Aulia pulang ke rumah dengan langkah gontai. Rumah yang seharusnya menjadi tempat berlindung, bagi Aulia, adalah medan pertempuran lain. Kakaknya, Rama, selalu mendapat perhatian lebih dari orang tua mereka karena prestasinya yang gemilang dan kepopulerannya di sekolah.
“Aulia, kamu sudah belajar untuk ujian besok?” tanya ibunya tanpa menoleh dari kompor.
“Sudah, Bu,” jawab Aulia sambil meletakkan tasnya.
“Pastikan kamu mendapat nilai bagus, ya. Harus seperti kakakmu, dia selalu yang terbaik,” kata ibunya lagi.
Aulia hanya mengangguk. Dia terbiasa dengan perbandingan itu. Di kamarnya, dia membuka buku dan mulai membaca, mencoba mengabaikan suara-suara yang tidak mendukung itu.
Keesokan harinya di sekolah, Aulia berjalan di koridor dengan buku di tangannya. Dia berusaha tidak menarik perhatian, tapi sepertinya hari itu bukan harinya.
“Lihat siapa itu, si culun Aulia,” teriak seorang gadis bernama Sari, yang dikenal karena sikapnya yang caper dan tidak suka pada Aulia.
“Hei, Aulia, kacamata tebalmu itu bisa buat memantulkan sinar matahari atau tidak?” cemooh Sari sambil tertawa bersama teman-temannya.
Aulia mencoba mengabaikan mereka dan berjalan lebih cepat. Tapi Sari terus mengikutinya.
“Aku dengar kamu mau makeover, Aulia? Percuma saja, monyet tetap monyet,” sindir Sari.
Aulia berhenti dan menoleh. “Sari, aku tidak peduli apa kata kamu. Aku akan berubah untuk diriku sendiri, bukan untukmu atau siapa pun,” kata Aulia dengan tegas.
Sari terkejut dengan respons Aulia. “Kita lihat saja nanti,” ucapnya sambil berlalu.
Aulia menghela napas lega dan melanjutkan hari-harinya. Dia tahu bahwa perubahan tidak akan mudah, tapi dia bertekad untuk melakukannya. Dia tidak akan membiarkan kata-kata Sari atau siapa pun menghalangi jalannya.Aulia menatap cermin di kamarnya, memperhatikan setiap detail wajahnya yang selama ini dia abaikan. Dia menyentuh kacamata tebalnya, bertanya-tanya bagaimana rasanya melihat dunia tanpa penghalang itu. “Mungkin sudah waktunya untuk perubahan,” gumamnya pada diri sendiri.
Keesokan harinya, Aulia bangun lebih awal. Dia memutuskan untuk mencoba sesuatu yang baru dengan rambutnya, mengganti ikatan rambut yang biasa dengan gaya yang lebih modern. Dia juga memilih pakaian yang lebih cerah dari biasanya, sebuah langkah kecil menuju transformasi yang dia impikan.
Di sekolah, Aulia merasa berbeda. Langkahnya lebih ringan, dan meskipun dia masih merasa canggung dengan perubahannya, ada semangat baru yang mengalir dalam dirinya. Namun, tidak semua orang menyukai perubahan itu.
“Hei, Aulia, mencoba tampil beda hari ini?” tanya Sari dengan nada mengejek saat mereka bertemu di koridor.
“Ya, aku memutuskan untuk mencoba sesuatu yang baru,” jawab Aulia dengan suara yang lebih mantap dari biasanya.
“Hmm, menarik. Tapi jangan berharap semua orang akan suka dengan ‘Aulia baru’ ini,” sahut Sari, matanya menyiratkan tantangan.
“Tidak apa-apa, Sari. Aku tidak melakukan ini untuk mereka, aku melakukannya untuk diriku sendiri,” kata Aulia, matanya bertemu dengan pandangan Sari yang penuh penilaian.
Sari tersenyum sinis. “Kita lihat saja berapa lama kamu bisa bertahan,” katanya sebelum berlalu dengan teman-temannya.
Aulia menghela napas. Dia tahu ini tidak akan mudah, tapi dia juga tahu bahwa dia tidak bisa kembali ke cara lama. Dia harus terus bergerak maju, untuk dirinya sendiri.
Hari itu, Aulia menghadapi banyak pandangan dan bisikan, tapi dia juga mendapat beberapa pujian yang tulus. Dia mulai menyadari bahwa tidak semua orang akan mendukungnya, tapi itu tidak mengurangi nilai dari apa yang dia lakukan untuk dirinya sendiri.
Di rumah, Aulia menghadapi tantangan yang sama. “Kamu terlihat berbeda hari ini, Aulia,” komentar Rama saat makan malam.
“Aku mencoba sesuatu yang baru,” jawab Aulia singkat.
“Semoga saja itu membantumu mendapatkan teman,” kata Rama dengan nada yang sulit dibaca.
Aulia hanya tersenyum. Dia tidak membutuhkan validasi dari orang lain lagi. Dia sudah mulai menemukan cahayanya sendiri, dan itu yang terpenting.Malam itu, Aulia berbaring di tempat tidurnya, pikirannya penuh dengan kejadian hari itu. Dia merenungkan setiap kata yang dilemparkan kepadanya, setiap pandangan yang ditujukan ke arahnya. Tapi ada sesuatu yang berbeda kali ini; dia tidak merasa hancur atau putus asa. Sebaliknya, ada semangat yang berkobar dalam dirinya, semangat untuk terus berubah dan menjadi lebih baik.
“Aulia, apa yang kamu lakukan di sana? Sudah tidurkah?” suara ibunya terdengar dari luar pintu.
“Sudah, Bu. Aku hanya sedikit membaca sebelum tidur,” jawab Aulia, menyembunyikan buku makeover yang telah menjadi inspirasinya.
“Baiklah, jangan terlalu larut. Kamu harus segar untuk sekolah besok,” kata ibunya sebelum langkahnya menjauh.
Aulia mematikan lampu dan menutup matanya, tapi pikirannya masih terjaga. Dia membayangkan dirinya berjalan di koridor sekolah dengan kepala tegak, dilihat dan dihargai bukan hanya karena penampilannya yang baru, tapi juga karena siapa dirinya yang sebenarnya.
Keesokan harinya, Aulia bangun dengan tekad yang lebih kuat. Dia mengenakan pakaian yang telah dia pilih dengan hati-hati, melihat perubahan dalam dirinya yang lebih dari sekadar penampilan. Dia siap menghadapi dunia, siap untuk menunjukkan bahwa dia lebih dari sekadar gadis culun yang selalu di-bully.
Di sekolah, Sari dan teman-temannya sudah menunggu kesempatan untuk mengejek Aulia lagi. Mereka tidak percaya bahwa Aulia bisa berubah secara nyata.
“Oh, lihat siapa yang mencoba tampil seperti bintang film,” ejek Sari saat Aulia lewat.
“Aku tidak mencoba menjadi bintang film, Sari. Aku hanya ingin menjadi diriku sendiri,” balas Aulia dengan tenang.
“Dirimu sendiri? Ha! Jangan bercanda, Aulia. Kamu tidak akan pernah bisa lepas dari bayang-bayang,” kata Sari, mencoba meremehkan usaha Aulia.
“Mungkin kamu benar, Sari. Mungkin aku tidak akan pernah lepas dari bayang-bayang. Tapi setidaknya aku berani mencoba,” kata Aulia, matanya bersinar dengan keberanian yang baru ditemukan.
Sari terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Dia tidak terbiasa dengan Aulia yang berbicara kembali seperti itu. Aulia melanjutkan langkahnya, meninggalkan Sari dan teman-temannya dalam kebingungan.
Hari itu, Aulia merasa lebih kuat. Dia tidak lagi takut akan kata-kata kasar atau pandangan sinis. Dia telah menemukan kekuatan dalam dirinya, dan dia bertekad untuk tidak membiarkan siapa pun mengambilnya darinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
aulia: cahaya di balik bayang
RomanceSinopsis: Aulia, seorang remaja yang cerdas namun sering dianggap culun, hidup dalam bayang-bayang di sekolah dan di rumah. Dengan kacamata tebal dan buku-buku sebagai temannya, dia berjalan melalui hari-harinya tanpa diperhatikan. Namun, di balik p...