Bab 1

37 4 1
                                    

"Daisy! Astagfirullah genduk, jam berapa ini kamu masih molor? Cepetan bangun! Kamu gak kuliah hari ini?"

Teriakan merdu di pagi hari seperti itu lah yang selalu menyambut hari Daisy.

Daisy mengerjapkan matanya pelan, ia berusaha menyesuaikan netranya dengan cahaya matahari yang masuk melalui jendela yang telah di buka oleh sekar, Mamanya.

"Ish! Mama, orang hari ini libur kok. Ngapain bangunin Daisy sepagi ini coba? Daisy masih ngantuk, mau tidur lagi," rutuk Daisy.

Sekar hanya menggeleng melihat kelakuan putri sulungnya itu. Dalam hati ia membatin, ia dan suaminya merupakan early person, lalu dari mana Daisy mendapat sifat putri tidur seperti itu?

"Bangun, Genduk. Mandi terus sarapan, Papa mu semalem pulang. Kalau tau kamu jam segini masih molor bisa-bisa uang saku kamu di potong loh!" ancam Sekar.

Kelopak mata Daisy terbuka sempurna usai mendengar kata Papa. Di keluarga nya, Daisy hanya takut pada Papanya, karena setiap dia berulah pasti uang sakunya lah yang terancam.

"Allahu Akbar, Ma! Mbok yo ngomong ket mau tho lek Paduka raja wes balek! Aduh rung ados rung opo, pie ki."

Keluar sudah bahasa medok Daisy. Ia selalu keceplosan mengomel dengan bahasa jawa yang medok ketika panik. Ya seperti saat ini.

"Ma! Pokok e omong ke Papa lek aku wes tangi ket mau yo, aku tak ados sek. Ojo umbrus pokok e!" seru Daisy sembari lari terpontang panting ke kamar mandi. Tak lupa ia menyambar bathrobe nya yang tergantung di dekat lemari pakaiannya.

Sekar hanya bisa menghela nafas lelah. Ia memijit pelan keningnya melihat tingkah absurd putrinya yang tiada habisnya.

Akhirnya Sekar memilih turun dan membangunkan si bungsu, Samudra.

Tok! Tok! Tok!

"Sam, Bangun nak. Di tunggu Papa di bawah tuh," teriak Sekar.

Pintu pun terbuka dan menampakkan Samudra yang telah rapi dan wangi. Pria 19 tahun itu sangat berbanding terbalik dengan sang kakak.

Jika Daisy selalu bangun kesiangan, maka Samudra sebaliknya. Pria itu selalu bangun bahkan sebelum adzan subuh berkumandang.

"Gak usah teriak Mama ku yang cantik, Sam udah bangun dari tadi kok," goda Samudra sambil menjawil dagu sang Mama.

Sekar mendengus kesal, "kalo udah bangun, harusnya langsung turun dari tadi. Tuh Papa kamu ngomel-ngomel, katanya baru di tinggal sebulan kok udah pada jadi tukang molor semua!"

Samudra hanya menyengir, ia pun lekas menggandeng Mamanya untuk ikut turun bersama.

***

Daisy, Nama yang cantik secantik pemiliknya. Sekar sengaja memberi nama putri nya nama Daisy, dengan harapan putrinya kelak akan tumbuh menjadi gadis yang cantik berkulit putih sesuai namanya.

Dan benar saja, Daisy kini telah tumbuh menjadi gadis Cantik dan periang. Namun di barengi dengan keminusan akhlak nya.

***

"Pagi, Pa, Ma. Maaf Daisy kesiangan, hehehe... ," sapa Daisy lengkap dengan cengjran khas nya.

Kali ini Nero hanya diam menyaksikan tingkah si sulung. Ia sudah lelah menegur kebiasaan putrinya yang entah kapan bisa berubah.

"Kok cuman Mama sama Papa yang di sapa, Mbak?" protes Samudra.

Daisy melayangkan tatapan tak bersahabat pada adiknya.

"Ogah! Koen kui gak penting, dadi gak perlu di sopo," ledek Daisy.

"Heleh, awas Mbak pinjem PS ku maning yo, ra bakal tak olehi!" rajuk Samudra.

Daisy hanya terkekeh mendengar ancaman adiknya. Sudah rutinitas hariannya membuat seisi rumah darah tinggi olehnya.

Setelah semuanya berkumpul di meja makan, Sekar pun mulai mengambilkan nasi serta lauk pauk untuk Suami serya anak-anaknya.

Acara sarapan bersama pun berlalu tanpa ada suara sedikit pun. Karena Nero tak suka jika ada yang berbicara saat sedang makan. Sepenting apapun itu, dilarang keras mengobrol di meja makan.

Seusai sarapan, Daisy yang hendak kabur itu pun langsung berhenti saat suara Nero mengintrupsinya untuk kembali ke meja makan.

"Daisy, duduk! Ada yang mau Papa omongin ke kamu," titah Nero.

Mau tak mau, Daisy pun kembali menghempaskan bobotnya ke kursi. Ia menatap was-was pada sang Papa.

'Papa mau negur apa lagi ya kali ini? Ipk? Bolos? Atau masalah nyolong mangga mang udin?' batin Daisy cemas.

Nero menatap lekat pada putrinya. Sebenarnya ia tak tega, namun sepertinya ini cara satu-satunya agar Daisy mau berubah.

"Daisy, papa mau jodohin kamu sama anak mendiang sahabat Papa."

Jeder!
Bagai di sambar geledek, Daisy langsung membeku di tempatnya.

Ini lebih buruk dari pada masalah ipk ataupun masalah lainnya!

"Emm, kenapa Daisy, Pa? Daisy mau fokus kuliah dulu," tolak Daisy.

Nero menggeleng, pria berkaca mata itu menyodorkan sebuah foto kepada putrinya.

"Vincent Abraham. Dia bakal jadi dosen sekaligus pembimbing kamu supaya gak bolos-bolos lagi!"

Daisy mengamati foto yang di sodorkan Nero. Matanya memicing berusaha mengingat dimana ia melihat wajah itu.

Hingga pupil matanya melebar sempurna, Vincent, pria itu lah yang memergoki dirinya sedang maling mangga nya mang ucup!

'Mampus gue!'

"Hehe, ganteng ya, Pa? Sayang banget kalo di jodohin sama Daisy. Mending di jodohin sama Mama aja deh cocok cantik sama ganteng. Daisy pamit ke Serena dulu ya, Pa. Assalamualaikum!"

Setelah berucap hal yang memancing emosi Nero, Daisy segera berlari secepat kilat meninggalkan rumahnya menuju kediaman Serena, sahabatnya.








Sengaja di pendekin dulu ya guys buat tes ombak.
Semakin banyak yang suka vote dan komen, follow. Makin cepet update nya yawwww
See u dear moga suka!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 08 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Married with my lecturerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang