#5

111 8 2
                                    

"Mau sejauh apapun kaki kita melangkah, kalau magnet terkuatnya ada di Indonesia, magnet lain bisa berbuat apa selain pasrah?"

- Markaliano Freinan -

🌻

Memakai pashmina jersey berwarna hitam dengan setelan kemeja maroon polos dan celana jeans jenis boyfriend, Rayeela keluar dari dalam kamarnya setelah kurang lebih satu jam menunggu kedatangan Marka. Tidak, Marka tidak terlambat menjemput. Hari ini ia hanya terlalu bersemangat karena waktu kebersamaannya dengan Marka tersisa kurang dari 24 jam. Pukul delapan malam nanti, Marka sudah harus ke Bandara karena panggilan clubnya. Ia tidak mau melewatkan setiap detik, menit atau bahkan jamnya. Untuk itu hari ini ia bangun lebih awal.

Sebenernya mata kuliah dimulai jam 10 karena Dosen yang mengajar sedang ada rapat diluar. Sekarang masih pukul tujuh kurang sepuluh menit, ada waktu tersisa banyak untuk sekedar makan ketoprak di depan gerbang Kampus sembari membahas obrolan random tentang club favorite Marka yang lagi dan lagi mengalami kegagalan pada pertandingan tadi malam.

Demi Tuhan, mengingat betapa frustasinya Marka semalam membuat Rayeela ingin menyemburkan tawa yang mati-matian ia tahan saat melihat wajah Marka. Tidak muram sih, tapi Rayeela tetap ingin tertawa.

"Kalian gak kepagian pergi jam segini?" Umi yang sedang menyiapkan sarapan pagi, menoleh ke arah jam dinding di dekat tangga. "Belum ada jam tujuh, Nak. Serius?"

Rayeela mengangguk kemudian menggeleng. "Aku mau ajak Marka ke perpustakaan dulu, Mi."

"Ngapain Raye? Bukannya nanti malam Marka flight?"

"Gak papa, quality time sebelum kehalang sinyal dan perbedaan waktu Mi." Balas Marka yang hampir membuat Rayeela menyemburkan susu yang sedang ia minum.

Umi bersorak pelan, menggoda Rayeela dengan kerlingan yang Marka pasti tau arahnya kemana. "Progresnya luar biasa ya. Umi kira—"

"Mulut Marka emang suka gitu Mi, kata Papanya kan dia diam-diam buaya." Celetuk Rayeela mengundang gelak tawa.

Pagi itu suasana ruang makan terasa begitu hangat. Meski hanya sebentar, setidaknya Rayeela tau bagaimana rasanya tertawa karena hal-hal random yang keluar dari mulut secara spontan. Bukan perihal urusan bisnis. Mengingat betapa kakunya obrolan Umi dan Abinya setiap pagi, mendadak membuat perutnya terasa mual.

"Mau berangkat sekarang?" Tanya Rayeela saat mata mereka saling bersitatap. "Keburu aku masuk kelas."

Marka melirik sungkan ke arah Umi, mendapati anggukan dari Umi—Lelaki itu lantas bangkit berdiri setelah merapihkan bekas makanannya. "Ayok, aku taruh piring ke dapur dulu."

"Jangan Ka, biar Bi Sumi aja." Ujar Umi.

"Sekalian Um."

"No," Umi keras melarang. "Kamu tamu, jangan ambil pusing."

Marka mengangguk, mengucap banyak terimakasi sebelum benar-benar beranjak pergi dari kediaman Rayeela.

Ada rasa tidak rela setiap kali melangkahkan kakinya keluar dari rumah bergaya vintage ini. Nyaman dan aman seolah terlepas begitu saja. Terlebih menyadari bahwa sumbernya akan hilang dalam jangkauan mata. Jujur, meninggalkan Rayeela menimbulkan kegusaran. Marka takut—tapi ia bingung ketakutan itu berupa apa.

SEMICOLONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang