06. BP [Enem ]

225 30 2
                                    

👁👁
Busung_Pocong

***

Pak Dahlan sempat menanyakan keadaan Umar sebelumnya, keluhan atau riwayat penyakit yang diderita. Karno yang mengenal lelaki itu sejak kecil menjawab, setahunya jika sepupunya tidak memiliki riwayat penyakit apa pun.

Maka dari itu, Pak Dahlan menyebutkan jika Umar terkena angin duduk atau serangan jantung.

Gejala dari setiap orang memang berbeda-beda, tetapi yang paling biasa dirasakan adalah dada sesak hingga nyeri dari bahu, leher, rahang juga punggung bahkan bisa disertai juga dengan demam dan muntah.

"Cak," panggil Irul.

"Apa?"

Irul selesai menggelar tikar di ruang tamu, di sana ada Bu Anis, Mbok Nur, Mirah dan Jumiati yang sedang membaca tahlil.

Lelaki itu kemudian mendekati Karno sembari bertanya, "Ini dilanjutkan, apa besok pagi?"

"Lanjut saja, lagian juga masih sore. Biar nanti Wati yang bilang Narsih, dia agaknya masih terguncang."

Dari jauh Irul melihat beberapa orang mendorong gerobak, mereka mengangkut teratak dan perlengkapan untuk memandikan jenazah seperti, dua drem, selang, kain penutup, dan lainnya.

Karno lekas mendekat membantu mereka menurunkan teratak, mereka harus melakukannya dengan cepat karena masih ada perlengkapan yang belum diambil.

"Balik lagi?"

Wanto mengangguk. "Iyo, to. Ambil penduso, maesan sama kain. Kenapa, mau ikut?"

"Ndak wes, aku tak bantu masang tempat pemandian ae," jawab irul.

Wanto dan ketiga temannya kembali mengambil barang yang lain, bersama dengan itu Pak Bagio datang bersama Sulaiman dan Nario. Ketua Rt tersebut mau menanyakan kepastian di mana letak Umar akan dimakamkan.

Kebetulan saat itu Narsih baru saja duduk bersama Wati, wanita itu ikut mengaji meskipun masih pucat karena baru sadar.

Pak Bagio lekas mendekat, lalu bertanya, "Ngapunten, Mbak Narsih, saya mau tanya. Ini, Umar dimakamkan di mana?"

"Di dekat Ibu saja, Pak."

Pak Bagio mengangguk. "Oh, sebelah Bu Siwi. Kalau begitu saya pamit, biar segera dilaksanakan."

Narsih mengangguk, begitu pun Wati. Mereka kembali membaca yasin dengan khusyuk, sedangkan Karno bersama Irul sedang mempersiapkan tempat pemandian.

"Cak, ini ndak punya sanyo?"

Karno menggeleng, dia menoleh menatap Irul yang agaknya kebingungan. "Adanya itu, sumur pompa. Lumayanlah, ndak perlu nimba.

"Sek, tak ambil dremnya dulu." Irul berjalan ke depan, mengambil dua drem dan perlengkapan mandi. Dia melihat Haji Ilyas dan tiga orang lainnya datang.

"Pemandiannya wes siap?"

"Belum, Bah. Ini masih mau mompa air, ternyata Bang Umar ndak punya sanyo," jawab Irul sopan.

Haji Ilyas menoleh ke samping, di mana ada Rohman, Imam dan Idris. Mereka siap dengan golok, berencana mau mengambil bambu untuk papan penutup.

"Bambunya ambil di mana nggeh, Pak Haji?" tanya Imam.

Netra Irul menelisik sekitar rumah Umar, tidak ada bambu yang tumbuh di kebun lelaki itu, hanya ada pepohonan wadang yang tinggi menjulang.

Samar mendayu suara kedasih, cericipnya seolah menandakan kesedihan yang amat menyakitkan. Akhir-akhir ini setiap pagi dan sore burung itu selalu berbunyi, Irul sering mendengar di kebun belakang rumahnya.

"Sepertinya Umar ndak punya bambu," sahut Haji Ilyas, kemudian melihat Irul yang masih memerhatikan kebun wadang. "Le."

"Enjeh, Bah?"

"Antar Rohman ambil bambu di kebun," kata Haji Ilyas.

Irul mengangguk, kemudian berkata, "Dris, kamu isi ini, yo, soalnya ambil airnya mompa dulu. Biar aku saja yang ambil bambu."

"Siap, Mas."

***

Semua proses akhirnya terlewati dengan baik, cepat tanpa kendala apa pun. Sekarang beberapa orang sedang meletakkan jenazah Umar ke penduso.

Setelah posisi benar, Karno dan Pak Bagio menutup keranda tersebut dengan kain hijau, serta dipasangkan kembang ronce.

Karno, Ardi, Pak Bagio dan Irul bersiap mengangkat keranda. Haji Ilyas menuju teras, orang-orang yang hadir lekas berkumpul karena jenazah siap disalatkan di masjid.

"Allahummaghfirlahu, warhamhu, wa'afihi, wa'fuanhu. Ya Allah ya Rabb, ampunilah Muhammad Umar Faruq, kasihanilah dia. Maafkanlah dia, luaskan kuburnya, tempatkan dia di tempat yang mulia dan jagalah dia dari siksa kubur juga neraka," kata Haji Ilyas, kemudian beliau melanjutkan, "Bapak-bapak, saya saksinya begitu juga panjenengan semua. Semasa hidup, Umar adalah orang yang baik."

Serentak warga yang mendengar menjawab iya dengan tegas, mereka memang tau bahwa Umar sosok pemuda yang baik hati.

"Dia sering membantu para tetangga yang membutuhkan, juga ikut mencari ilmu agama."

"Jika ada kata atau perbuatan yang kurang berkenan selama hidup, tolong dimaafkan. Wasiat, serta utang piutang hendaknya lekas diselesaikan oleh keluarga yang bersangkutan untuk meringankan beban kuburnya."

Narsih lega setelah mendengar kesaksian warga tentang suaminya semasa hidup. Dia menatap keranda yang mulai meninggalkan kediaman.

Gelapnya langit menjadi layar kesaksian, embusan angin seolah mendorong mereka agar lekas sampai pengkuburan.

Hati Narsih mencoba lapang, melepas ikhlas mengantar sang suami dengan doa-doa. Kematian memang takdir Gusti yang tak dapat ditaklukkan, kenyataan yang terkadang teracuhkan tersebut ternyata benar faktanya.

Semua yang berarwah pasti binasa, tidak ada kata besok saja, nanti atau penawaran lainnya. Jika yang kuasa bertindak maka dengan mudah pasti terlaksana.

👁👁
Busung_Pocong







Hai, pembaca. Jangan lupa bintangnya, ya🧡

Busung PocongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang