ERLANGGA [23]

2.6K 129 10
                                    

Tandai kalau typo and happy Reading~

Pagi di mansion Zeyvan tidak seramai rumah Bratajaya.
Sunyi, tapi menenangkan. Cahaya matahari perlahan merambat masuk melalui jendela besar kamar yang malam itu menjadi tempat Langga tidur—untuk pertama kalinya, bukan di tempat yang dipenuhi penghakiman dan dinginnya tatapan.

Langga membuka matanya perlahan. Tubuhnya masih terasa berat, tapi pagi ini berbeda. Tidak ada teriakan Saka yang menyuruhnya bangun. Yang ada hanya aroma samar roti panggang dari dapur, menyusup lembut ke dalam kamar.

Tapi saat pikirannya mulai jernih, satu nama melintas begitu saja di benaknya—Saka.

Ia bahkan belum sempat melihat wajah abangnya sebelum pergi kemarin. Tak ada pelukan. Tak ada salam perpisahan. Hanya keheningan, dan surat yang ia tinggalkan.

"Lo kemana sih, Bang… Maaf kalau gue nyerah," gumamnya lirih.

Ia duduk pelan di tepi ranjang, memandangi sekeliling. Kamar ini masih terasa asing, tapi tidak menyeramkan. Dindingnya dicat abu-abu lembut. Di sudut ruangan, ada meja penuh dengan buku tua—beberapa tampak seperti jurnal milik Zeyvan sendiri.

Suara pintu kamar mandi terbuka. Zeyvan keluar dengan rambut basah dan bathrobe membungkus tubuh tegapnya.

"Sudah bangun?" tanyanya singkat sambil mengeringkan rambut dengan handuk.

"Hm," gumam Langga pendek, masih mengantuk.

Zeyvan melangkah mendekat, lalu tanpa peringatan menempelkan tangan dingin ke pipi Langga.

"Ah! Om Zeyvan dingin banget!" rengek Langga refleks sambil menghindar, wajahnya cemberut.

Zeyvan hanya terkekeh pelan. "Bangun cepat. Sarapan sebentar lagi."

Ia melangkah ke walk-in closet di sisi kamar. Pintu kaca bening dengan frame hitam matte membuka pemandangan deretan jas, kemeja branded, dan sepatu kulit mahal—semua tertata rapi seperti butik pribadi.

Langga masih duduk di ranjang, terpukau sesaat saat melihat Zeyvan memilih kemeja hitam slim fit yang jatuh pas di tubuh atletisnya. Pria itu seperti berjalan keluar dari iklan majalah fashion.

"Jangan bengong terus. Mandilah, baumu udah kayak terasi," sindir Zeyvan sambil menggulung lengan kemejanya.

Langga mencibir dan berdiri. Ia berjalan ke kamar mandi yang interiornya didominasi marmer putih dengan lampu gantung industrial. Wangi segar dari diffuser otomatis menyambutnya.

"Handuk sudah disiapkan. Sampo dan sabun di rak tengah."

"Hm."

"Jangan terlalu lama main air. Jangan lupa pakai sabun, bukan cuma basah-basahan. Dan sikat gigi. Dan—"

Brak.

Langga menutup pintu kamar mandi sedikit lebih keras dari seharusnya.

"Rewel banget sih, om-om satu itu..." gumamnya kesal.

Begitu air hangat menyentuh kulitnya, dia menarik napas panjang. Lelah dan luka memang belum hilang, tapi setidaknya pagi ini… dia bisa bernapas lega—meski ditemani om cerewet yang perfeksionis.

Sekitar lima belas menit kemudian, Langga keluar dengan rambut basah dan handuk di leher. Ia memakai kaus putih longgar dan celana kain yang entah sejak kapan sudah tersedia di kamar. Sinar matahari menyelinap masuk, menyorot wajahnya yang masih tampak lelah.

Zeyvan duduk santai di sofa kecil dekat jendela, menyesap kopi dari mug hitam doff. Saat melihat Langga, ia bangkit.

"Duduk sini," ucapnya, menepuk tempat kosong.

ERLANGGA(Hiatus) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang