Semesta hanya tahu menjalankan ketetapan Tuhan, menghancurkan kebahagiaan dengan keegoisan, membiarkan angan mengiba kepada ketidakpastian, hingga harapan jauh dari kenyataan.
Manusia hanya bisa melangitkan doa, menunggu uluran tangan Tuhan tak tahu kapan tiba, menahan luka yang dihancurkan semesta, mencari cahaya harapan di tengah kegelapan.
Keputusasaan berusaha menguasai, di tengah ketidakberdayaan meminta pertolongan Tuhan.
Raungan dipenjuru lorong putih terus meratapi orang terkasih, menyalahkan takdir menikam telak, hingga apa yang berusaha dipertahankan terlepas dari perlindungan.
Semuanya kelam, mengoyak jiwa dan raga yang lelah, hingga upaya tak mampu mengembalikan pancaran kehidupan.
Di dalam ruangan tembus pandang, jiwa dan raga yang lelah diam tanpa tanda-tanda kehidupan. Sorot mata kosong memandang lurus, mulut membiru terus mengeluarkan cairan merah kental, lebam di setiap jenjang leher bekas cekikan, dada tanpa pergerakan, perut lebam bekas tekanan kuat, dan paling mengiris hati bagian tubuh bawa terus mengalirkan darah.
Reza tak bisa menyembunyikan kekalutannya, melihat mirisnya kondisi keponakannya sekarang. Berteriak kepada suster meminta menghidupkan mesin ventilator, sementara suster lain memasukkan selang kecil ke dalam mulut yang terbuka itu, tersedotlah muntahan darah yang tertahan.
Reza mengambil langkah cepat naik ke atas brangkar, menempatkan kedua kakinya di sisi kanan dan kiri, mengungkung tubuh ringkih itu di tengahnya, meletakkan kedua tangannya di dada bertulang, lalu melakukan CPR dengan derai air mata.
“Defibilator!” titah Reza, turun dari brangkar.
Suster menyiapkan alat yang diminta Reza, memberikan dua alat mirip strika yang telah di olesi jel khusus.
“200 joule!”
Suster menaikkan tekanan listrik sesuai permintaan Reza, ketika benda itu ditempelkan ke dada bertulang itu, tersentak keras ketika diangkat. Garis lurus EKG tidak bisa merubahnya, masih belum menunjukkan peningkatan.
“300 joule.”
Kembali dua benda itu ditempelkan, membuat tubuh itu semakin tersentak sampai brangkar bergerak saking kuat sentakan.
“Tit … … Tit … … Tit ….”
Reza mulai dapat bernapas lega, melihat grafik EKG menunjukkan garis naik turun walaupun belum dikatakan normal, beralih menatap dada Juan bergerak lambat pertanda detak jantungnya kembali.
“Juan hebat. Terimakasih, ya, mau kembali. Papi mohon, bertahan, ya, Nak?”
Reza mencium pipi dan kening Juan berulang kali, air matanya semakin deras melihat tubuh Juan terekpos tanpa sehelai benang pun.
Reza memegang perut Juan yang tampak menyusut, tetapi lebam besar menghiasi perut yang tegang itu. Ia tahu, lebam itu bukan dari penyakit Juan, melainkan akibat ditekan kuat hingga menyebabkan pendarahan hebat di dalam perut Juan.
Reza tak kuasa menahan tangis melihat dubur Juan terus mengeluarkan cairan, mengotori brangkar yang sudah basah akan darah.
Reza menggangkat tubuh Juan, tidak peduli darah mengotori snelli putih kebanggaannya. Sementar suster diperintahkan mengganti sprei yang dialasi dengan perlak, lalu digantikan dengan yang baru.
KAMU SEDANG MEMBACA
Batasan Luka [SEGERA TERBIT]
Teen FictionDinding-dinding putih menjadi saksi ratapan orang terkasih, meratapi pernah menyakiti, hingga membuat malaikat kecil lelah kasih sayang berarti. Dimana mata itu terpejam, deru napas berantakan, dada bergerak lambat, dan tubuh bergetar hebat. Ruanga...