Surabaya, 10.13 WIB
"Halo ada apa, Jar?" Perempuan itu mengangkat telepon di tengah rapat bulanannya, memberi gestur tangan meminta karyawannya untuk menunggu sejenak.
Hening di seberang sana, hanya terdengar helaan napas saja.
"Jarvis?" perempuan itu kembali bersuara.
"Zora, can you come here now?" Sahutan di seberang sana terdengar sayup.
"Lo di mana? Di apartemen? Gue nggak bisa ke sana sekarang, Jar. Gue masih di Surabaya sekarang. Gimana kalo dinner bareng nanti, gue usahakan udah di Jakarta ya."
Jarvis tidak langsung merespon, namun tarikan napasnya terdengar berat. "Okay, see you later."
Sambungan telepon ditutup. Zora merasa ada sesuatu yang sedang terjadi. Ia mengirim pesan pendek pada Gavi.
Jarvis baik-baik aja? He just called me. Something happend?
Balasan pesan baru ia buka ketika di perjalanan menuju bandara.
Dia cerita apa?
Zora segera menelepon pria itu. "Halo, Gav. Jarvis tadi nelpon gue cuma bilang minta gue datengin dia. Tapi gue lagi di Surabaya sekarang baru otw ke bandara."
"Kemarin gue ketemu dia. Sehat walafiat tuh anak, tadi udah gue telepon juga... katanya sehat-sehat aja. Paling kangen lo doang kali, Ra. Lo mah pergi nggak ngabarin."
"Ohh baru pergi dua hari udah dicariin. Dinner bareng gue sama Jarvis entar ya. Tempat biasa."
"Oke, Ra. Hati-hati di jalan lo."
"Sip. Thanks, Gav."
---
Jakarta, 17.42 WIB
Hampir pukul 6 ketika Zora baru menginjakkan kaki di lobi apartemennya. Masih ada waktu untuk berkemas sejenak sebelum pergi makan malam bersama Jarvis dan Gavi. Ponselnya terus berdering tanpa jeda selama ia masih di kamar mandi, ada belasan panggilan tak terjawab dari Gavi.
Dering pertama ketika Zora menelepon balik Gavi langsung diangkat oleh pria itu.
"Ke apartemen Jarvis sekarang. Urgent!" Sambungan terputus.
Dari ucapan Gavi yang singkat, padat, dan jelas itu Zora paham sesuatu telah terjadi. Ia bergegas memakai hoodie dan memesan ojek online segera. Di jam padat seperti ini, ojol adalah pilihan tercepatnya.
Butuh waktu 27 menit untuk sampai di apartemen Jarvis, itu pun Zora harus meminta sopir ojol untuk mengebut. Jantungnya mencelus melihat mobil polisi dan ambulans terparkir di depan gedung. Gavi segera menggandeng lengan Zora ketika ia sampai di depan meja resepsionis dan membawanya menuju lift. Zora ingin sekali bertanya apa yang terjadi. Namun dari air muka Gavi yang mengeras dan gestur tubuhnya yang berbeda, Zora paham ada hal penting yang terjadi dan kemungkinan ini sangat serius.
Tiba di lantai apartemen Jarvis, Zora dibuat terkejut dengan beberapa polisi yang berdiri di depan unit Jarvis. Ada beberapa orang yang Zora kenali sebagai tetangga Jarvis meliriknya dengan raut sedih. Gavi menggandeng tangannya dengan erat sembari meyakinkan Zora untuk masuk ke unit Jarvis.
Zora menahan langkah Gavi saat melihat garis kuning polisi di pintu kamar mandi Jarvis. Gavi mengangguk pelan, menarik kembali Zora untuk ikut masuk bersamanya. Petugas medis yang sedang mengecek kondisi Jarvis pun menyingkir sejenak. Di saat itulah Zora melihat jelas sosok Jarvis terendam air merah dalam bathtub. Zora terduduk lemas. Dadanya naik turun mengatur napasnya yang berantakan. Jemarinya kaku dan mulai terasa dingin. Wajah pucat Jarvis dan kepalanya terkulai lemas, Zora melihatnya dengan sangat jelas. Ia menangis tanpa suara meski banjir air mata. Saat Gavi mencoba menguatkannya, tangis Zora pecah. Ia menangis tersedu-sedu. Gavi berusaha membopong Zora untuk keluar dari sana. Tangis pilu Zora belum berhenti sepenuhnya hampir sejam lamanya.
Kedua orang tua Jarvis tiba tak lama kemudian. Ibunya Jarvis menahan tangisnya dan pecah saat ia melihat anak bungsunya di sana. Gavi memeluk ayahnya Jarvis, menguatkan pria peruh baya itu. Zora menguatkan mentalnya untuk menarik mundur ibunya Jarvis dari kamar mandi. Mereka berpelukan dan saling menguatkan.
Evakuasi dilakukan, keluarga meminta agar Jarvis divisum. Ketika hasil telah keluar dan Jarvis memang murni mengakhiri hidupnya sendiri. Pemakaman dilakukan segera setelahnya.
---
Hari ini ulang tahun Jarvis yang kedua puluh tujuh pada tanggal dua puluh tujuh. Seminggu berlalu setelah kepergian Jarvis. Zora datang sendirian ke makam Jarvis, sore hari setelah hujan reda. Sebuket mawar merah ia letakkan di sana. Zora berjongkok, mengusap pelan papan nisan. Ia tak lagi menangis, air matanya habis terkuras seminggu belakangan.
"Harusnya gue nggak usah pergi hari itu ya, Jar. Jadi gue masih bisa liat lo di sini. Gue nggak tau Jar, gue nggak tau gimana rasanya jadi lo. Gue nggak pernah tau apa yang lo rasain. Maafin gue Jar, nggak ada di samping lo saat lo butuh."
Zora pernah mencandai Jarvis ketika pria itu minta dibelikan sebuket bunga mawar padanya. Karena pria memang jarang diberi buket bunga, Zora menjawab ia hanya akan memberikannya pada hari pemakamannya saja. Hidup memang sebercanda itu ternyata. Tuhan mengabulkan candaannya pada Jarvis. Zora menangis tersedu-sedu sambil berjongkok di samping makam sahabatnya itu.
"I'll see you there, Jar." Zora melangkah pergi meninggalkan makam sembari menguatkan langkah dan juga hatinya.
---habis---
Selasa, 23 Juli 2024