Hello, kita bertemu lagi sekian lamanya!
Jadi aku bawa cerita baru nih, mumpung ujian aku udah selesai jadi bisa up cerita baru yeay!!
Happy reading!!
****
10 tahun yang lalu...
Di sebuah taman yang tidak jauh dari area rumahnya, seorang gadis kecil yang sekiranya umur 6 tahun nampak begitu murung sembari duduk di kursi taman.
Ia menatap segerombolan anak-anak yang usianya sama seperti dirinya yang tengah bermain di taman itu juga, mereka nampak asik bermain bersama. Tadi gadis itu sempat ingin ikut bermain tapi kehadirannya ditolak mentah-mentah oleh segerombolan anak-anak itu.
"Mereka asik banget mainnya, aku juga pengen ikut," gumamnya sambil terus memandangi anak-anak itu.
Mereka sedang bermain lempar-tangkap bola, gadis itu terus memandanginya hingga saat bola itu melesat ke tengah jalanan, salah satu dari mereka pun memanggilnya.
"Kanaya!" Panggil salah satu darinya.
Gadis yang dipanggil dengan sebutan 'Kanaya' sontak saja langsung berdiri, kemudian anak itu kembali berkata;
"Ambilin bolanya dong, nanti kamu boleh ikut main deh," katanya yang membuat Kanaya mengembangkan senyum lebarnya. "Serius?" tanya Kanaya yang pada saat itu berusia 6 tahun.
"Ya, cepat sana ambil," suruhnya dengan gestur mengusir.
Kanaya kecil segera mengangguk. "Ya, aku ambilin ya, kalian tunggu di sini."
Kanaya yang waktu itu begitu polos dan lugu, mau-mau saja di suruh untuk mengambil bola yang berada di jalan raya padahal itu sangat beresiko untuk dirinya yang masih kecil.
"Ah, ketangkep juga kamu, bola!" ucap Kanaya girang saat berhasil menangkap bola itu, kini bolanya itu sudah berada di genggamannya.
Namun sayangnya dari arah berlawanan, ada sebuah mobil yang begitu melaju dengan cepat dan juga berjalan zig-zag, Kanaya tidak menyadari hal itu, ia dengan pedenya jalan begitu saja hingga ....
"Awas!!" pekik seseorang sambil mendorong tubuh Kanaya menuju pinggir jalanan, keduanya pun terjatuh.
"Aduh," pekik Kanaya saat pantatnya terasa begitu sakit.
Kanaya membulatkan matanya saat melihat darah di lutut seorang anak kecil laki-laki yang berhasil menolongnya. "Ihh, darah!!" pekik Kanaya.
Laki-laki itu hanya mengangguk, ia lalu mengusapnya dengan menggunakan tangannya. "Kamu nggak apa?" tanya anak laki-laki itu.
Kanaya menggeleng. "aku nggak apa, tapi kamu?"
"Aku juga nggak apa."
"Astaga, kamu kenapa sayang?" tanya seorang wanita yang baru saja tiba.
Wanita itu lalu memandang Kanaya. "Heh, kamu! Kamu apakan anak saya?!"
Kanaya menunduk. "Maaf Tante, aku nggak apa-apain anak Tante, tapi dia nyelamatin aku saat aku mau ditabrak mobil."
"Mana orang tua kamu? Kenapa dia nggak jaga kamu dengan baik, lihat! Anak saya yang jadi korban."
Mendengar itu Kanaya semakin menundukkan kepalanya, "maafkan aku Tante."
"Ma, udah ma. Aku juga nggak apa, mending kita pulang aja, ya," ujar anak itu sambil berusaha bangkit.
Kanaya memandangnya dengan tatapan sedih. "Kamu, maafkan aku ya?"
Anak laki-laki itu mengangguk. "Ya, nggak apa. Oh ya kenalin aku—"
"Udah, ayo kita pulang sayang!" ajak wanita itu sambil menggenggam tangan anaknya.
Anak laki-laki itu menoleh. "Kamu, nama aku Gibran!!" teriaknya yang dapat didengar oleh Kanaya.
Kanaya tersenyum. "Nama aku Kanaya!!" Teriaknya juga, nampak bocah laki-laki itu tersenyum dan mengangguk.
Setelah melihat Gibran dan mamanya pergi, Kanaya pun kembali ke taman dimana anak-anak itu sedang menunggu kehadirannya.
"Rio, ini bolanya, aku boleh ikut main kan?" tanya Kanaya penuh dengan semangat.
Rio mengambil bolanya dari tangan Kanaya dengan kasar. "Nggak! Kamu lama ambil bolanya jadi kamu nggak boleh ikut kita main!" katanya dengan begitu ketus.
"Ayo kita main di tempat lain aja, tinggalin Kanaya dan jangan pernah ajak dia main bareng kita!" Perintahnya yang diangguki anak-anak lain, lantas mereka semua pun pergi meninggalkan Kanaya sendirian.
Bahu Kanaya seketika merosot, ekspektasinya bermain dengan anak-anak itu kini sirna seketika. Padahal Kanaya sudah begitu senangnya saat dirinya diperbolehkan untuk bermain, tapinya kenyataannya ia kembali ditolak.
****
Sesampainya di rumah, Kanaya disambut dengan suara pecahan dari pajangan rumahnya yang dilempar oleh sang Ayah. Nampak juga terdapat Lauren—Ibunya—yang terbaring di lantai dengan darah segar mengalir dari kepalanya bagian belakang.
"IBU!!" pekik Kanaya sembari berlari ke arah ibunya.
Kanaya menangis didalam pelukan ibunya, sementara Alden—Papanya—terduduk di lantai dengan tatapan kosong, ia merasa tidak percaya telah melakukan hal itu.
"I-ibu, bertahan ya?" Kanaya lalu menghampiri sang ayah. "Ayah, ayo bawa ibu ke rumah sakit." Kanaya mengguncangkan lengan kekar ayahnya yang sayangnya pria itu hanya diam ditempat saja.
"A-aya," panggil Akasha—Ibu Kanaya dengan lemah. Kanaya menoleh dan segera menghampiri ibunya.
"Aya, de-dengerin ibu, ja-jangan pernah dendam sa-ma ayah kamu y-ya? I-ibu diginiin ka-karena ibu juga salah," ucap Akasha dengan terbata-bata.
Kanaya tidak mengerti dengan ucapan Akasha, tapi ia hanya mengangguk saja sebagai jawaban. Kanaya hanya mengkhawatirkan kondisi sang ibu yang begitu memprihatinkan.
"I-ibu, pergi ya Aya. Kamu ja-jangan nakal-nakal, ya?"
Kanaya menangis. "I-ibu mau kemana? Aya ikut ya?" ucap gadis itu yang sayangnya mendapatkan gelengan dari sang ibu.
"Ng-nggak, Aya di sini aja, diam-diam sa-sama Ayah, ya? Sini ci-cium dulu."
Kanaya pun mulai mendekatkan wajahnya pada sang ibu, dengan gerakan perlahan, Akasha mulai mencium kening sang anak dan itu merupakan ciuman terakhir yang Kanaya rasakan.
"I-ibu? Ibu! Ibu, bangun ibu!!" Kanaya mulai histeris, begitu pun dengan Alden, tetapi pria itu masih tetap pada posisinya.
Alden mulai merasa bersalah, ia kemudian menghampiri Kanaya dan mencengkram kuat bahu anaknya itu.
"Kanaya, dengerin ayah!" Ucap Alden dengan tatapan sembabnya.
Kanaya menatap mata pria itu.
"Ibu kamu meninggal karena ulahnya sendiri, bukan karena ayah, ayah tidak memukul ibu, kamu paham?!"
Kanaya menggeleng. "A-ayah yang pukul ibu dengan itu." Tunjuk Kanaya pada vas bunga yang kini sudah pecah menjadi kepingan di atas lantai.
"Nggak Kanaya! Ibu pergi karena ulahnya sendiri, jika sudah besar kamu akan tau!!"
Kanaya hanya bisa terdiam sembari menatap ayahnya dengan air mata yang terus mengalir, melihat wajah ayahnya sekarang, Kanaya seperti melihat monster.
Gadis itu akan sangat ketakutan jika melihat Alden tengah marah, baginya, wajahnya ayahnya itu seperti monster yang begitu menakutkan.
TBC
Gimana sama awalnya nih? Komennya dong!!
Jangan lupa untuk vote dan komennya ya!!
Sampai jumpa di bab selanjutnya😚💗
IG:
byubwerrymoon
KAMU SEDANG MEMBACA
Kanaya dan Kehidupannya
Teen Fiction[ FOLLOW DULU SEBELUM BACA ] Sederhana, ini hanya kisah seorang gadis remaja yang harus melewati masa-masa sulitnya dengan sendirian, ditemani dengan kesepian dan kesunyian. Hingga suatu hari datanglah sosok laki-laki yang merupakan anak pindahan da...