PROLOG

314 25 1
                                    

Back song : Kamulah Kamuku - Fatin ft TheOvertunes

🌻

"Wa'alaikumussalam Umi, iya ini Raye udah keluar kelas. Baru selesai, ada orientasi tambahan mendadak jadi lama."

"Cepet ya Nak, Umi tunggu di Caffé depan kampus."

"Iya Mi, lagi jalan kesitu. Udah dulu ya, Assalamu'alaikum."

TUT!

Gadis tinggi dengan pashmina cokelat yang hanya dibuat melilit leher itu menghela napas berat setelah orang dari seberang mematikan panggilannya lebih dulu. Kaki jenjangnya tidak lagi melangkah. Kini, justru Gadis itu mengambil posisi jongkok di depan Aula kampus. Kedua tangannya melingkari lutut, kemudian kepalanya ia benamkan di lipatan tangan. Berharap penat dikepalanya perlahan terurai.

Hari keduanya setelah resmi menjadi Mahasiswi sungguh melelahkan. Banyak sekali kegiatan sosial yang membuatnya harus memaksakan diri untuk ikut bersosialisasi dengan Mahasiswa lain. Padahal jika dilihat dari minat, jurusan sastra paling sedikit diminati. Tapi saat memasuki kelompok kelas sastra, ia tidak menemukan apa itu yang dinamakan sedikit.

Gadis itu berdecak sebal saat ponselnya kembali berdering, meski demikian ia tetap berdiri dan mengambil langkah maju untuk menemui seseorang yang ia sebut Umi saat ditelepon tadi.

Tidak membutuhkan waktu lama, Lamanda Caffé sudah berada di depan mata. Posisinya yang tepat berdiri kokoh di depan gerbang kampus, memudahkan Gadis itu untuk sampai lebih cepat. Meski begitu membuka pintu tatapan nyalang seseorang yang ia sebut Umi begitu menusuk, ia bersyukur karena tidak harus berinteraksi lagi dengan supir taksi atau pengemudi ojek online.

"Kok lama, Nak?" Tanya seorang wanita paruh baya bergamis mocca dengan kerudung senada yang panjangnya hampir selutut saat ia berdiri di hadapan mereka. Wanita paruh baya itu berdiri, menggeser kursi di sebelahnya untuk di duduki Gadis yang ia panggil 'Nak' itu. Sebelum benar-benar duduk, ia meminta Gadis itu menyalami orang di hadapan mereka sekarang. "Salim dulu sama Tante Maya, udah nunggu dari tadi loh Nak."

Gadis itu menunduk sungkan, bibirnya ia paksakan untuk tersenyum sembari mengulurkan tangan menyalami sesuai yang diperintahkan wanita itu; Uminya.

"Maaf nunggu lama ya Tan." Ujar Gadis itu pelan. "Tadi diluar perkiraan anak sastra banyak banget, jadi perkenalannya lumayan menguras waktu." Ia berusaha menerangkan, setidaknya agar setelah ini tidak mendapati ceramahan dari Uminya yang selalu tepat waktu.

Yang di maksud Tan;—wanita paruh baya seusia Uminya namun berambut bondol itu tersenyum tipis, mengangguk ramah memaklumi anak kerabatnya yang datang lebih lambat daripada mereka. Tangan wanita itu terulur mengusap lengan Gadis itu, berusaha menyiratkan bahwa memang tidak seharusnya dipermasalahkan.

Terlambat untuk orang sibuk sudah sewajarnya. Toh, anak kerabatnya ini tidak sengaja.

"Gak papa Nak, Tante paham kok. Kuliahnya masih padet. Baru hari pertama kan?" Balas wanita bondol itu, diselingi pertanyaan.

Gadis itu mengangguk pelan. "Baru hari kedua Tan, cuma masih proses perkenalan dan pembiasaan materi dulu. Ada yang beda jurusan juga sebelumnya jadi Dosen harus jelasin pelan-pelan."

"Ambil jurusan apa?"

Gadis berjilbab itu refleks mendongakan kepala saat mendengar suara bariton ikut masuk ke dalam obrolan mereka. Saking takutnya melihat respon Umi dan menjawab pertanyaan singkat Wanita bernama Maya di hadapannya—Gadis itu melupakan satu sosok yang duduk di sebelah Tante Maya.

Mata Gadis itu sedikit menyipit saat mendapati sosok Lelaki berahang tegas, berhidung mancung dengan alis tebal di hadapannya. Ia seperti pernah melihat Lelaki itu, tapi ia lupa pernah melihatnya dimana. Hanya saja memang wajahnya tidak asing.

Sama seperti Gadis itu yang terkejut, dua wanita di sisi mereka juga sama terkejutnya karena belum memperkenalkan satu sama lain orang yang mereka bawa ini. Gadis itu dapat melihat Tante Maya berdiri lebih dulu dan menyuru Lelaki tadi mengulurkan tangannya untuk bersalaman. Lelaki itu tampak pasrah, berdirinya pun sangat lunglai;—ternyata kita sama-sama males, ujar Gadis itu dalam hati.

"Gue Markaliano Freinan, panggil aja Marka." Lelaki itu mengulurkan tangannya. Namun saat tidak mendapat balas jabatan melainkan sebuah telungkupan tangan di atas dada, ia langsung menarik tangannya kembali, menyimpan dalam saku celana. "Sorry gue gak tau." Ujarnya.

Gadis itu tersenyum sungkan. Takut sekali salah menjamu orang. "Maaf juga, bukan mahram soalnya." Balas Gadis itu.

Tante Maya terkekeh geli, disusul Umi yang juga ikut terkekeh. Mungkin maksud mereka untuk mencairkan suasana, tapi yang dapat anak-anaknya tangkap adalah sama-sama canggung.

"Nama lo siapa?" Lelaki bernama Markaliano Freinan itu kembali bertanya.

"Rayeela Nooura, kamu bisa panggil Rayeela."

Lelaki itu mengangguk. Ia tersenyum simpul. "Lebih cocok Nooura, muka lo terlalu adem kalo dipanggilnya Rayeela."

Bak sedang berada di sebuah pertunjukan yang dimana para pemain selesai menunjukan aksinya, Umi dan Tante Maya bersorak. Saling melempar candaan yang mengarah pada kecocokan antara Marka dan Rayeela. Melupakan dua remaja yang masih dalam suasana kering itu.

Marka diam-diam meringis mendapati wajah gusar Rayeela. Gadis itu seperti sedang berada di dalam ruang sidang, tangannya tidak berhenti memilin tali tas yang menggantung. Dapat Marka rasakan ketegangannya. Belum berkenalan lebih lanjut pun, ia paham seperti apa sikap dan sifat Gadis yang akan dititipkan orang tuanya ini.

Seseorang yang menyukai kesendirian, introvert.

♡♡

#Tobecontinue

HALO HAAAIIII SEMUANYA 👋

Setelah sekian lama hanya membaca dialog dan kalian merincikan sendiri alurnya, Semicolon aku kemas menjadi cerita yang lebih lengkap; yakni menjadi seperti novel.

Semoga suka yaaaa 🥰

Jangan lupa vote, comment and share untuk kelanjutan part 2 nyaaaa 🫶

Salam sayang,

Aynawol 🫶







SEMICOLONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang