Bookoo

129 15 1
                                    

Teruntuk Kak Irene yang cantik, dia tau nggak ya kalau jantung aku bakalan berdetak dua kali lebih cepet dari biasanya kalau dia ngeliatin aku pake mata nya yang cantik itu?

Atau juga waktu dia ngelakuin hal-hal kecil yang bisa bikin aku salting, kira-kira dia tau nggak ya kalau aku salting beneran?

Begitu serentetan kalimat tanya yang Wendy tulis di binder nya.

Tadi pagi, baru saja Irene mengantar sarapan untuknya yang paling malas kalau harus memasak. Irene selalu berinisiatif supaya Wendy tetap makan tepat waktu.

Sekarang Irene entah kemana, setelah mengantarkannya sarapan Irene menghilang. Katanya sih, Irene diminta temannya untuk menemani pergi.

Tapi Irene tidak bilang kemana, Wendy juga ingin bertanya, tapi tidak berani.

Irene menurutnya terlampau cantik tapi menakutkan, memang. Kakak tingkatnya itu benar-benar kelewat cantik dan menakutkan disaat yang bersamaan.

Padahal dari semua teman-teman Irene dan juga adik tingkatnya, Wendy seorang yang begitu akrab dengannya. Tetapi Wendy juga yang takut dengannya.

Wendy segera menyambar bindernya sekuat tenaga ketika mendengar suara motor di depan kosnya.

Sebagai manusia yang berada di kamar dekat dengan gerbang, Wendy segera tahu kalau itu Irene.

Maka Wendy menyembunyikan binder nya di antara tumpukan buku lain. Bisa gawat kalau Irene membaca nya.

Huft.

"Dorrr!!"

Irene nampak di depan pintu, membuat ekspresi bahagia dengan beberapa camilan di bungkusan yang perempuan itu pegang.

Wendy mengusap dadanya tanda terkejut, biasa. Wendy memang lemah soal kejutan.

"Minimal salam, Kak."

Irene segera masuk dan menoyor jidat Wendy. "Minimal disambut kalo gue dateng."

"Oh jelas gue sambut dong, soalnya lo kan bawa cemilan ehehehe."

Irene kembali menoyor jidat Wendy pelan. "Bocah!"

Irene mendudukkan tubuhnya di lantai, Wendy yang sedang rebahan dikasur memandanginya dalam diam.

Walaupun Irene ekstrovert, tetapi ketika perempuan itu keluar bersama teman yang tidak se-frekuensi dengannya, Irene akan merasa lelah seperti saat ini.

"Capek ya?"

Irene tersenyum mendengar itu, kemudian menangkap kedua pipi Wendy dengan gemas.

"Bocil bocil bocil aaaaaaaa!!" Irene membuat mimik wajah gemas kemudian memutar-mutar pipi Wendy.

Wendy hanya mampu membuang napas pelan karena biasanya setelah memegang pipinya, Irene akan kembali bahagia. Recharge ya? Masa sih?

"Sebenernya lo suka nggak sih kalo dipegang-pegang pipinya?"

Wendy diam, memikirkan kalau sedari masih Sekolah Menengah Pertama, teman-teman dekatnya suka sekali menarik-narik pipinya gemas.

Walaupun Wendy bilang tidak suka, tetapi mereka tetap kekeuh. Jadi Wendy biarkan saja.

"Nggak suka ya? Maaf ya.."

Padahal kalau Irene yang melakukannya, Wendy suka-suka saja. Apalagi Wendy lebih banyak menyembunyikan ke-salting-an nya dengan membuat wajah malas dan sinis.

Semoga Irene tidak menyadari itu.

"Udah ah, gue mau lanjut baca buku."

Irene mengangguk kemudian beranjak ke kamar mandi membersihkan diri.

Kemudian menyusul Wendy membaca, terlebih dahulu Irene ambil buku yang dipinjamkan teman dari temannya.

Kemudian mengambil posisi di sebelah Wendy.

Jika Wendy membaca sembari rebahan, maka Irene membaca dengan posisi tengkurap. Lalu bukunya berada di bahu Wendy, menjadikan bahu Wendy sebagai sandaran.

Tidak usah ditanya bagaimana kondisi jantung Wendy. Jelas saja berdetak tidak karuan. Lalu bagaimana wajah Wendy? Jelas saja memerah, semoga Irene tidak menyadarinya juga.

Wendy berharap Irene melihatnya sebagai bentuk ekspresi dari buku bacaannya.

"Liat deh buku bacaan kita, beda jauh hahaha." Irene menunjuk buku di tangannya. "Buku lo asma nadia, buku gue romance beginian. Jomplang!." Setelahnya Irene kembali tertawa.

"Nggak papa, yang penting kita sehati."

Irene menusuk-nusuk pipi Wendy. Yang ditusuk memberi tatapan tajam.

Irene senyum-senyum sendiri merasa gemas dengan pipi Wendy.

Setiap beberapa menit sekali Irene mengulangi kegiatannya.

Wendy hanya mampu menyembunyikan perasaannya. Selalu seperti itu.

"Kak.."

"Kenapa?"

Wendy tidak langsung menjawab. Membiarkan Irene kembali menusuk pipinya pelan.

"Kenapa nggak gabung sama Kakak-kakak diluar itu?" Yang Wendy maksud adalah teman-teman satu kosnya yang begitu akrab dengan Irene.

"Kenapa sih emang? Mau sendirian?"

Wendy berdecak kemudian memandang Irene yang kini berhenti melakukan kegiatannya pada pipi Wendy.

"Kan gue baca buku, lo mah nggak papa kali bisa baca buku lain waktu. Mereka jarang ngumpul gitu di depan kamar."

Irene tersenyum, "gue maunya sama lo, wlee."

"Book date, Ciyeee."

Irene tertawa keras mendengarnya. Dapat Wendy rasakan geli di perutnya mendengar tawa Irene yang cantik itu.

"Ntar gue baca bukunya dulu ya, kalo udah selesai gue cerita deh ke lo. Terus nanti kita nonton filmnya. Ya?"

Wendy mengangguk mendengarnya.

Hufttttt jatuh cinta itu, lucu sekali ya rasanya?

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Tidak sedikit dari kalian (lebih dari dua) berharap kalo aku mesti sering-sering salting supaya gemar menulis cerita.

Terwujud nih, intinya hari-hari sekarang tu lebih baik dari yang sebelumnya.

Beneran kemaren persis begitu.

Ini cerita juga aku tulis semalem jam 1, tapi malah ketiduran haha. Untung dia nggak buka hpku!!!!

Noh liat hahahah (spoiler dikit) — ada banyak cerita tapi bingung mau dilanjut kaya gimana, soalnya kadang cuma kepikiran awalan, pertengahan, dan akhiran

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Noh liat hahahah (spoiler dikit) — ada banyak cerita tapi bingung mau dilanjut kaya gimana, soalnya kadang cuma kepikiran awalan, pertengahan, dan akhiran.

Btw, buku yang dibaca Irene (beliau) itu The Architecture of Love, sedangkan yang dibaca Wendy itu Rumah Tanpa Jendela.


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 04 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

wenrene thingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang