Hari Keempat

458 66 8
                                    

Taufan kembali melirik jam di dapur. Sudah pukul 5.16 pagi, tetapi Gempa belum juga bangun. Bekal keempat adik mereka telah selesai dia siapkan dan kini hanya perlu menyiapkan sarapan sebelum membangunkan adik-adiknya. Taufan menutup kotak bekal milik Solar dan memasukkannya ke dalam tas khusus milik si bungsu. Dia sekali lagi memeriksa jam sebelum memutuskan untuk memeriksa keadaan saudara kembarnya tersebut.

Anehnya, Gempa masih berada di tempat tidur. Tertidur dengan pulas. Padahal Gempa adalah yang paling rajin di antara mereka semua, dia selalu bangun lebih awal dan tak pernah tidur kembali setelah sholat subuh. Lalu mengapa kini dia masih tertidur bahkan melewatkan sholat subuh?

Taufan mendekati kembarannya, memperhatikan dengan seksama kini. Gempa tak tidur dengan pulas sesuai dengan perkiraannya, faktanya dia nampak gelisah dengan bulir-bulir keringat pada wajahnya. Taufan mengulurkan tangannya, menyentuh dahi Gempa hanya untuk menemukan suhu kembarannya jauh lebih tinggi dibanding yang seharusnya. Dengan gerakan cepat, dia mencari termometer di dalam laci meja belajar milik Gempa lalu menyelipkannya pada ketiak Gempa setelah membuka sedikit pakaian adiknya. Dan selama itu, Gempa masih belum terbangun. Oh, ini buruk. Gempa itu sangat mudah terbangun bahkan hanya oleh suara bising kecil.

Ketika Taufan mengambil termometer dari ketiak Gempa, dia merasa ingin memaki tanpa sadar. 39,5°C. Taufan mengusap keningnya sambil berpikir mengapa rasanya dia tengah diuji saat ini? Seperti kemarin baik-baik saja, tetapi sekarang dia malah harus menghadapi hal seperti ini.

Tak membuang waktu lagi, Taufan bergegas kembali ke dapur, menyiapkan sarapan untuk keempat adiknya yang lain secepat yang dia bisa. Setelahnya menyiapkan kompresan untuk Gempa dan obat penurun panas.

"Gem. Gem. Gempa." Taufan mencoba membangunkan saudara kembarnya itu. Dia mengguncang tubuh Gempa perlahan atau menepuk-nepuk pipinya. Kening Gempa mengerut dan dia terlihat sangat kesakitan saat membuka matanya. Gempa nampak linglung, seoalah bingung dimana dia berada.

"Kak Taufan? Jam berapa ini?" Bahkan suara Gempa terdengar serak.

"Hampir jam 6 pagi. Ini, minum air." Taufan berkata sambil menyodorkan segelas air.

"Aku terlambat bangun. Maaf, kak. Adik-adik sudah bangun?"

"Belum, akan aku bangunkan setelah ini." Taufan memberikan baju ganti pada Gempa. Dia membantu adiknya itu untuk duduk secara perlahan.

"Aku akan membantu kakak."

"Jangan konyol. Suhu tubuhmu itu sangat tinggi sekarang. Kau harus beristirahat. Ganti bajumu, nanti aku akan datang lagi dan membawakan bubur juga obat. Tunggu ya."

"Tapi-"

Taufan memotong apapun yang ingin diucapkan oleh Gempa dengan lambaian tangannya. Dia menyuruh Gempa untuk bergegas mengganti pakaiannya karena yang dikenakan oleh remaja tersebut sudah basah oleh keringat. Setelah memastikan Gempa melakukan apa yang dia perintahkan, Taufan bergegas menuju kamar Duri dan Solar untuk membangunkan kedua adik bungsunya. Seperti biasanya, membangunkan mereka bukanlah hal yang sulit. Keduanya bangun tanpa membuat Taufan harus melakukan banyak hal dan bergegas ke kamar mandi untuk bersiap-siap ke sekolah. Kini Taufan berdiri di depan pintu kamar Blaze dan Ice. Sebelum masuk ke dalam kamar keduanya, dia mengusap wajahnya dengan kasar karena sudah merasa lelah bahkan sebelum memulai.

Ah.. hari ini akan menjadi hari yang melelahkan untuk Taufan.

Membangunkan Blaze dan Ice memang memiliki tantangan tersendiri. Rasanya seolah Taufan baru saja mengeluarkan setengah dari semangat yang dia miliki hari ini hanya untuk membangunkan kedua adiknya tanpa menyiram mereka dengan air dingin.

"Kak Gempa mana? Tumben nggak kelihatan." Duri berkomentar.

Taufan yang tengah mengaduk bubur yang dibuatnya hanya dapat menghela nafas perlahan, "Gempa sakit. Jadi kalian cepatlah bersiap, karena kakak yang akan mengantar kalian semua hari ini."

BeratTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang