Sang surya mengintip redupnya semesta, bergerak perlahan menyinari kegelapan, menembus celah-celah gorden ruangan.
Seorang anak kecil bergerak gelisah dalam pejamnya saat titik kecil cahaya membidik kelopak matanya. Membuka matanya perlahan, menyesuaikan cahaya menerobos ruangan.
Anak itu hanya memandang kosong langit-langit kamar, mengumpulkan nyawa yang belum siap dibangunkan. Helaan napas keluar, memegang perutnya yang terasa keras, rasanya tidak nyaman, sampai ia harus bolak balik ke WC, namun tidak dapat meredakan lilitan perutnya.
Anak kecil itu menegakan tubuhnya, duduk di tepi kasur yang tipis, menyapu ruangan yang jauh dari kata layak. Hanya ada lemari tua tempat pakaian usangnya, tumpukan buku di sudut ruangan, dan sebingkai foto kecil di meja sebelah ranjang.
Anak kecil itu tersenyum sendu, mengambilnya, lalu mengusap foto keluarga tanpa ada dia disana. Tak ada yang lebih membahagiakan di tengah senyum bahagia mereka. Namun satu-persatu kilasan penolakan menyadarkannya ia tidak diinginkan.
Foto itu, dia mengambilnya diam-diam di media cetak, sebelum ia dikurung sampai sekarang. Keluarganya memang orang terpandang, bahkan terkenal dermawan, tapi di lain sisi ia disembunyikan.
Ia tidak tahu kesalahannya, sampai harus diasingkan. Pernah sekali bertanya kepada Sang Papa, namun palingan muka dan tangan terkepal Papa menjadi jawaban, ia memang pantas tinggal sendirian.
Sekarang ia lelah bertanya, memilih diam sampai Tuhan mengasihaninya membuat Mama dan Papa menyayanginya. Ia ingin berada di tengah mereka, bermain bersama kakak Cantika dan abang Bagas.
Selama ini, mama dan saudara kandungnya tidak pernah lagi mengunjunginya, hanya papa sesekali melihat apakah ia masih hidup atau tidak.
Ia ditelantarkan walaupun mereka tinggal seatap, tidak peduli ketika ketukan brutal meminta keluar, membiarkan tangisan meredam dengan sendirinya. Sekarang ia memutuskan menyerah, hingga Tuhan menjemputnya pulang.
Tungkai kecil dijuntaikan, memperlihatkan kaki mungil menapak tikar. Berdiri lambat, menyeimbangkan tubuh lemasnya. Beberapa hari belakangan, ia terserang demam tinggi, dan tidak ada yang peduli, tak jarang ia harus mengesot ke kamar mandi.
Bukan hal biasa lagi untuknya, sejak kecil ia memang sakit-sakitan, membuat kakak Citra dan abang Bagas benci mempunyai adik sepertinya. Begitu juga dengan Mama dan Papa, mereka begitu malu mengakuinya sebagai anak, dan hanya mengakui kakak Cantika dan abang Bagas di hadapan publik.
Kaki kecil ia ayunkan, menapak lantai dingin menuju kamar mandi. Belum sempat melangkah ke dalam, tubuh rapunya terhuyung ke depan, beruntung ada dinding penyanggah kekuatannya.
Mata bulatnya berkunang-kunang, titik hitam mulai mengganggu penglihatannya, berhenti sejenak, menetralisir goncangan.
Tiba-tiba setetes darah jatuh dari lubung hidungnya, menambah kesakitan mendarai kepalanya. Berjalan sempoyongan mencari tumpuan.
BRUK
Tubuh ringkih itu meluruh, menghentak kasar di lantai. Belum reda sakit kepalanya, lilitan perutnya kembali mengencang, seakan mengocok perut kembungnya. Yang bisa ia lakukan merintih kesakitan, sungguh sakit kepala dan perutnya diserang bersamaan.
Kocokan dalam perutnya menjadi-jadi, mendorong rasa mual mengambil alih, sesak ikut menyertai. Sekuat tenaga, lututnya ia paksakan merangkak ke dalam kamar mandi. Namun dorongan kuat menyembur dari mulutnya, cairan kuning kental membasahi bagian depan tubuhnya, saking sakitnya cairan itu keluar membuatnya terkencing-kencing, dan disertai cairan kuning berminyak keluar dari duburnya. Sungguh menyakitkan sampai ia tidak bisa mengontrol tubuhnya mulai bergetar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Batasan Luka [SEGERA TERBIT]
Teen FictionDinding-dinding putih menjadi saksi ratapan orang terkasih, meratapi pernah menyakiti, hingga membuat malaikat kecil lelah kasih sayang berarti. Dimana mata itu terpejam, deru napas berantakan, dada bergerak lambat, dan tubuh bergetar hebat. Ruanga...