Dia, Akalanka

12 3 0
                                    

Menjadi manusia, kenapa harus dituntut untuk sempurna?
Menjadi manusia, kenapa harus selalu berada digaris titik keberhasilan?
Bukankah kegagalan juga bagian dari manusia?
Bukankah kekurangan adalah titik yang seharusnya juga bagian dari manusia.

Seorang gadis dengan rambut sebahunya itu menarik napas panjang, menahan buliran air matanya agar tidak jatuh sekarang, kedua bola matanya berputar mengelilingi lapangan sekolah, lalu ia menarik kedua sudut bibirnya untuk tersenyum lebar.

Hebat bukan? Kenapa manusia selalu diajarkan untuk berpura-pura baik saja?

Ia mendorong kursi rodanya melewati tengah lapangan, berusaha untuk tidak peduli dengan banyaknya pasang mata yang menatapnya iba atau bahkan menghina.

'Dia atlet lari dari kelas 12 ipa satu itu kan?'
'Kasihan ya dia sekarang udah cacat.'
'Wah karma sih ini, karena dia terlalu sombong dulu.'

Anala menarik napas panjang, ia kembali mendorong kursi rodanya untuk melewati bisikan orang-orang yang membuatnya begitu risih.

Seketika tangan Anala langsung berhenti mendorong saat tiga orang gadis yang sangat ia kenali itu sudah berada didepannya, dia adalah Wanda, Zia dan Fanny, Sahabatnya dari dia masih SMP dulu.

Wanda berjongkok dihadapan Anala sambil mengecap bibirnya penuh rasa kasihan, "Anala maafin kita ya gak jenguk lo waktu lo koma." Ucapnya dengan nada lirih.

"Kaki lo cacat ya Na? Kok pake kursi roda sih?" cecar Zia.

Deg!

Kedua bola mata Anala langsung memerah dan terasa panas, kedua tangannya mengepal erat sambil bergetar menahan tangis.

Anala jangan lemah Anala!

"Lo gak liat ya Zi, ya cacat lah! Kakinya aja gak berfungsi tuh!" Fanny menambahi kini dengan raut wajah yang lebih sinis.

Anala tercekat, dadanya terasa sesak untuk menerima kenyataan bahwa sekarang ia sudah berbeda.

"Ma—-maaf," ucapan Anala terhenti, ia menunduk menyembunyikan air matanya yang mulai jatuh, "Tapi kata dokter gue bisa sembuh lagi." walau ia sendiri tak yakin.

Semuanya tertawa bersama, tak hanya sahabatnya, bahkan semua orang yang dilapangan menertawakannya.

"Lo yakin Na? Lo gak nyuruh bokap lo lagi buat bayar tuh dokter buat pura-pura ngomong begitu kan?" Sembur Wanda lagi lebih menohok.

Air mata Anala makin tek terbendung.

"Lo sekarang udah ca—-."

"Bisa berhenti?" Potong seseorang dari belakang Anala.

Wanda mengernyit, semua yang berada dilapangan langsung terdiam, begitu juga dengan Anala yang tiba-tiba kaget terdiam kemudian menoleh pelan-pelan kebelakangnya.

Tampak dengan jelas sosok laki-laki tinggi jakung, dengan rambut hitamnya yang mengkilap itu menatap Wanda tajam, seragam sekolahnya begitu rapih bahkan lipatan setrika saja tertera jelas disana, wangi parfume-nya begitu segar, matanya berwarna hitam pekat, juga hidungnya yang mancung, benar-benar defenisi sempurna secara visual.

Anala menyorot name tag yang tertempel jelas di seragamnya, namanya—-BHALENDRA AKALANKA.

Tanpa aba-aba laki-laki itu mengambil alih mendorong kursi roda Anala untuk menjauh, saat melewati Wanda ia menatap tajam ke arah Wanda sambil memberi peringatan keras.

"Jangan pernah lagi lo ganggu Anala didepan gue, atau gue hancurin hidup lo sampai ke akar-akarnya," ancamnya penuh penekanan.

Ia kembali melangkahkan kakinya, sebelum ia meninggalkan lapangan, laki-laki itu kembali menghela napas panjang, ia mengulum bibirnya sebentar sambil memejamkan matanya frustasi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 12 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

AkalankaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang