bolak-balik di depan pintu kamar seperti sedang menungggu sesuatu. Beberapa orang pelayan perempuan terlihat keluar masuk kamar dengan tergesa.
Ada apa?
Apakah itu suara ibu?
Ibu sedang sakit?
Kenapa ayah tidak membantu ibu di dalam? Pikir sang bocah.
Sang ayah, Moon Heejoon, tampak sesekali menghela nafas sambil mengusap jenggotnya yang panjang. Meski ini bukan kali pertama, ia cukup was-was menunggu kabar dari dalam kamar, di mana istrinya saat ini sedang berjuang mempertaruhkan nyawanya.
Bertarung demi sebuah nyawa baru.
Satu tariakan panjang terdengar keluar dari mulut sang istri, disusul kemudian suara tangis yang memekik keras. Suranya nyaring, bersaing dengan bisingnya badai di luar sana.
Moon Heejoon menghembuskan napas yang tanpa ia sadari telah ia tahan beberapa saat.
Tak selang berapa lama, seorang pelayan perempuan keluar dari dalam kamar. Tangan pelayan itu mendekap sebuntal kain yang ia gendong dekat ke dadanya.
“Selamat, Tuan, bayi anda perempuan. Ia dalam kondisi sehat.” Ucap pelayan tersebut sambil membungkuk hormat dan menyerahkan buntalan dari dekapannya kepada Moon Heejoon.
Moon Heejoon menerima bayi tersebut ke dalam gendongannya. Mata pria kekar itu bersinar.
Harapannya terkabul, ia memiliki seorang bayi perempuan. Bayi yang kelak akan membawa kejayaan
bagi klan Moon.Masih dalam euforia, pria itu berniat masuk ke dalam kamar untuk menemui dan menanyakan kondisi sang istri, Park Hyekyeong. Namun belum sempat beranjak, tangisan bayi kembali terdengar dari dalam kamar.
Moon Heejoon memebelalakan mataya tak percaya.
Tidak. Ini tidak mungkin.
Pria itu lantas bergegas memasuki kamar, nyaris membanting pintu yang ia geser dengan kasar.
Sesampainya di dalam, Moon Heejoon menatap pemandangan di depannya dengan penuh horror. Seperti kebetulan, sebuah kilat menyambar dalam jarak dekat, membuat sesisi ruangan sesaat dipenuhi cahaya putih menyilaukan.
Di sana, di dalam pelukan Hyekyeong, seonggok bayi kecil meraung tak kalah kencang.
"Suamiku, putri kita kembar." Ujar Hyekyeong lemah saat tatapannya bertemu dengan mata Heejoon. Wanita itu mencoba membaca raut suaminya yang tampak tidak terlalu senang dengan kehadiran putri kembar mereka.
Rahang Heejoon mengeras. Ia memang menghendaki bayi perempuan. Tapi bayi kembar? Ini akan mengacaukan rencananya.
Setalah kelahiran putra mahkota istana beberapa minggu sebelumnya, Moon Heejoon yang merupakan politikus sekaligus pejabat penting istana berharap agar anak dalam kandungan Hyekyeong berjenis kelamin perempuan. Ia bertekad akan menggunakan segala upaya agar putrinya kelak dapat mendampingi sang putra mahkota dan menjadi ratu selanjutnya. Dengan begitu, derajat klan Moon akan terangkat. Ia dan klannya akan disegani. Kekuasaannya akan semakin besar.
Namun kehadiran bayi kembar sungguh di luar perkiraanya, dan ia tidak menginginkan hal itu. Bagaimana mungkin seorang ratu memiliki kembaran? Seluruh negeri akan dibuat bingung karena memilki dua ratu.
Istana tidak akan menerima putrinya. Salah seorang dari si kembar yang tidak terpilih sebagai ratu kelak akan menikahi laki-laki selain raja. Laki-laki tersebut bahkan mungkin hanya sebatas bangsawan biasa. Bagaimana mungkin orang nomor satu di penjuru negeri memiliki istri yang identik dengan rakyat biasa? Ini adalah penghinaan terhadap raja. Penghinaan terhadap Joseon.
Heejoon kembali mengedarkan pandangannya ke penjuru ruangan. Selain Hyekyeong, terdapat seorang pelayan wanita dan sesorang dukun beranak yang membantu persalinan Hyekyeong duduk tak jauh dari istrinya. Kepala mereka tertunduk, menyadari gelagat tidak suka dari satu-satunya pria di dalam ruangan tersebut.
Laki-laki itu menghela napas.
“Kita hanya bisa membesarkan salah satu dari mereka." Ujar Heejoon datar dan dalam. Diusapnya pipi bayi yang ada dalam gendongannya lembut, lalu pandangannya beralih pada bayi di dekapan Hyekyeong.
"Lenyapkan bayi itu.”
YOU ARE READING
The Pretender
Fiksi PenggemarSelama lebih dari 20 tahun, Byulyi menjalani kehidupannya yang sederhana, anak tunggal dari seorang janda yang tinggal di perbukitan di sebuah desa terpencil. Hingga suatu hari, kehidupan Byulyi berubah saat ia harus berperan sebagai Moon Yewon -put...