Ketua Kelas

13 2 10
                                    

Aku menatap ambigu pada hasil pemungutan suara yang terletak di papan nama. Itu adalah hasil pemungutan suara untuk perangkat kelas di awal semester baru ini.

Huh, sial. Aku sudah kelas 12, tapi malah mendapatkan tanggungan ini.

Ya, kuakui ini salahku karena memilih mencalonkan diri menjadi kandidat untuk perangkat kelas. Tapi, ayolah, aku tidak berekspektasi akan mendapatkan jabatan ini. Kupikir aku akan mendapatkan jabatan sebagai sekretaris kelas atau bendahara kelas.

"Hey, Bu Ketu." Salah satu teman sekelasku memanggilku dengan nama panggilan baru yang kuyakin dia baru membuatnya.

Bu Ketu adalah sebutan baru untukku yang baru saja terpilih menjadi ketua kelas. Ya, aku adalah ketua kelas sekarang.

"Kenapa, Rima?" tanyaku untuk menyahuti panggilan itu.

"Manggil aja, sih."

Percakapan aku dan Rima terhenti saat kami mendengar suara decitan kursi dengan lantai yang begitu keras. Seseorang baru saja bangun dari tempat duduknya dengan kasar, hingga menimbulkan suara keras itu.

Seorang remaja pria—pelaku yang menimbulkan suara keras dari kursi tadi—berjalan melewati bangkuku yang kebetulan berada paling depan dengan pintu masuk. Seseorang itu berjalan keluar dengan wajah datarnya. Selalu saja begitu.

Seorang remaja pria itu adalah murid baru di sekolahku. Dia murid pindahan yang datang begitu awal kelas 12. Menurutku, itu cukup aneh pindah di saat kurang dari setahun lagi akan lulus. Tapi itu bukan urusanku, bukan? Ah, dan tentang pria itu, dia bernama Antaro Zeyrian Jingga.

"Cowok aneh," gumam Rima yang menatap kepergian Antaro.

"Biarin aja. Mungkin mood-nya lagi jelek mankanya kayak gitu." Aku mencoba memberikan pembelaan kepada Antaro, yang aku sendiri tidak tau itu atas dasar apa.

"Ghibah terus!"

Itu adalah Steva yang bersuara. Steva adalah teman sebangku setiaku, dari kelas 10, sampai kelas 12 seperti sekarang.

"Dih, siapa juga yang ghibah. Rima, tuh, yang ghibah karena ngatain anak orang aneh."

"Lah, malah bawa-bawa nama aku." Rima mencoba membela diri. Dasar.

Kulihat Steva geleng-geleng kepala saat menyaksikan interaksiku dengan Rima. Sepertinya Steva pusing sendiri melihat kelakuan kami. Mau bagaimana lagi?

"Aku mau ke kantin aja, deh. Ngeliat kalian berdua bikin pusing." Steva berujar sembari beranjak dari bangkunya.

"Ikut!"

Bagaikan paduan suara, aku dan Rima berujar serentak untuk menyahuti ucapan Steva. Selayaknya anak bebek yang mengikuti induknya, aku dan Rima juga berjalan mengekor di belakang Steva.

"Woy, jangan kayak anak bebek yang lagi ngikutin induknya napa. Sini jalan samping gue. Kalian kira aku ini emak bebeknya kalian apa."

Aku dan Rima tertawa kecil menanggapi ucapan Steva, tapi tawa itu juga malah menular kepada Steva. Beginilah kami jika sudah bertemu. Random.

Pada akhirnya kami bertiga berjalan beriringan. Kami melewati pintu kelas itu juga bersamaan. Namun, saat diriku baru berdiri di ambang pintu, aku berhadapan langsung dengan Antaro.

Antaro saat ini sedang duduk di bangku yang letaknya bersebrangan tidak jauh dari kelasku. Pandangan mata kami bertemu, dan aku dapat melihat jelas wajah yang selalu datar itu menatapku. Namun, tatapan itu tidak berlangsung lama saat kulihat Antaro mengalihkannya ke arah teman yang duduk di sebelahnya.

Kulihat Antaro berbincang sangat hangat dengan Jevan—teman dekat Antaro dan teman sekelasku juga. Antaro yang berbincang saat ini, tampak jauh berbeda dengan Antaro jika sedang di kelas, ataupun siswa lain. Dingin.

Seseorang melambaikan tangannya tepat sekali di wajahku, lambain itu hanya berjarak beberapa inci saja. Seseorang melambai sembari berkata, "Halo, ada orang di sini?"

Itu adalah Steva. Lambaian tangan itu berasal dari Steva. Sepertinya aku tidak sengaja melamun begitu berhadapan dengan Antaro tadi, hingga menyebabkan aku hanya diam di ambang pintu. Itu sebabnya Steva menyadarkanku dengan melambaikan tangan.

"Eh, iya?" ujarku yang baru tersadar dari lamunan.

"Liatin apa, sih?"

Kali ini, itu bukan Steva yang bertanya, melainkan Rima. Aku bingung harus menjawab apa. Tidak mungkin aku menjawab bahwa aku sedang memperhatikan Antaro, bukan? Aku tidak mau membuat mereka salah mengira bahwa aku suka pada Antaro, karena kenyataannya tidak begitu, kurasa.

"Bukan apa-apa. Ayo, ke kantin."

Aku mengelak dengan memburui mereka ke kantin. Syukurlah elakan itu berhasil, karena kulihat mereka tidak memperpanjang pertanyaannya. Mungkinkah ini efek dari perut yang lapar di pagi hari?

Berbicara soal pagi, sebenarnya ini terlalu pagi untuk kami pergi ke kantin, karena bel istirahat bahkan belum berbunyi. Tapi ini sedang jam kosong, jadi tidak ada salahnya. Sungguh aku yang sesat, kuharap tidak ada yang meniru kami.

Hari ini adalah hari kami kembali bersekolah setelah libur panjang. Hari ini juga aku pertama kali melihat Antaro di sekolah ini. Namun, seperti yang diketahui, Antaro itu sangat dingin. Itu adalah kesan pertamaku untuknya.

Ini memang hari pertamaku bertemu dengan Antaro di sekolahku. Tapi beberapa minggu sebelum sekolah kembali dimulai, aku sudah pernah bertemu dengannya dua kali. Itu adalah saat aku berkunjung ke salah satu cafe di area perumahanku untuk mengerjakan sebuah tugas.

Saat itu aku melihat seorang remaja pria yang kuduga sebaya denganku sedang memainkan game di ponselnya, sambil sesekali menyantap hidangannya. Entah dorongan dari mana, tapi aku diam-diam memperhatikannya. Kusaksikan interaksinya dengan pelayan cafe, juga pada kasir di sana. Dia begitu irit bicara, dan selalu berwajah datar.

Hari berikutnya setelah aku tidak sengaja bertemu kembali dengannya di cafe yang sama pun terjadi lagi, aku menyaksikan sikap dinginnya. Hingga aku menyimpulkan bahwa cowok yang satu itu memang dingin.

"Mau pesan apa?" tanya Steva saat kami bertiga sudah tiba di kantin.

"Soto."

Aku dan Rima reflek saling memandang saat menyadari bahwa kami melontarkan jawaban yang sama. Sepertinya kami memiliki banyak persamaan, atau di kalangan remaja itu disebut dengan satu frekuensi.

"Oke. Kalau kalian soto, aku juga, deh," ujar Steva yang menyimpulkan pesanannya.

Steva memesankan makanan kami bertiga, sembari aku dan Rima duduk di salah satu bangku panjang yang berada di pojok kantin.

Saat Steva menghampiri kami di bangku Kantin, kami tidak terlibat percakapan. Suasana hening karena kami sedang menunggu pesanan yang datang sembari fokus pada ponsel masing-masing.

Dalam keheningan yang tercipta, tiba-tiba terlintas pemikiran gila di kepalaku. Aku berpikiran untuk mencari akun instagram milik Antaro, dan herannya aku benar-benar melakukannya. Kuketik nama lengkap Antaro di instagram, dan kudapati sebuah akun yang kuyakini itu miliknya.

Aku berniat untuk melihat apa isi dari akun itu. Tapi aku takut Antaro mengetahui bahwa aku berniat stalking akunnya. Bagaimana jika dia bisa melihat bahwa akunku yang jelas tertera namaku, sedang melihat-lihat akunnya? Aku akan sangat malu jika itu terjadi.

Pada akhirnya aku mengurungkan niat untuk mengintip akun itu. Namun, tiba-tiba suara berat dari seorang pria remaja yang terdengar tepat di belakangku membuat aku tercengang.

"Kamu berniat stalking akunku?"

-To be continue-

Kamu AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang