1. Krastala

158 28 4
                                    

Gulungan awan hitam menghiasi langit Bandung hari ini. Membuat Aruna yang masih sibuk memetik cabe di kebun kecil milik keluarganya menggerutu kesal. Apalagi, ketika tetes hujan perlahan jatuh—yang tiba-tiba berubah menjadi deras dan membasahi pakaian Aruna dalam sekejap.

"Aruna kamu bisa kedinginan jika terus berada disitu." seru Eila—sang Ibu yang melihat anak perempuannya yang masih sibuk memetik satu persatu cabe yang ada di kebun mereka.

"Biarin aja Ibu. Soalnya tanggung banget kalau aku harus berhenti sekarang. Lagian bajuku udah basah semua." balas Aruna sedikit berteriak. Tidak lupa cengiran tengil miliknya yang ia berikan untuk sang Ibu agar berhenti khawatir.

Eila hanya bisa menghela napas dan pergi meninggalkan putrinya yang masih sibuk sendiri. Aruna memang agak sedikit keras kepala dan susah diatur. Akan membuang waktu jika memaksa gadis kecil itu untuk behenti dan menurut.

"Lumayan nih cabe-cabe seksi nan mungil ini gue giling dan dijadiin stok bumbu buat satu bulan ke depan." Aruna bermonolog riang sambil bersenandung pelan menikmati tetes hujan yang jatuh membasuh tubuhnya.

"Nona."

Aruna terperanjat melihat kehadiran sosok pria tua misterius yang tiba-tiba ada di kebun miliknya. Apalagi, dengan penampilan pria itu yang cukup membuat dirinya merinding.

Pria itu mengenakan jaket hitam berbulu tebal dengan tudung menutupi hampir setengah wajahnya yang terdapat luka bakar. Ukuran tubuhnya pun tidak biasa. Sebab, ia terlihat dua kali lebih besar dari ukuran tubuh orang Indonesia yang biasa Aruna temukan.

Perasaan aneh sedikit menghantui Aruna. Sebab, kebun kecil miliknya tidak terbuka untuk umum. Ditambah, jalan setepak yang digunakan sebagai akses untuk mencapai tempat ini harus melalui rumah nya terlebih dahulu. Aruna ragu jika lelaki tua itu hanya kebetulan berada disini—dihadapannya.

"Kamu mungkin tamu Ibuku. Dia lagi ada di dalam." ucap Aruna sopan dan berusaha menghindar. Ia juga berniat kembali meneruskan pekerjaannya, sebelum tangan besar Kakek itu menghalanginya.

Aruna melotot dan menepis kasar jemari lelaki tua itu yang tiba-tiba mencengkram erat tangannya. "Watch your hands." desis Aruna tidak suka.

Lelaki tua itu menunduk. "Mohon maaf kalau saya lancang, Nona."

"Kamu siapa sih?" Aruna bertanya dengan berkacak pinggang, menyembunyikan ketakutan dalam dirinya. "Kamu kenapa tiba-tiba ada disini? Kalau mau mencari Ibuku dia ada di dalam."

"Mohon maaf, Nona. Tapi saya—"

"Jangan maaf-maaf mulu anjir. Kita belum lebaran. Intinya aja, soalnya aku malas untuk basa-basi. Kamu siapa dan ngapain ada di kebunku hujan-hujan begini?"

Bukannya menjawab rentetan kalimat yang Aruna berikan. Lelaki tua raksasa itu malah menekuk kedua lututnya dan menunduk agak bersujud kearah Aruna yang semakin dibuat kebingungan.

"Kamu ngapain? Aku cuma tanya kamu siapa dan ngapain—" kalimat Aruna terhenti ketika pria tua itu kini mengeluarkan tongkat panjang dari tubuhnya. Kemudian, menghentakkan tongkat tersebut ke tanah sebanyak tiga kali.

Puluhan pria dewasa pun seketika muncul dihadapan Aruna. Mereka datang dengan pakaian perang—dilihat dari bunyi nyaring besi yang bersentuhan ketika mereka berjalan.

Semua terlihat tidak masuk akal. Puluhan laki-laki dewasa ternyata bersembunyi di kebun kecil miliknya. Ketakutan jelas menyelimuti wajah Aruna yang kebingungan. Namun, Aruna mencoba melawan rasa takutnya itu. Setidaknya, jika ia harus mati hari ini. Ia akan mati dalam keadaan berjuang.

Aruna menyiapkan posisi kuda-kuda miliknya. Lalu, merapatkan jari-jari kurus ditangan nya untuk mengepal erat. Tubuhnya berusaha setengah mati mengingat teknik dasar taekwondo yang pernah ia pelajari.

Calesville; FaïeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang